Kamis, 31 Mei 2012

Tuhan Memilihku Jadi Pipa Saluran

Bagi Anda yang belum memiliki buah hati, barangkali catatan ini penting untuk dijadikan sebagai penyemangat akan pentingnya menjaga kesehatan si buah hati kelak. Sementara bagi yang sudah dikaruniai buah hati, semoga catatan ini dapat menggugah kesadaran Anda untuk membantu (minimal lewat doa) terhadap buah hati seorang kawan saya yang saat ini tergolek tak berdaya di ruang ICCU di salah satu rumah sakit di kota Pemalang. Sungguh malang nian nasib anak yang satu ini. Di usianya yang masih empat bulan dia sudah mengidap suatu penyakit yang membuat siapa saja yang mendengar nama penyakitnya pasti akan bergidik menahan ngeri; Radang Otak. Ya Tuhan! Jangankan untuk jenis penyakit yang konon hanya akan berujung pada kematian dan kalaupun sembuh akan menyebabkan yang bersangkutan mengalami kelainan, sekadar buah hati menderita demam, pilek dan penyakit-penyakit yang biasa dialami bayi saja, sebagai orangtua kita pasti akan uring-uringan. Sementara penyakit bayi ini? Oh….,seandainya Anda yang jadi orangtua si bayi itu, sungguh tak terperikan bagaimana nelangsa dan menderitanya perasaan Anda saat itu. Saya yakin Anda pasti akan blingsatan seandainya takdir penyakit itu ditimpakan kepada Anda, keluarga Anda, orang-orang dekat Anda maupun orang-orang yang teramat sangat Anda cintai. Bayi suci yang oleh orangtuanya diberi nama Jordy Alfarisi ini barangkali tidak dapat menyampaikan rasa sakit yang dialaminya dengan jelas kepada orang-orang di sekitarnya setelah tingkat penyakit yang diidapnya telah membuat dia koma. Koma untuk suatu waktu yang tak dapat dipastikan akan kapan berakhirnya. Dan yang lebih membuat gigil hati dan perasaan adalah ketika biaya perawatan yang hingga saat ini hampir mencapai seratus juta itu harus ditanggung oleh orangtua Jordy yang pekerjaan utamanya hanyalah sebagai buruh pabrik. Bisa Anda bayangkan, berapa sih gaji seorang buruh kasar pabrik? Jika selama satu bulan dia harus menerima gaji sebesar tiga atau lima ratus ribu misalnya, butuh berapa bulan dia bekerja untuk dapat mengumpulkan duit sebanyak seratus juta? Butuh berapa banting tulang dan berapa ribu liter keringat yang harus dikeluarkan oleh ayah Jordy agar anaknya bisa ditangani? Di sini kita dipertemukan kembali dengan kenyataan bahwa rasa cinta dan kasih sayang orangtua itu tak mengenal batas harga. Berapapun, asalkan si buah hati dapat diselamatkan, orangtua pasti akan berusaha, bahkan kalau perlu harus bertaruh nyawa. Dan Anda pasti akan berpikir sama seandainya anak Anda mengalami nasib serupa sebagaimana si Jordy kecil ini. Tak ada orangtua -yang benar-benar orangtua- rela membiarkan anaknya menemui kematian akibat penyakit yang diderita betapapun si orangtua itu sendiri sadar bahwa tidak ada pilihan lain untuk mengatasi penyakit itu selain hanya menunggu kepastian Tuhan akan takdir yang telah ditentukan-Nya. So, apa yang harus kita lakukan? Atau lebih tepatnya apakah kita perlu melakukan sesuatu untuk keluarga Jordy? Kalau pun perlu, seperti apa bentuk bantuan yang dapat kita berikan mengingat selama ini ada banyak sekali jenis-jenis bantuan yang bisa diberikan seseorang kepada orang lain. Mulai dari tenaga, harta atau yang lebih simple dan mudah; doa dan penyemangat. Saya sendiri bingung bentuk bantuan seperti apa yang harus saya berikan kepada orangtua Jordy saat ia -melalui orang lain- menyampaikan keinginannya untuk pinjam uang kepada saya. Saya tidak memiliki kekayaan berlimpah (dan kalaupun saya kaya belum tentu juga mau membantu), yang sedianya dapat saya sumbangkan sekadar untuk sedikit meringankan beban Jordy, terutama orangtuanya. Setelah lama saya dilanda kebingungan dan berpikir mencari cara untuk dapat membantu walau tak seberapa, akhirnya datang juga sebuah saran dari istri agar saya menghubungi seorang sahabat senior yang memungkinkan dapat memberi bantuan. Saya ikuti saran istri saya dan syukurlah sahabat senior saya bersedia memberi bantuan. Sepanjang jalan menuju tempat kediaman sahabat saya untuk mengambil bantuan itu, saya teringat kembali pada guru saya yang pernah berkata seperti ini: “Ketika seseorang datang kepadamu dan meminta bantuanmu, maka sesungguhnya ketika itu Tuhan tidak sedang salah pilih, bahwa engkaulah yang memang diperkenankan dan diijinkan oleh-Nya untuk membantu. Sedapat mungkin jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan langsung oleh-Nya. Kalau ketika itu engkau sendiri tidak berdaya, mohonlah kepada-Nya agar Dia memberikan jalan keluar bagi dirimu. Toh sejatinya Dia yang memilihmu, dan Dia pasti tahu apa yang terbaik untuk kamu lakukan sehingga kamu tetap bisa memberikan bantuan.” Meski dilanda rasa malu, tidak enak hati dan rasa sungkan yang luar biasa kepada sahabat senior saya itu, saya tetap bersyukur, bahwa sekalipun menjadi perpanjangan tangan dari proses tolong menolong ini setidaknya saya sudah melakukan sesuatu untuk orang lain. Tetapi dalam hati tetap saja ada yang mengganjal, terutama karena saya tidak bisa memberi bantuan sebanyak yang diberikan sahabat senior saya tadi. Untuk sahabat senior saya, terima kasih tiada hingga. Mengingat hal ini, saya jadi sedikit iri. Sebab saya merasa, Tuhan sebenarnya tidak sedang memilih saya untuk dapat membantu orang lain, tetapi Dia memilih sahabat senior saya tadi. Saya ini dipilih Tuhan sekadar untuk jadi pipa saluran saja. Mungkin Anda akan berkata, “Masih untung yang memilihmu jadi pipa saluran adalah Tuhan, bukan pegawai PDAM itu.” Hah….tau, ah! Ini ceritaku. Apa ceritamu? Kebumen, 29 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar