Kamis, 31 Mei 2012

Dua Pemuda Miskin di Sebuah Republik Anjing

Tersebutlah dua orang pemuda miskin yang menempati sebuah gubuk reot di tepi bantaran kali yang hampir dipastikan selalu banjir kalau sedang musim hujan. Dua pemuda itu sudah begitu lama bersahabat. Bahkan mereka sudah lupa, tepatnya kapan mereka bertemu dan berkenalan hingga jadilah keduanya sepasang sahabat yang sangat karib, yang kekaribannya melebihi seorang saudara. “Nasib dan kemiskinanlah yang mempersatukan kami, kawan,” kata pemuda yang satu saat ada temannya sesama pemuda miskin lainnya bertanya. “Ya. Hidup kami sama seperti kalian. Kami tidak memiliki apa pun di negeri yang sangat kaya dengan apa pun ini. Bahkan kami tidak memiliki harapan, sebab harapan-harapan itu terlalu mahal buat kami. Satu-satunya yang kami miliki hanyalah persahabatan ini, persaudaraan ini,” pemuda yang satunya ikut menimpali. Pada suatu hari, langit tiba-tiba menjadi mendung dan tak lama kemudian hujan turun dengan amat deras. Pemuda yang satu pergi menutup pintu gubuknya yang terbuat dari kardus-kardus yang sudah usang. Keduanya lalu meringkuk sambil membungkus tubuh mereka dengan sarung. Sarung yang sebenarnya sudah lusuh dan tipis sehingga tak mampu menahan dingin yang datang menusuk tulang. “Kau tahu, apa yang sering aku impikan jika hujan-hujan begini?” tanya pemuda yang satunya. “Apa?” “Aku memimpikan dapat tidur nyenyak di dalam sebuah kamar besar dengan kasur empuk, berselimut tebal, menonton acara televisi sambil menikmati makanan ringan dan minuman kaleng.” “Tapi itu tidak mungkin, saudaraku.” “Aku tahu, itu memang tidak mungkin. Tapi setidaknya aku sudah memimpikannya. Bukankah kau sering berkata kepadaku bahwa pencapaian-pencapaian besar itu dimulai dari mimpi?” Pemuda yang satu terdiam. Ia ingat bahwa dirinya memang sering mengatakan hal itu kepada sahabatnya yang mulai terlihat kedinginan itu. Mimpi adalah tangga pertama mencapai keberhasilan. Begitu kata-kata yang acapkali ia katakan. Betapa banyak hal-hal besar di dunia ini yang awalnya dimulai dari sebuah impian. Kemajuan teknologi, perubahan peradaban, kesuksesan, kekayaan bahkan kemerdekaan suatu bangsa sekalipun, semuanya berawal dari sebuah mimpi. Namun apakah mimpi sahabatnya itu akan menjadi kenyataan, sebagaimana contoh-contoh yang sering ia kemukakan saat bercerita betapa pentingnya sebuah mimpi? Sampai di sini pemuda yang satu itu merasa bersalah. Ia lupa mengatakan bahwa selain mimpi, seseorang juga perlu berjuang, mengeluarkan pengorbanan, bahkan dengan nyawa sekalipun. Di luar hujan semakin deras. Petir terdengar menyambar-nyambar. Seisi ruangan dalam gubuk itu pun kini telah berisi air sungai yang mulai meluap menggenangi sebagian bantaran yang berdataran rendah, termasuk gubuk yang ditempati kedua pemuda itu. Sambil merebahkan tubuhnya di atas bale-bale yang tak kalah reot, pemuda yang satu berkata: “Kau tahu, seandainya kita terhanyut air sungai ini dan kita berdua tewas karenanya, tak mungkin ada pejabat peduli dan menaruh perhatian terhadap kita.” “Apakah karena kita miskin?” “Tidak.” “Lalu?” “Karena kita sudah lama tidak dijadikan focus utama pembangunan negeri ini.” “Bicaramu seperti pengamat saja, saudaraku,” kata pemuda yang satunya sambil ikut merebahkan tubuhnya di samping sahabatnya, pemuda yang satu itu. “Bukan, tapi seperti bicaranya para penyair.” “Apakah penyair bisa berbicara seperti itu? Setahuku, penyair hanya bicara bunga dan bulan.” “Jangan menghina. Maukah kau kutunjukan sebuah puisi yang aku tulis dua tahun yang silam?” tanpa menunggu jawaban, pemuda yang satu bangkit dan mendekati tas lusuh yang tergantung di dinding gubuk. Dia mengeluarkan sebuah kertas buram yang terlipat dan membawanya ke hadapan pemuda yang satunya. “Bacalah. Biarlah suara angin, gemuruh sungai yang meluap, dan juga kilatan petir menjadi music pengiringnya,” kata pemuda yang satu sambil menyerahkan kertas yang berisikan puisi itu. Pemuda yang satunya menerima kertas itu. Sejenak dia menatap pada sahabatnya, seperti kalau sedang meminta izin sebelum membaca. Kemudian, diantara riuh rendah suara angin dan petir, terdengarlah bait-bait puisi itu dibacakan: Republic Anjing Adalah republic anjing, yang presidennya sibuk berhias sambil mencipta lagu untuk dinyanyikan sebagai hiburan bagi rakyat yang sesungguhnya tak mampu lagi menikmati indahnya sebuah hiburan. Adalah republic anjing, yang wakil presidennya mampu membuat kebijakan dan hukum-hukum disaat hukum itu sendiri mestinya menunjukkan kebijaksanaan atas kasus dirinya sendiri. Adalah republic anjing, yang ketua partainya berani berkata siap berjuang untuk rakyat demi meraih kursi kekuasaan sementara rakyat yang ingin diperjuangkan malah dibenamkan wajahnya ke dalam lumpur kenistaan. Adalah republic anjing, yang para hakimnya mudah dihinakan oleh sejumlah uang yang disediakan untuk membeli keputusan yang salah. Adalah republic anjing, yang para menterinya diangkat berdasarkan harmoni koalisi politik namun tidak pada profesionalisme dan takaran keilmuan yang semestinya. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya lantang berbicara siklus meningkatnya Gross National Produck tanpa tahu soal apakah GNP itu berpengaruh terhadap berjuta mulut menganga dengan lambung tipis karena kelaparan. Adalah republic anjing, yang penguasanya abai atas batas-batas negaranya sehingga baru akan ribut jika ada negara lain yang menginjakkan kaki-kaki mereka di sana. Adalah republic anjing, yang para tukang parkir jalanannya saja berlagak melebihi seorang komandan meliter. Adalah republic anjing, yang para wakil rakyatnya senang dan sering berpelesir dengan dalih studi banding meski pada akhirnya bangsanya sendiri terus-terusan kalah dibanding negara yang dikunjungi. Adalah republic anjing, yang membiarkan para maling dan koruptor tetap aman asalkan hal itu tidak mengganggu jalannya koalisi parpol. Adalah republic anjing, yang para pengusahanya dibiarkan tenang meski tak memenuhi kewajiban pajak yang menumpuk-numpuk. Adalah republic anjing, yang rakyatnya lebih memilih selebriti dari pada orang suci untuk diikuti. Adalah republic anjing, yang para ustadz dan ulamanya sering bertindak tidak jelas antara berdakwah, beraction atau berdagang. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya tidak sanggup membuka mata untuk melihat bahwa diantara rakyatnya banyak yang benar-benar ahli ilmu untuk ditugaskan demi kemajuan negara, sehingga ia senantiasa salah pilih karena yang diangkat ternyata tukang politik yang ahli bohong. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya mengabaikan kesuburan tanah airnya sendiri dengan lebih memilih hasil tanaman negera lain untuk mensejahterakan rakyatnya. Adalah republic anjing, yang memandang hukum bukan pada fakta kesalahannya, melainkan pada kepiawaian mulut pengacara, sehingga maling ayam dan maling sumber daya alam bisa sangat berbeda perlakuannya. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya menyerahkan emas murni pada orang lain dan menyerahkan loyang pada rakyatnya sendiri. Adalah republic anjing, yang lembaga surveinya bisa merubah takaran dan hitungan sesuai dengan siapa yang sedang memesan. Adalah republic anjing, yang aparat keamanan rakyatnya sering menimbulkan ketakutan dan rasa tidak aman pada rakyat sendiri. Adalah republic anjing, yang pelaku entertainmentnya seperti kehabisan ide sehingga yang disuguhkan hanya sinetron murahan, sensualitas dan kawin cerai para artis. Adalah republic anjing, yang para penguasanya lebih senang mengusir pedagang kaki lima serta mempersilahkan cukong berkaki sepuluh untuk menggantikannya. Adalah republic anjing, yang para wakil rakyatnya dipilih berdasarkan kemauan yang diperjuangkan, bukan pada syarat kemampuan keilmuan yang diperhitungkan, sehingga siapa saja merasa pantas menjadi wakil rakyat asal ia mau dan memiliki uang. Adalah republic anjing, bangsa yang membuang-buang pahlawan, pejuang dan para ilmuwan dengan lebih memilih bersanding bersama pengkhianat dan pecundang Dan adalah republic anjing, mereka yang merasa nyaman hidup dalam situasi dengan segala semacam kebusukan itu. “Karya puisimu ini luar biasa, saudaraku,” kata pemuda yang satunya setelah selesai membaca. “Kenapa kau tidak jadi penyair saja. Menulis puisi yang banyak.” “Aku takut.” “Takut apa?” “Jangankan aku. Penyair besar sekaliber Si Burung Merak saja tak pernah dihargai. Bahkan saat ia meninggal, tak ada sambutan khusus dari presiden sebagaimana yang beliau lakukan saat meninggalnya si pelantun lagu Tak Gendong itu. Bangsa ini tak cukup jeli untuk melihat siapa yang benar-benar seniman dengan yang sekadar nyeniman.” “Jangan begitu, saudaraku. Setidaknya masih ada aku yang akan menghargai karya-karyamu. Aku bersumpah, akan selalu mendukung prosesmu. Bahkan dengan seluruh hidupku, jiwa ragaku. Teruslah menulis. Ingatkan republic anjing ini dengan karyamu. Aku akan mendermakan seluruh waktu dan hidupku untuk membantumu.” “Kenapa kau mau berbuat begitu?” “Ah, kau ini. Kau tahu aku ini miskin, tapi setidaknya aku memiliki sesuatu yang bisa kudermakan untukmu, sahabat sejatiku. Aku ingin, kelak Tuhan tak banyak tanya dengan apa yang telah aku berikan kepadamu.” “Maksudmu?” “Aku pernah mendengar, seorang sufi bernama Al-Kattani berkata, bahwa pada hari pembalasan, seluruh hamba Allah akan dimintai laporan lengkap mengenai pengeluarannya, kecuali pada apa-apa yang telah mereka berikan pada teman-temannya. Karena Allah akan merasa malu mempertanyakannya.” “Alangkah menyentuhnya ucapan itu,” seru pemuda yang satu, “aku semakin sadar, bahwa persahabatan yang tulus selalu bisa diceritakan sebagai sesuatu yang sangat indah. Tetapi sayangnya tidak banyak orang yang mau bersahabat tulus dengan orang-orang macam kita. Persahabatan terkadang didasari oleh kepentingan, status social dan kekayaan. Maka kita tidak boleh berharap akan ada orang kaya yang mau menjadikan kita sebagai sahabat mereka. Sahabat yang tulus.” “Ya, itulah resikonya kalau kita hidup di republic anjing.” Kedua pemuda itu tersenyum. Di luar, hujan semakin deras dan semakin deras. Kebumen, 11-11-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar