Selasa, 20 April 2010

Sajak-Sajakan

Sajak-Sajak Salman Rusydie Anwar

Lumpur

900 hari lamanya, aku gali lubang tanah ini. Tengoklah ke dalamnya. Kau akan temukan kerangka tubuhmu yang terlilit akar. Akar dari segala akar, yang sulurnya terus memanjang dan merambat sampai ke dalam otakmu. Mungkin kau tak merasa bahwa sel saraf di otakmu telah menjelma menjadi akar. Penuh tanah. Penuh debu. Hingga kau tak mampu membedakan cahaya matahari dan kunang-kunang.
Di malam kesekian. Dimana rembulan hanya mampu menyorotkan kecemasan. Aku berteriak. “Kau benar-benar makhluk berasalusul lumpur. Hatimu menjelma lumpur. Otakmu penuh lumpur. Matamu tertimbun lumpur. Telingamu tersumbat lumpur. Bahkan, langkah dan rencanamu hanya sampai di kedalaman lumpur.”
Aku mulai lelah. Ingin menutup lubang tanah ini. Juga sekalian dengan akarnya. Aku tak ingin sel saraf otakku menjadi akar, yang merambat dan menghisap darah di hatiku atau mungkin juga di hatimu.

Kebumen 2010.


Sempor

Ini wadukku. Tempatmu merendam gelisah. Tenang bening air seperti hamparan peta tua. Peta yang ditulis mungkin oleh tangan seorang nabi dari abad yang silam. Susurilah lekukan air dan juga batu-batunya sampai engkau tiba di gerbang cuaca. Cuaca yang mengabarkan betapa senyummu harusnya lebih merdeka dari pada duri.
Juga panjatlah ujung pinus agar tanganmu sempurna membelai awan. Tidak. Mungkin juga mengelus langit tempat yang dipenuhi kota rahasia. Kota yang menurut dongeng orang-orang tua selalu berkemas untuk membangun hari esok dengan kepingan bunga bakung, eik dan juga cempereng.
Bunga-bunga itu akan terus mekar. Mengembangkan senyum para peziarah yang sehari-hari terlempar dari jalan yang gelap ke gang yang hitam.

Kebumen 2010.


Sangsi

Ada yang mencegahmu. Mungkin kesangsian. Saat kakimu melangkah hendak memasuki senja. Senja yang menenggelamkan seluruh kota, tempat para muallif menulis kearifan di selembar kertas buram.
Kaupun membisu. Bersandar pada tiang listrik yang menyangga seluruh aliran keluh kesahmu. Tak ada sekelar cadangan yang dapat kau raba di samping kiri dadamu. Dada yang selalu gemetar menahan hembus angin yang berlompatan dari bait-bait kearifan di atas selembar kertas buram.
Engkau terus terpaku di atas kaki air matamu. Air mata yang tak pernah sanggup melata di gigir waktu, yang hanya mampu berputar-putar sendirian tanpa tahu kapan waktunya harus pulang. Kesangsian telah menjebakmu diantara huruf-huruf kearifan yang ditulis muallif itu. Dan engkau tak terbaca dan tak bisa membaca. Engkau hanya sanggup menatap mata muallif yang terus menulis kearifan dengan rasa cemas di hatimu.

Kebumen 2010.

Rabu, 24 Maret 2010

Rokok

Rokok
Cerpen Salman Rusydie Anwar


Siang itu, aku terkapar kepanasan di beranda rumah. Kurangnya pepohonan di sekitar halaman membuat suasana rumahku tetap terasa gerah meski saat itu aku bertelanjang dada. Belum lagi posisi rumah yang berada tepat di pinggir jalan besar yang setiap hari tak pernah sepi dari bisingnya suara kendaraan. Rasanya begitu muak bertahan lama tinggal di rumah itu. Tapi untuk pindah ke daerah lain yang lebih sejuk juga tak mungkin. Harga tanah sekarang ini mahal sekali dan hal itu jelas tak akan terbeli oleh penghasilanku yang cuma sebagai penjual asongan rokok, yang berkeliling di dalam pasar dan terminal angkot.
Aku hampir terlelap ketika seberkas cahaya berwarna kebiru-biruan tiba-tiba meluncur dari atas langit dan langsung jatuh tepat di samping kepalaku. Tapi aku tidak kaget. Sudah dua tahun terakhir ini aku sering mengalami hal-hal seperti itu. Dan itu pasti Kiai Majnun. Sosok yang dianggap orang sebagai manusia sakti karena dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi seberkas cahaya berwarna biru.
Entah apa yang ia kagumi dari diriku. Ia selalu berkata kalau dia merasa nyaman denganku. Mungkin karena hanya aku yang tidak terlalu membesar-besarkan kesaktiannya diantara orang lain yang bahkan menganggapnya seperti malaikat. Aku anggap kemampuannya yang bisa mengubah diri menjadi seberkas cahaya, dan juga kemampuannya bisa terbang dan mendatangi sebuah tempat dalam sekejap mata hanya masalah biasa.
“Itu hanya sebagian kecil dari anugerah Tuhan yang diberikan kepada sampeyan. Jadi tidak usah berlagak di depan saya,” kataku pada saat pertama kali berkenalan. Dan sejak saat itu pula ia kerap mendatangiku kapan saja ia suka, dan dimana saja aku berada. Meski awalnya aku merasa kesal, namun akhirnya aku menikmatinya juga. Apalagi ia selalu mengeluarkan humor-humor, tingkah laku dan pernyataan-pernyataan geli yang kadang sulit dicerna orang. Itu sebabnya aku panggil dia Kiai Majnun. Kiai gila. Begitu kira-kira artinya.
“Aduh, Kiaii... Ada apa lagi sih. Kok datang siang-siang begini?”
“Kenapa. Kamu tidak suka aku datang?”
“Bukan begitu. Saya ini lagi suntuk, capek dan mau istirahat.”
“Ya sudah, istirahat saja. Aku juga mau numpang istirahat, kok.”
Kiai Majnun merebahkan tubuhnya di samping tubuhku. Sejenak ia terdiam dan akupun sengaja tak mau mengajaknya bercakap-cakap seperti biasanya kami lakukan. Tapi dasar Kiai Majnun, dia seperti tak betah di kepung sunyi. Kalau dia tahu aku belum tidur, pasti ada saja yang mau diomongkan. Bahkan meski aku sudah tidur, tidak jarang pula dibangunkan.
“Le, kamu belum tidur kan?”
“Memang ada apa, Kiai. Saya memang mau tidur dan tolong kiai jangan ganggu saya dulu.”
“Tadi bilang kamu suntuk. Makanya aku ajak kamu ngobrol.”
“Nanti saja deh, ngomongnya Kiai. Sekarang ini waktunya tidak memungkinkan.”
“Wah…kamu ini gimana toh. Justru kalau diomongkan nanti aku takut keburu lupa dan omongannya menjadi tidak kontekstual lagi.”
“Setiap omongan kiai, buat saya, selalu kontekstual. Kiai mau ngomong di mushalla, di masjid, di lapangan sepak bola, di teminal angkot dan bahkan di kamar mandi pun tetap saya anggap kontekstual. Jadi, tahan dulu omongan kiai untuk dibicarakan nanti sehabis saya bangun tidur.”
Aku menutup wajah dengan baju yang tadi dilepas. Lalu berpura-pura terlelap meski sebenarnya hal itu tidak bisa aku lakukan karena Kiai Majnun yang grusak-grusuk balik kiri, balik kanan seperti kardus yang ditimpa angin besar. Aku bersabar dalam keadaan seperti itu. Ingin rasanya menghardik sosok Kiai Majnun ini. Tetapi tidak tega. Takut dia marah, tersinggung dan akhirnya tak mau datang lagi menjumpaiku. Padahal, diam-diam, aku pun merasa enjoy dengan beliau.
“Le, tak baik tidur dalam keadaan suntuk. Kamu pasti mimpi jelek. Atau kalau tidak, tidurmu tak bakalan nyenyak. Jadi tenangkan dulu pikiranmu. Bebaskan dari kesuntukan, dan setelah itu baru tidur. Saya jamin pasti nyenyak.”
“Memang Kiai tahu apa, kenapa saya suntuk?”
“Paling-paling masalah hutang itu lagi. Iya, kan?”
“Ini lebih dari sekadar hutang Kiai,” jawabku setengah kesal.
“Sebentar kutebak,” kata Kiai Majnun sambil memejamkan kedua matanya seperti orang yang sedang meramal.
“Ohh….pasti,” katanya lagi tiba-tiba.
“Pasti apa?”
“Pasti soal rencanamu yang mau menikah lagi dengan Zainab, kan. Hehehe…” kali ini Kiai Majnun terkekeh-kekah. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tawa.
“Salah, Kiai. Salah. Masalah yang membuat saya suntuk ini sepertinya tidak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan niat itu. Sudahlah. Lupakan Zaenab, Fathimah, Desy Ratnasari….”
“Oohhh… kenapa ada Desy Ratnasari. Katanya cuma Zaenab sama Fatimah pilihannya?”
“Aduh, Kiaii.... . Sudahlah. Kesuntukan saya ini tidak ada hubungannya dengan perempuan dan hutang itu. Titik.”
“Lha, ya terus apa?”
“Rokok,” jawabku ketus.
“Rokok. Memang kenapa dengan rokok? Kamu habis modal dan tak bisa berjualan rokok lagi? Ngomong, dong.”
Aku menghela napas dalam-dalam. Menenteramkan kesuntukan yang sudah bercampur aduk dengan rasa jengkel, mengkel, marah dan rasa ingin memelintir mulut Kiai yang satu ini.
“Bukan itu, Kiai. Bukan itu. Tapi sekarang saya tidak mungkin lagi berjualan rokok karena rokok sudah diharamkan.”
“Hussyy…,” Kiai Majnun terbelalak seperti tidak percaya. Wajar saja dia bersikap begitu. Soalnya dia perokok tangguh yang dapat menghabiskan dua puluh batang dalam sehari.
“Ini benar, Kiai. Kalau tidak, ndak mungkin saya suntuk dan uring-uringan begini.”
“Memang siapa yang mengharamkan? Pemerintah?” tanyanya penasaran.
“Itu tidak penting Kiai tahu. Yang penting sekarang, Kiai harus memberi penjelasan kepada saya mengenai masalah yang satu ini.”
“Lho, kenapa saya yang harus kena getahnya?”
“Memang begitu maunya saya…”
Kiai Majnun hanya geleng-geleng kepala mendengar tekananku. Namun ia masih sempat cengar-cengir saja meski ditekan-tekan seperti itu. Wajahnya selalu menunjukkan kalau ia tak bisa ditekan, diintervensi dan dipengaruhi oleh apa pun yang ada di luar dirinya.
“Sekarang aku ingin tanya satu hal sama kamu. Sejak ada pengharaman rokok seperti itu, apa rokokmu tidak laku sama sekali?” tanya Kiai Majnun.
“Itulah anehnya, Kiai. Malah asongan rokok saya tetap laris seperti biasanya dan bahkan lebih laris dari hari-hari sebelumnya,” jawabku ganti bersemangat.
“Kenapa kamu anggap aneh?”
“Ya. Padahal kan sudah diharamkan. Logikanya, kalau sudah haram orang kan mestinya takut. Tapi kenapa ini masih laris dan tambah laris saja asongan saya.”
“Jadi itu menurutmu fenomena yang aneh?”
“Jelas aneh, Kiai. Tapi kenapa tanya-tanya itu segala sih?”
Kiai Majnun kembali tertawa terkekeh-kekeh.
“Le, larangan itu juga tidak kalah anehnya buatku. Hehehe…..,” tubuh Kiai Majnun terguncang-guncang lagi.
“Aneh bagaimana, Kiai. Yang mengeluarkan putusan haram itu orang-orang hebat lho. Bahkan mungkin Kiai sendiri dapat dikalahkan dengan mudah seandainya diajak berdebat oleh mereka.”
“Ah, sudahlah. Aku memang mungkin kalah kalau diajak berdebat. Tapi intinya larangan itu aneh. Titik.”
“Makanya tolong Kiai jelaskan. Kenapa aneh?”
“Ya, tapi tolong ambilkan dulu aku sebatang. Mulutku lagi masam ini.”
Aku tak berkutik. Dengan malas aku bangkit untuk mengambilkan rokok untuknya. Tak hanya itu, aku juga menyalakannya biar dia bisa langsung menghisapnya. Kiai Majnun menerima rokok itu dengan girang dan menghisapnya dalam-dalam.
“Kau tahu, kenapa aku tadi katakan kalau larangan pengharaman itu aneh?”
“Tidak, Kiai.”
“Karena menurutku, itu kurang substansial. Bagaimana mungkin rokok diharamkan kalau pabriknya tetap dibiarkan jalan dan memberikan pemasukan pajak berlipat-lipat pada negara. Kamu tahu, berapa triliun negara menerima pemasukan dari perusahaan rokok itu?”
“Saya tidak tahu, Kiai. Memang berapa?”
“Makanya saya tanya kamu, siapa tahu kamu tahu. Ah… malah kamu sama gendengnya seperti aku. Pantas saja kamu jadi tukang asongan. Kalau pintar dikit, kamu pasti diajak rapat untuk membahas haramnya rokok.”
Aku biarkan saja Kiai Majnun mengata-ngataiku seenaknya. Memang begitulah yang sering dia lakukan selama ini terhadapku dan anehnya aku tetap menyukainya.
“Terus. Terus?”
“Terus apanya?”
“Soal yang aneh-aneh itu tadi.”
“Oh. Ya jelas larangan itu aneh. Harusnya yang diharamkan itu pabriknya. Haram memproduksi rokok. Kalau itu berhasil, saya jamin para perokok akan berhenti dengan sendirinya. Kecuali mereka berani ngulak ke Amerika langsung.”
“Sebentar, Kiai. Dulu Kiai pernah berkata bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki manfaat. Kalau sawi, kangkung, bayam, itu jelas bisa dibuat sayur. Dan saya juga berpikir, kalau daun tembakau ini manfaatnya agar bisa dibuat rokok. Tapi kalau sekarang diharamkan, berarti daun tembakau itu sudah tidak ada manfaatnya lagi dong, Kiai. Mungkin Tuhan perlu membinasakan benih tanaman yang bernama tembakau itu dari sejarah manusia.”
“Kalau begitu, silahkan kamu bilang sendiri sama Tuhan.”
“Maksudku bukan itu, Kiai. Artinya, kalau rokok itu diharamkan, lantas daun tembakau itu mau dimanfaatkan untuk apa?”
“Mungkin sewaktu-waktu kita coba jadikan sayur saja.”
“Ayolah, Kiai. Saya ini serius.”
“Aku juga serius. Kamu ini enak saja. Aku ini tidak tahu, selain dibuat rokok, manfaat daun tembakau itu bisa dibuat apa lagi. Makanya aku bilang kalau sewaktu-waktu kita coba nyayur dengan memakai daun tembakau. Pasti rasanya lebih legit.”
“Ah, Kiai ini sudah mulai ngawur.”
“Sama ngawurnya dengan keluarnya larangan itu kan?”
“Huss…., jangan bilang-bilang begitu, Kiai. Kalau sampai kedengaran, Kiai bakal tahu akibatnya. Kiai bakal kena pasal…”
“Pasal apa,” potong Kiai Majnun tiba-tiba. “Kalau mau bicara pasal, aku hapal di luar kepala. Aku kasih contoh ya, kalau ada seorang pengendara motor yang tidak memiliki SIM dan ditangkap polisi, maka negara akan memberi sanksi dengan pasal 20.000. Itu baru SIM. Kalau dia juga tidak bawa STNK, maka ia akan dikenai pasal 40.000. Bagaimana, sudah jelas kan, kalau aku tahu benar soal pasal-pasal hukum?”
“Sudah. Sudah, Kiai. Makin lama Kiai makin ngawur saja. Nanti omongan Kiai benar-benar didengar orang lho.”
“Kalau begitu aku pergi saja.”
“Oh, itu lebih baik, Kiai. Saya juga sudah ngantuk. Mau tidur.”
“Eh…tapi aku kasih satu bungkus lagi lah. Nanti aku bayar.”
Ah, benar-benar gila Kiai yang satu ini.


Kebumen, 20 Maret 2010.

Siti Maryam Award

Siti Maryam” Award
By Salman Rusydie Anwar

Di suatu malam yang lengang dan bergerimis, saya mengisi kejenuhan dengan menonton televisi bersama istri. Saya tidak tahu apa nama acaranya. Maklum, sejak beberapa bulan ini saya berusaha untuk tidak terlalu berketergantungan pada kotak ajaib itu. Selain tidak menemukan acara yang benar-benar mendidik dan mendewasakan, saya juga merasa kerap dikecewakan oleh televisi karena hampir 90% acaranya hanyalah main-main. Saya bukan anti tv. Tapi sekadar tidak merasa terlalu butuh kepadanya.
Di dalam acara yang saya saksikan malam itu, tampak ada seorang perempuan artis yang sedang menjadi bintang tamu. Menurut host acara itu, perempuan tersebut baru saja melahirkan. Dan memang kelihatan kalau ia baru melahirkan. Badannya melar layaknya perempuan yang memang habis melahirkan.
Tetapi yang membuat saya tercenung adalah ketika istri saya mengatakan bahwa perempuan itu ternyata melahirkan tanpa jelas diketahui siapa ayahnya. Astaghfirullah. Saya mencoba menahan diri untuk tidak mengutuk, membenci dan meremehkannya walaupun godaan itu teramat besarnya di dalam hati. Lebih jelasnya, saya niatkan kata-kata istighfar itu untuk memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang sekiranya menimpa saya seandainya saya terlanjur mengutuk perempuan itu. Selebihnya, saya juga memohonkan ampunan atas perempuan itu kepada-Nya karena siapa tahu artis tersebut sedang khilaf. Entahlah.
Dengan nada berkelakar, saya katakan kepada istri bahwa artis tersebut barangkali ingin menjadi “Siti Maryam” kontemporer yang bisa hamil tanpa harus ada suaminya. Mungkin ia ingin menguji dan membuktikan kembali kekuasaan Allah bahwa Dia benar-benar berkuasa untuk membuat seseorang hamil tanpa perantara suami sekalipun.
Namun tak penting benar kelakar itu ditanggapi. Satu hal yang pasti. Saya melihat betapa si artis yang hamil tanpa suami itu kelihatan benar-benar menikmati kelahiran anaknya yang tanpa ayah. Senyumnya terus mengembang menanggapi berbagai gojekan dan pertanyaan si host acara. Jangankan penyesalan, niat untuk menyesal sepertinya tak pernah terbersit di dalam hatinya. Dia terlihat sumringah seperti perempuan pada umumnya yang habis melahirkan namun jelas siapa suaminya.
“Bagaimana sampeyan menanggapi masalah itu?” tanya istri saya tiba-tiba.
Saya tergeragap. Bukan karena saya tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaannya. Tetapi apa perlunya saya menanggapi masalah kehamilan dan kelahiran si artis itu. Dia bukan saudara dan famili saya. Juga bukan sahabat saya. Sekalipun dia artis, dia juga bukan idola saya dan saya tak pernah merasa menyaksikan aktingnya di depan mata kepala saya sendiri. Secara sosiologis, saya merasa tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadap semua perbuatannya. Silahkan dia mau hamil lagi dan lagi tanpa ada suami, silahkan. Bahkan silahkan saja dia mau berganti kelamin dan kemudian menghamili perempuan lain sesama artis, juga silahkan.
Artinya, saya tidak punya koneksi apa-apa dengan dia. Meskipun saya dibayar untuk menjadi idola yang ditugaskan mengelu-elukan dirinya sebagaimana yang terlihat pada penonton yang hadir di acara itu, insya Allah saya tidak akan mau. Dalam hidup ini, saya sudah memiliki idola yang setiap waktu selalu saya rindui paras wajahnya. Bahkan tiap detik saya usahakan untuk menyebut-nyebut namanya:
Ya ayyuhalmusytaaquuna ilaa ru’yati jamaalihii, shalluuu ‘alaihi wa sallimuu tasliima
Engkau yang menyimpan kerinduan untuk bertatapan wajah dengan keindahan beliau, bershalawatlah kepadanya.
Itulah idola saya dalam hidup ini. Jadi, mohon maaf, seandainya dia datang sendiri ke rumah saya dan menawarkan banyak uang dan fasilitas agar saya bersedia menjadi idola yang harus terus memujinya meski dia hamil tanpa suami, insya Allah saya akan terima uangnya dan saya berikan semua kepada beberapa anak asuh saya yang sekarang sedang mati-matian belajar menata bagaimana hidup yang benar. Selebihnya, akan saya lupakan dia.
Tetapi sesama hamba Allah, serta demi kemantapan sikap dan ilmu, saya juga merasa perlu memberi tanggapan atas pertanyaan istri saya itu. Pertama-tama yang saya kemukakan kepada istri saya adalah, kita harus segera mendoakan si artis agar ia cepat-cepat menyadari kekeliruannya. Dengan tegas saya katakan bahwa ia jelas-jelas bukan Siti Maryam dan tidak mungkin Allah mengulang mukjizatnya kepada beliau.
Bahkan Siti Maryam saja gusar, bercucuran air mata dan mengisolasi diri ketika ia diberi tahu bahwa Allah akan menganugerahkan seorang anak yang kelak akan menjadi manusia mulia, seorang Nabi, “Bagaimana mungkin saya bisa hamil, padahal saya tidak bersuami,” demikian kegusaran Siti Maryam. Lha, tapi si artis ini malah sebaliknya. Ia malah mengumbar-umbar senyumnya di depan kamera. Ia jumpa pers segala, mengabarkan bahwa ia telah melahirkan anak. Anak tanpa ayah.
Hmmm….
Kemudian yang kedua, kalau Allah menimpakan dosa berat kepada si artis karena ia telah hamil tanpa suami hingga sekaligus ia melahirkan anak tanpa ayah, maka sejatinya menurut saya, dosa itu juga berlaku bagi penonton yang hadir dalam acara itu. Sebab mereka datang dan dibayar untuk menyaksikan, menyoraki dengan penuh kegembiraan dan mengelu-elukan dengan penuh kekaguman hingga substansi kesalahan dan dosa si artis menjadi lumer dan samar-samar. Bahkan tak terlihat sama sekali, tergilas oleh nuansa hiburannya. Tetapi kita berdoa, agar mereka tidak menyangka bahwa yang dilakukan si artis adalah tindakan yang benar hanya karena mereka dibayar dan masuk tv. Ya, ampun, kata Popeye.
Di luar hujan bertambah deras. Saya tak lagi fokus pada acara televisi. Tetapi pada diskusi soal si artis. Namun belum selesai saya mengurai-nguraikan pendapat, istri saya malah memberi informasi tambahan bahwa si artis yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami itu mendapatkan penghargaan dari salah satu lembaga, entah LSM atau apa.
“Penghargaan. Penghargaan karena apa?” saya terlonjak.
“Penghargaan karena dia tidak menggugurkan kandungannya meski itu hasil hubungan dengan orang yang bukan suaminya.”
Wah…wah, kelucuan macam apa lagi ini. Orang yang melahirkan anak tanpa jelas siapa suami atau ayah dari anak tersebut malah mendapatkan penghargaan. Sementara ada seorang istri yang melahirkan anak tetapi kemudian ditinggal oleh suaminya sehingga dia harus banting tulang peras keringat sendiri untuk membiayai anaknya, kok malah “aman-aman” saja dari penghargaan, kok malah tidak menjadi bintang tamu acara televisi, kok malah tidak dikagumi para penonton.
“Coba saya banyak uang,” kata saya pada istri, “Saya pasti akan membuat acara penganugerahan “Siti Maryam Award” kepada artis-artis Indonesia yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami. Akan saya kemas agar acara penganugerahan itu bergengsi, mendapatkan banyak sponsor, bahkan kalau perlu harus mendapatkan restu langsung dari Allah, para nabi dan para malaikat.”
“Kenapa begitu?” tanya istri
“Ya, biar makin banyak lagi artis-artis yang bersedia dibuahi rahimnya oleh laki-laki yang itu jelas-jelas bukan suaminya. Acara itu pasti akan menghasilkan banyak keuntungan. Sebab semua rakyat Indonesia pasti menyukai dan tertarik karenanya. Soalnya mereka kan artis. Mereka mau hamil dua puluh tiga kali tanpa suami pun, masyarakat tetap akan mengidolakannya, penasaran ingin tahu kabarnya dan syukur-syukur mereka mau mengikuti perilakunya.”
Di luar, hujan sudah reda. Meninggalkan suasana dingin yang memungkinkan bagi saya berdua untuk lekas-lekas masuk kamar tidur dan melakukan sebuah upaya regenerasi sejarah.
Hmm…



Kebumen, Jum’at 19 Maret 2010.

Kamis, 11 Maret 2010

Tak Ada Receh Untuk Pengamen

Tak Ada Receh Untuk Pengamen
By: Salman Rusydie Anwar

Saya tidak tahu, di hadapan negara yang besar dan kaya raya ini -yang katanya penduduknya menganut kepercayaan kepada Tuhan, yang katanya rakyatnya berpegang teguh pada nilai-nilai adat ketimuran serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan- dimanakah letak nasib para pengamen?
Terpaksa harus saya tanyakan nasib para pengamen ini karena secara tidak sengaja saya pernah melihat tempelan selebaran di sebuah pasar yang berisi tulisan NGAMEN GRATIS, dan dipojok kanan bawahnya tertera institusi yang mengeluarkan pengumuman itu: Ttd Polsek Kebumen. Tidak hanya satu selebaran, hampir semua pertokoan, baik kecil maupun besar, di pintu-pintunya tertera tulisan semacam itu.
Saya tersenyum kecut melihat tulisan tersebut. Dan saya memiliki dua alasan penting untuk dikemukakan yang menyebabkan lahirnya tulisan ini kemudian:
Pertama, mungkin karena terlalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang beradab dan penuh budi pekerti halus, maka hampir di segala bidang dibentuklah eufemisme-eufemisme. Mengusir pengamen diperhalus menjadi NGAMEN GRATIS, mengobrak-abrik pedagang kaki lima dipermak menjadi PENERTIBAN, mengucilkan pengemis dari satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka kerjakan diubah menjadi, BERBAHAYA DAN TIDAK MENDIDIK (lengkap dengan gambarnya yang biasa ditempelkan di perempatan-perempatan jalan besar).
Kedua, mungkinkah kita sekarang ini hidup di suatu era dimana egoisme hampir menjadi panglima dari setiap gerak langkah kita. Egoisme yang saya maksudkan bukan hanya mau tahu kepentingan sendiri, akan tetapi pemahamannya telah memuai menjadi semacam keyakinan kolektif bahwa yang kita miliki benar-benar milik kita sendiri.
Penganut keyakinan egoisme seperti ini barangkali memiliki prinsip bahwa, “hartaku adalah mutlak hartaku. Karena itu tak ada alasan untuk memberi sekadar uang receh kepada pengamen atau pengemis sekalipun, sebab itu berarti mengurangi jumlah hartaku.”
Saya tidak tahu, apa yang bisa kita perbuat untuk menghentikan makin kencangnya laju fenomena semacam ini. Yang jelas, semua orang di pasar itu seakan merasa aman untuk tidak memberi dan membantu orang lain. Legalisasi untuk sebuah kebakhilan yang dikeluarkan institusi negara sekaliber Polsek -dengan kata-katanya NGAMEN GRATIS-, sepertinya membantu masyarakat untuk menikmati ketidakpedulian dan keacuhannya pada kesusahan orang lain. Kalaupun benar yang mengeluarkan maklumat itu adalah Polsek, maka itu artinya institusi negara telah memancing tumbuhnya sikap tidak peduli, tidak mau membantu, tidak mau tolong menolong serta menipiskan rasa kepekaan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Mungkin saya paham alasan Polsek mengeluarkan atau bersedia menjadi penanggung jawab atas keluarnya peringatan edaran seperti di atas. Pengamen dapat mengganggu ketentraman dan keindahan sebuah kota. Itulah satu-satunya alasan klasik yang biasa dimiliki oleh pemerintah. Bahkan mungkin alasan seperti itu juga yang diyakini para pedagang sehingga mereka bersedia tokonya ditempeli surat edaran tersebut tanpa rasa sedih sedikitpun. Akan tetapi, apa yang bisa diperbuat oleh pemerintah dan kita semua untuk menentramkan kegelisahan para pengamen atau pengemis yang setiap hari dicekam rasa takut tidak makan?
Tak ada jawaban yang pasti. Kita pun lebih memilih bungkam dan tidak mau tahu. Uang receh senilai seratus rupiah ternyata gagal kita perlakukan dengan benar. Kita gagal membaca kemungkinan bahwa dengan uang receh itu kita dapat mentransfer kasih sayang dan kepedulian antar sesama sebelum akhirnya kita mendapat transferan kasih sayang Allah, entah dengan cara dan dalam bentuk apapun.
Seorang ibu, yang sempat saya tanyakan tentang masalah pengamen dengan lantang berkata, “Para pengamen itu hanyalah orang-orang yang malas bekerja. Padahal mereka masih muda, masih gagah dan kuat.” Saya maklum jika itu alasan yang membuat ibu-ibu dan bapak-bapak di pasar itu tak mau kehilangan receh seratus rupiahnya. Dan alasan ini sebenarnya bisa saja muncul di dalam benak kita sendiri. Akan tetapi, alasan yang demikian menyiratkan satu hal penting. Bahwa ternyata kita sudah terlalu lama tidak mau belajar kejernihan sehingga yang ada hanyalah buruk sangka demi buruk sangka. Kita lebih senang melempar uang receh tetapi dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan dari pada membiarkannya begitu saja seperti kita membuang upil. Logikanya, memberi dengan uang receh saja gerundelannya sehari semalam. Apalagi memberi sepuluh ribuan. Pasti menggerundel sepanjang tahun.
Anomali Nilai-Nilai
Sekarang kita sepakati saja bahwa NGAMEN GRATIS dan kata-kata senada lainnya merupakan potret baru dalam kebudayaan masyarakat kita. Ajaran tentang berbagi sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk luntur. Seorang pemilik toko dengan jumlah dagangan yang sangat banyak serta dengan pemasukan yang besar memandang kedatangan pengamen dan pengemis layaknya seekor anjing liar penuh borok. Sekeping uang receh terasa seperti satu ons emas murni. Mereka genggam erat-erat sampai suara sumbang para pengamen dan pengemis lamat-lamat pudar dan mereka pergi menahan kecewa.
Lalu kepada siapakah mereka harus meminta? Pemerintah. Tidak mungkin. Sebab pemerintah tidak memiliki undang-undang untuk memberdayakan mereka. Yang dimiliki pemerintah adalah undang-undang untuk mengusir dan memberangus mereka.
Mungkin kepada pemilik toko atau kita sendiri, yang dimata pengamen atau pengemis diyakini memiliki kelebihan dan kedermawanan untuk memberi.
Rasanya kok tidak mungkin juga ya. Apalagi kita terbiasa bersikap tenang-tenang saja sebagaimana para pedagang di salah satu pasar di Kebumen itu. Intinya, kita sekarang ini sedang mengalami anomali nilai-nilai. Perlahan-lahan kita tanggalkan ajaran luhur dan kemudian kita ganti dengan ajaran baru yang kita sangka lebih luhur dari yang pernah kita miliki. Modus penggantian ajaran itu bermacam-macam. Salah satunya ya, dengan bahasa-bahasa eufemisme seperti di atas.
Maka saya merasa bangga ketika suatu hari, di sebuah perempatan jalan Jogja, saya didatangi seorang pengemis anak-anak dan saya memberinya selembar uang ribuan. Tiba-tiba, seorang lelaki pengendara motor di samping saya berkata:
“Mas, lihat peringatan itu, “katanya sambil menunjuk pada sebuah gambar yang berisi larangan memberi dengan alasan “tidak mendidik”.
Saya menjawab dengan pelan, “Kalau mas menganggap perbuatan saya tidak mendidik, sebaiknya bawa anak ini ke rumah mas dan didiklah dia dengan benar. Tetapi kalau mas tidak mau mendidiknya, mas salah besar. Sebab sudah tidak mau mendidik, mas tidak mau memberi pula.”
Lampu hijau akhirnya menyala. Dan para pengendara berebutan untuk saling mendahului. Termasuk lelaki itu tadi. Saya tidak tahu, apakah ia marah atau memang sedang buru-buru.

Selasa, 23 Februari 2010

“Menyalakan Cahaya Peradaban Muhammad”

“Menyalakan Cahaya Peradaban Muhammad”
Oleh Salman Rusydie Anwar*


Hampir tidak pernah ada kata bahasa yang cukup untuk menjelaskan secara akademik perihal Nabi Agung Muhammad SAW, yang pada tanggal 26 Februari ini akan kita peringati kembali kelahirannya. Hal ini tentu saja bukan apologi semata. Sebab sejarah sudah sedemikian banyak melahirkan berbagai kajian tentang beliau, dan hal itu seakan tak pernah menemukan kata selesai, entah sampai kapan.
Bagi kita umat Islam, posisi Nabi Muhammad bukan saja sebagai sosok yang telah berusaha dan berhasil mengarahkan kita pada jalan hidup yang seharusnya kita jalani. Namun yang paling penting dari semuanya adalah kebersediaan beliau untuk melakukan negosiasi ruhani, serta tawar menawar dengan Allah kelak di akhirat mengenai kejelasan nasib kita dihadapan pengadilan-Nya Yang Maha Adil.
Maka tak ada yang sia-sia bagi kita yang hendak kembali menghayati hari kelahiran beliau sekarang ini. Di tengah geriungnya konstelasi hidup yang dari hari ke hari senantiasa mencipta harapan dan kecemasan, kearifan yang terpancar dari dalam dirinya memang layak dirindukan. Setidaknya hal itu dapat kembali mengingatkan bahwa beliau ada memang untuk kita.
Di dalam kosmologi hari maulid yang begitu mendebarkan, miliaran mulut senantiasa menyebut-nyebut nama beliau. Dendang dan puja-puji senantiasa merebak dari satu daerah ke daerah lain, dari satu wilayah ke wilayah lain bahkan dari satu negara ke negara lain. Semuanya mengeluarkan satu suara yang sama, yaitu pekik kerinduan dan rasa cinta yang mendalam. Meski demikian, tentu harus tetap ada satu obsesi yang perlu terus digali dan menjadi prioritas utama dari semua “selebrasi” yang kita lakukan selama ini mengenai maulid.

Tata Nilai Profetik
Secara mendasar, kelahiran Nabi Muhammad memiliki orientasi kemanusia yang cukup jelas. Di awal-awal kelahiran dan pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul, ia dengan gamblang mengatakan bahwa posisi dan fungsi kehadirannya di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak:
“Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.”
Akhlak adalah cara atau tekhnik manusia dalam menjalani kehidupannya. Dan benar tidaknya cara yang dilakukan itu tidak bergantung kepada persepsi-persepsi sempit manusia, melainkan harus didasarkan kepada wahyu Tuhan, baik yang tersurat dalam firman-Nya maupun yang tersirat di dalam banyak segi kehidupan ini.
Sementara Nabi Muhammad sendiri adalah pelaku utama dari cara atau tekhnik yang harus dilakukan untuk menjadi manusia yang benar. Ia cermin atau dalam bahasa Al-Qur’annya uswah hasanah, cermin yang baik, yang dapat menampilkan banyak kebenaran sehingga siapa saja dapat menoleh kearahnya untuk menemukan kebenaran itu sendiri.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, akhlak itu memiliki banyak segi yang tidak terbatas jumlahnya. Akhlak bukan hanya kepatutan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya dan seorang tetangga kepada tetangganya. Namun akhlak itu sendiri sebenarnya menyatu dengan semua sisi kehidupan umat manusia apa pun saja profesi yang dilakukannya.
Seorang petani disebut petani yang berakhlak manakala ia setia menjalankan kegiatannya dengan benar. Ia tidak memberikan racun kepada tanaman dan tanah yang digarapnya, melainkan yang ia berikan adalah benar-benar pupuk yang sesuai kadar ukurannya. Belum lagi kalau kita berbicara hasilnya yang dia gunakan untuk mencukupi kebutuhan semua anggota keluarganya dan sebagian lagi untuk membantu orang lain.
Apalagi bagi seorang pejabat. Seorang pejabat disebut berakhlak manakala ia sanggup menjalankan fungsi jabatannya dengan benar. Jika jabatan yang didudukinya berhubungan dengan bagaimana mengatur kesejahteraan rakyat, maka fungsi jabatan itu benar-benar dia jalankan sebagaimana seharusnya. Tidak ada korupsi, penyelewengan dan distribusi ketidakadilan karena semua tindakan itu adalah tindakan yang menyalahi akhlak dan menyalahi kemanusiaan itu sendiri.
Bahkan akhlak itu adalah apabila Anda menyingkirkan duri dari tengah-tengah jalan yang dapat mencelakakan orang lain jika duri itu tidak Anda singkirkan. Sedemikian luasnya makna dan cakupan akhlak itu sehingga siapapun saja sebenarnya tidak dapat terlepas dari tuntutan untuk senantiasa berakhlak. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi kita sebenarnya sudah dihadang oleh keharusan berakhlak dan itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memberikan tekanan begitu rupa pada fungsi kehadirannya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Memperingati kelahiran Nabi Muhammad atau lazim disebut Maulid Nabi, sesungguhnya merupakan upaya untuk ‘merepresentasikan kembali’ ajaran akhlak yang beliau tanamkan. Saya tekankan sebagai upaya merepresentasikan kembali karena sesungguhnya sudah banyak perilaku kehidupan kita selama ini yang bukan saja tidak mencerminkan perilaku berakhlak, melainkan sudah mencipta “akhlak-akhlak” baru yang sayangnya disangka benar dan sejati.
Arus globalisasi, modernisasi dan informasi yang diterima tidak sebagai bagian dari perkembangan budaya, namun sebagai ajaran keyakinan dan kepercayaan yang harus diikuti telah ikut andil dalam mencipta lahirnya akhlak-akhlak baru itu. Fenomena ini terasa sekali di kalangan remaja dan anak muda kita. Contoh: selama ini mereka telah dipaksa oleh arus informasi untuk mengagumi dan mengidolakan artis melebihi kekaguman mereka kepada Nabi Muhammad, orang tua, dan guru-guru mereka. Dan sayangnya, mereka tidak bisa tidak untuk mengamini itu semua. Mereka khawatir disebut manusia yang tidak modern dan ketinggalan kereta globalisasi. Akhlak bagi mereka adalah hiburan dan euforia itu sendiri, dimana kemungkinan bagi terjadinya perubahan dan pemberdayaan dalam semua aspek kehidupan mereka perlu sekali dicemaskan.
Dalam kancah perpolitikan pun terjadi hal-hal serupa. Prinsip demokrasi liberal telah dipahami sebagai suatu kebenaran absolut yang berada jauh di atas nilai-nilai akhlak yang sejati. Demokrasi liberal telah menjadi semacam agama dan akhlak baru yang harus diyakini dan diikuti. Sehingga ukuran bagi keberhasilan sebuah era pemerintahan kerap dilihat dari seberapa vokal dan berapi-apinya elit pejabat pada saat mengadakan rapat-rapat, bukan pada ketenangan hati dan keistiqamahan sikap dalam menyikapi suatu masalah.
Memang telah ribuan kali kita memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun pengaruh terutusnya beliau untuk menyempurnakan akhlak dalam kehidupan dan perilaku kita rasanya masih perlu dikoreksi dan diperbaiki. Dan pada Maulid kali ini, sungguh kita tidak ingin mengulang kesalahan serupa agar cahaya peradaban akhlak dapat kembali memancar di segala lini kehidupan kita yang masih gelap dan remang-remang.

Namrud dan Matahari Ibrahim

Namrud dan Matahari Ibrahim
Oleh Salman Rusydie Anwar*


“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kalau Anda perhatikan, perdebatan Ibrahim dengan Raja Namrud waktu itu ternyata bukan sekadar perdebatan teologis yang pada akhirnya mengantarkan Ibrahim menang telak atas Raja Babilonia itu.
Namun saya kira, perdebatan itu mengandung teka-teki tertentu berkenaan dengan bagaimana masa depan ilmu teologi dan ilmu kemanusiaan itu sendiri.
Jelasnya begini: kalau Raja Namrud mengatakan bahwa ia merasa mampu “menentukan” mati tidaknya seseorang, maka hal itu konteksnya adalah kemanusiaan. Artinya, dengan kekuasaannya, Raja Namrud memang memungkinkan untuk menentukan hidup matinya nasib kemanusiaan rakyatnya sendiri yang hal itu tentu saja dapat diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang ia kembangkan.
Jika sistem pemerintahan yang ia terapkan adalah sistem kekuasaan yang otoriter, tiran, tidak memperdulikan keadilan, sewenang-wenang, korup dan cenderung menindas, maka matilah nasib kedaulatan negaranya dan mampuslah sisi kemanusiaan rakyatnya. Dan sistem semacam ini ternyata tidak hanya berlaku pada Raja Namrud. Siapa pun saja di dunia ini, yang memerintah dengan cara-cara ala Raja Namrud, maka ia dengan sendirinya adalah Namrud-Namrud baru yang dapat “menentukan” hidup matinya rakyat manusia.
Saya menduga bahwa waktu itu Nabi Ibrahim menyadari kalau dalam aspek kemanusiaan Raja Namrud memang bisa menentukan hidup matinya seseorang dari kalangan rakyatnya sendiri. Dan itulah sebabnya kenapa ia tidak mendebat lebih jauh tentang masalah ini. Tidak mendebatnya Nabi Ibrahim mungkin juga menunjukkan sebuah kemungkinan bahwa pemerintahan ala Namrud akan kembali terjadi pada masa-masa selanjutnya. Dan kita pun pernah merasakan aroma pemerintahan ala Namrud macam itu. Bahkan tidak sedikit negara yang menganut sistem pemerintahan ala Namrud saat ini.
Akan tetapi bagaimana dengan konteks teologi dimana kesombongan Namrud pada akhirnya takluk pada perintah Ibrahim agar dia menerbitkan matahari dari sebelah Barat, tidak seperti biasanya yang terbit dari sebelah Timur? Saya menduga bahwa pada akhirnya matahari itu memang akan selalu terbit dari sebelah timur. Dan jika ia terbit dari sebelah barat, maka kiamatlah itu namanya.
Sekarang saya ingin mengajak Anda untuk berbicara matahari dalam konteks yang lebih simbolistik. Dalam tradisi sufi dan spiritualisme Islam, matahari itu adalah perlambang atau simbol dari sifat Tuhan. Sifat dan karakter matahari adalah membangunkan, yaitu membangun kehidupan untuk dijalankan kembali oleh manusia. Terbitnya matahari dengan sendirinya adalah pertanda dari bangunnya kehidupan setelah mengalami ketertiduran sebelumnya.
Selain itu, sifat matahari yang lain adalah menerangi. Kehidupan tidak akan berjalan dengan benar apabila tidak ada pencahayaan yang berasal dari matahari, sehingga menjadi jelaslah jalan-jalan mana yang harus ditempuh. Dengan matahari, Anda dapat mengenali dengan lebih jelas jurang yang ada di depan Anda, mana yang duri dan mana yang bukan. Lebih jelasnya, matahari dapat menuntun Anda pada jalan mana yang harus Anda lalui.
Lalau kalau kemudian ada istilah peradaban Timur, maka itu sebenarnya adalah peradaban matahari, atau peradaban yang dibangun di atas kesadaran yang utuh pada Tuhan serta sekaligus peradaban yang dijalankan di bawah pencahayaan matahari atau nilai-nilai ketuhanan itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian; apakah yang dimaksud peradaban Timur itu adalah peradaban yang muncul dari wilayah-wilayah yang secara geografis ada di bagian Timur?
Terus terang saya tidak begitu setuju dengan konsep ini. Memang, konsep pembagian peradaban itu memang dibagi menjadi dua bagian. Ada peradaban Timur yang diwakili oleh negara-negara Asia dan semacamnya dan ada peradaban Barat yang identik dengan negara-negara Eropa. Akan tetapi peradaban Timut itu menurut saya hanyalah sebuah idealisme, cita-cita, nilai-nilai dan bukan pemetaan dikotomis geografis macam itu. Sebab Allah sudah menegaskan bahwa kepunyaan Allahlah barat dan timur itu. Sehingga kemana saja engkau menghadap, kalau ia ditujukan kepada “wajah Allah”, maka engkau akan selamat dan mendapat pahala kebenaran.
Sebagai sebuah idealisme, maka peradaban Timur itu sebenarnya dapat dikembangkan dimana saja. Anda boleh saja hidup di benua Amerika, tetapi jika peradaban yang Anda bangun adalah peradaban matahari atau peradaban yang menumbuhkan, membangunkan dan peradaban yang dijalankan di bawah cahaya ketuhanan, maka Anda berhak disebut sebagai pemeluk peradaban Timur.
Sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa apa yang saya kemukakan dari awal adalah menafsir-nafsirkan, jadi bukan tafsir, dan juga hanya sebagai upaya untuk melakukan tajribah. Benar-benar tidaknya segala yang sudah saya katakan, tentu harus dikembalikan pada pengkajian dan penelitian yang lebih serius lagi. Dan disitulah letak tanggung jawab kita sebenarnya.
Kita perlu melakukan pengkajian dan pembelajaran dengan penuh tanggung jawab atas segala sesuatu yang sudah difirmankan oleh Allah. Secara historis, kisah Ibrahim dalam ayat di atas memang berbicara tentang perlawanan beliau atas arogansi dan hegemoni Namrud. Tetapi secara pesan keilmuan dan substansi petunjuknya, kisah itu juga mendorong kita untuk lebih jeli melihat peluang-peluang yang dapat kita masuki untuk menerbitkan cahaya matahari ketuhanan, agar peradaban Namrud dapat diperbaiki. Syukur-syukur dapat dihilangkan, sehingga nasib kemanusiaan tidak mengalami kematian demi kematian.


Kebumen 22 February 2010.

Senin, 08 Februari 2010

Kitalah Mandataris Tuhan Itu!

Kitalah Mandataris Tuhan Itu!
Salman Rusydie Anwar

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka (para malaikat) berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan? Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 30-34)”

Sesungguhnya, peristiwa sujudnya Malaikat kepada Adam yang manusia merupakan peristiwa amat dahsyat dalam sejarah manusia itu sendiri. Kita tahu, betapa Malaikat adalah satu-satunya makhluk yang tidak memiliki pilihan lain kecuali hanya taat kepada Allah SWT. Malaikat diciptakan oleh Allah dengan potensi ketaatan yang luar biasa sehingga tak satupun perilakunya yang menyimpang atau melanggar dari apa yang sudah diperintahkan oleh Allah kepada mereka.
Mengingat ketaatannya kepada Allah mengalahkan makhluk yang lain, maka tidak heran jika pada saat Allah memberi tahu mereka untuk menciptakan khalifah, lantas mereka beramai-ramai datang ‘mendemo’ dan mengajukan gugatan kepada-Nya:
“Mengapa. Mengapa harus Kau buat makhluk lain di bumi itu yang kerjaannya hanyalah merusak dan saling tawur? Tak cukupkah ketaatan yang kuberikan selama ini? Tak memadaikah penyucianku kepada-Mu selama ini sehingga Engkau berencana membuat makhluk lain selain aku?” begitulah kira-kira protes para Malaikat itu.
Tetapi Malaikat hanyalah Malaikat. Mereka adalah makhluk yang keberadaannya dicipta dan ditentukan sendiri oleh Allah. Mereka, meski dengan ketaatan yang luar biasa, tetap tidak mampu mengungguli pengetahuan Allah. Meski mereka selalu dekat dengan Allah, tiap waktu selalu ada di sisi-Nya, namun tak secuilpun mereka tahu apa yang Allah ketahui. Itu sebabnya, dengan tutur kata yang lembut Allah menanggapi demo mereka:
“Aku yang lebih tahu dengan segala rencana-Ku sebagaimana Aku yang lebih mengerti segala rahasia yang ada di pelosok langit dan yang ada di balik lipatan bumi. Jadi kamu tenang sajalah!” begitu jawab Allah kira-kira.
Maka Maha Suci Allah yang kemudian menciptakan Adam, dimana pengetahuan mutakhir para ahli mengenai mutasi ‘gen’ sudah mempercayai bahwa dialah cikal bakal manusia pertama di dunia ini. Namun Allah tidak hanya menciptakan Adam sebagai manusia belaka. Dia juga memberinya gelar kehormatan yang begitu istimewa, yaitu sebagai khalifah.
Terserah kita mau mengartikan khalifah dengan makna apa. Namun yang jelas, khalifah memiliki konotasi makna yang cukup dekat dengan arti mandataris, wakil atau kepercayaan Tuhan yang harus menjalankan tugas-Nya di muka bumi ini dengan benar. Untuk bisa menjalankan tugas itu, Allah memberi Adam pelajaran dan pelajaran pertama yang diberikan Allah kepada si manusia Adam ini adalah pengetahuan tentang nama-nama atau kemampuan mengidentifikasi segala sesuatu yang ada di bumi dimana kemampuan ini pada akhirnya akan berkembang menjadi ilmu-ilmu, seperti ilmu fisika, biologi, sejarah, astronomi, kelautan, politik, sosial, budaya, agama, bahasa dan beribu-ribu disiplin keilmuan lainnya.
Maka tidak usah heran kalau ilmu dan kemampuan yang diberikan Allah kepada Adam ini membuatnya lebih unggul sampai-sampai Allah memerintahkan mereka para Malaikat:
“Sujudlah!”
Jika kita bayangkan, rasanya tidak mungkin manusia Adam ini akan sanggup menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini tanpa rasa tanggung jawab yang total, paling tidak terhadap ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sebab, betapa pun tinggi dan memadainya ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, akan tetapi jika dalam dirinya tidak ada rasa tanggung jawab yang besar untuk hanya menggunakan dan memanfaatkan ilmunya pada kebenaran maka segalanya akan kacau. Atau dalam terminologi Malaikat, “Hanya akan melahirkan kerusakan dan pertumpahan darah.”
Maka Malaikat benar dalam satu sisi, bahwa kerusakan dan pertumpahan darah yang terjadi di muka bumi ini terkadang memang lahir dan sengaja dilahirkan oleh manusia-manusia berpengatahuan tinggi, namun memiliki semangat tanggung jawab yang amat rendah terhadap ilmunya.
Mungkin saja begitu. Kalau kurang puas, silahkan tanya sendiri sama Tuhan. Gak repot, kan!?

Kebumen 29 Januari 2010

Jumat, 15 Januari 2010

Pertobatan Seorang Pengasong Rokok

Pertobatan Seorang Pengasong Rokok
Salman Rusydie Anwar

Saya bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi kesempatan untuk mengawali tahun baru 2010 dengan suatu perbuatan yang saya sangka itu adalah baik. Dalam suatu hari yang tak terduga, tepat dijantung keramaian kota Jogja, dan lebih tepatnya lagi di sebuah mushalla yang ada di salah satu tempat taman bermain, saya dibuat terpukau oleh suara seseorang yang sedang mengaji yang kebetulan dia adalah seorang pengasong rokok eceran.
Saya lihat paras dan penampilannya. Sangat sederhana dan bahkan mungkin lebih dari sekadar sederhana sehingga siapa pun yang pertama kali melihatnya akan langsung menduga bahwa ia adalah lelaki tidak waras yang kebetulan bisa mengaji. Pakaiannya lusuh, rambutnya pendek dan (maaf) cara dia melihat sesuatu seperti orang yang mengalami kelainan mental saja.
Akan tetapi Allah rupanya tidak terima dengan anggapan saya. Dengan strateginya yang sangat lembut, Dia kemudian menumbuhkan sebuah hasrat di kedalaman kalbu saya untuk segera mendekati orang itu. Jika sudah demikian, saya pun tak bisa melawan kehendak-Nya. Saya bangkit dan segera berjalan menuju ke arahnya. Dengan bermaksud membeli dua batang rokok dagangannya saya memiliki kesempatan untuk sekadar berbincang dengan orang itu.
Sebagaimana layaknya basa-basi perkenalan, saya pun tahu tentang nama orang itu, tanah asal kelahirannya, dimana ia tinggal selama di Jogja, bersama siapa dia tinggal dan seterusnya. Tetapi yang membuat saya benar-benar tercengang adalah ketika dia menjelaskan motif kedatangannya ke Jogja dan beberapa peristiwa yang pernah dia alami yang memotifasi dirinya untuk datang ke kota pelajar ini.
Singkat saja saya katakan, bahwa sesungguhnya orang itu datang ke Jogja adalah dalam rangka bertobat setelah tiga tahun lamanya dia terjerumus ke dalam dunia narkoba. Saya heran, bagaimana mungkin dia menjadikan Jogja sebagai tempat bertobat padahal Jogja sendiri tidak begitu steril dari beragam dosa dan kesalahan. Bahkan fluktuasinya setiap hari bisa dibilang dapat terus meningkat. Tetapi itu adalah pilihan hatinya dan saya tidak bisa merubahnya.
Yang lebih membuat saya begitu terkagum-kagum kepada orang itu adalah konsep dan prinsipnya tentang rejeki. Melihat dagangan asongan rokoknya yang hanya beberapa bungkus saja, saya tidak yakin dia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi dia juga menanggung ibu dan neneknya.
“Hampir semua orang berpendapat seperti itu,” katanya tenang, “Tetapi saya tahu kepada siapa saya harus meminta agar kebutuhan hidup saya dapat terpenuhi meski dengan dagangan yang sangat sedikit ini.”
“Maksudmu?” tanya saya.
“Dengar. Di tengah hingar-bingarnya kota Jogja ini, saya tidak pernah larut dengan semua itu sehingga saya lupa memenuhi hak saya kepada Tuhan. Mushalla ini, adalah saksi dimana saya dapat menemui-Nya pada saat orang-orang bergembira dan melupakan-Nya. Saya percaya dengan keyakinan saya kepada-Nya dan Dia juga percaya kepada saya sehingga saya tidak pernah dilupakan untuk dibantu, diberi jalan keluar atas semua masalah rejeki saya.”
Siapapun Anda, pasti tidak akan percaya bahwa kalimat-kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang lelaki pengasong rokok yang kelihatan seperti penderita cacat mental. Tetapi begitulah kenyataannya. Mendengar semua percakapannya yang hangat, Allah tiba-tiba menuntun tangan saya untuk merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar uang yang jumlahnya tidak terbilang besar. Saya menyerahkannya dan dia menerima dengan mimik yang biasa-biasa saja.
Dari bibirnya hanya keluar sebuah kalimat, “Terima kasih. Semoga Anda selamat.”
Lekas-lekas saya meninggalkan tempat yang ramai itu sekadar berusaha untuk menyelamatkan diri agar apa yang saya perbuat terhadap lelaki itu tidak terlihat oleh orang lain. Saya tahu hati saya yang amat sangat rawan untuk tercebur dalam kesombongan dan senang dipuji. Itu sebabnya saya segera meninggalkan orang itu.
Dalam perjalanan pulang, saya masih terbayang-bayang dengan wajahnya. Masih terngiang dengan nada suaranya yang menyiratkan bahwa dia memang benar-benar serius dengan keyakinannya, keimanannya dan juga Tuhannya. Seperti itulah sikap hidup lelaki itu yang saya sendiri tidak pernah mampu menjamin bahwa saya akan dapat memilikinya meski telah saya keruk makna kekotapelajaran Jogja tercinta ini.


Yogyakarta, 01-01-2011.

Rabu, 13 Januari 2010

Veblen dan Manusia Pemangsa

Hukum Keadilan; Pesta Pora Para Pemangsa!
Salman Rusydie Anwar

Dengan penuh nekat, saya mencoba mengutip pernyataan Thorstein Veblen sebagaimana dikutip Albert Einstein dalam salah satu artikelnya yang berjudul Why Socialism? untuk ikut nimbrung berbicara mengenai temuan aparat penegak keadilan berkenaan dengan adanya fasilitas mewah yang diberikan untuk beberapa tahanan elite di Rumah Tahanan Jakarta beberapa hari yang lalu.
Veblen mengeluarkan sebuah istilah yang saya rasa cocok untuk menyebut perilaku beberapa aparat penegak hukum di negeri kita tercinta ini. Dia menyebut tentang istilah “fase pemangsa” dalam setiap perkembangan sejarah manusia.
Jika di dalam sejarah kehidupan manusia memang benar-benar ada situasi tertentu yang dapat menyebabkan manusia memasuki “fasenya (sebagai) pemangsa”, maka ada tiga pertanyaan yang harus kita kemukakan untuk itu. Pertama, apa bentuk situasi yang memungkinkan seseorang bisa benar-benar menjadi pemangsa. Kedua, siapa saja atau biasanya dari kalangan mana saja manusia yang memiliki tipologi sebagai pemangsa. Ketiga siapa saja yang biasanya sering dijadikan objek mangsaan oleh manusia-manusia pemangsa itu?
Meski istilah “fase pemangsa” yang dikemukakan Veblen waktu itu lebih diorientasikan untuk mencermati perilaku ekonomi bangsa Eropa, akan tetapi di negeri kita tampaknya istilah tersebut akan lebih cocok digunakan untuk menyebut perilaku para penegak hukum. Sebab, tidak mungkin menggunakan istilah itu untuk masalah ekonomi karena persoalan ekonomi negeri kita masih berada pada taraf Wallahu A’lam, atau hanya Tuhan yang Maha Tahu apakah kita kelak akan benar-benar menjadi Macan Asia atau sekadar mangsanya Macan Asia.
Tetapi kalau untuk hukum, kayaknya sangat mungkin. Karena di dalam persoalan yang satu ini sudah tidak ada lagi taraf-taraf Wallahu A’lam. Artinya, Tuhan sudah benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya hukum keadilan ditegakkan di negara kita ini. Bahkan sangat mungkin tidak hanya Tuhan yang tahu. Malaikat, jin, setan, kuntilanak, demit dan kalong wewe sudah mafhum soal hukum Indonesia sampai ke akar-akarnya.
Dalam persoalan hukum, sejak dulu bangsa kita sepertinya memang terbiasa menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan para aparat penegaknya berubah total dari manusia penyantun menjadi manusia pemangsa. Salah satu caranya dimulai dari unit-unit yang paling kecil. Sebut saja dalam aparat kelurahan. Kalau Anda hendak membuat KTP, maka terlebih dahulu kuatkan kesabaran hati Anda untuk mendengar macam-macam instruksi penuh ribet.
“Maaf, Mas. Anda harus menghubungi ini dulu. Lalu ke itu. Sesudahnya ke sono. Terus ke situ. Baru kemudian ke sini. Dan terakhir Anda harus melunasi pembiayaan sebesar ini. Dan tunggu dua bulan, baru KTP Anda bisa diambil. Tapi kalau mau lebih cepat, biayanya harus sebesar ini dan KTP sudah bisa diambil besok pagi. Habis subuh pun tidak apa-apa.”
Saya tidak tahu, apa tanggapan Anda mengenai situasi-situasi macam itu yang membuat Anda rela dimangsa oleh mereka demi selembar surat KTP. Logikanya, jika pada unit negara yang terkecil saja urusannya sampai berbelit-belit seperti itu, entah bagaimana jadinya jika ada ketentuan bahwa setiap KTP harus ditanda tangani oleh Bupati, Gubernur atau bahkan Presiden. Mungkin Anda lebih memilih masuk surga cepat-cepat dari pada dilempar kesana-kemari demi KTP.
Entah mungkin karena terbiasa hidup di dalam situasi semacam itu atau memang lahir dengan gen sebagai manusia pemangsa (the man of predator), orang-orang yang ditugasi rakyat untuk mengurus segala kepentingan dan keperluannya tiba-tiba saja berlagak layaknya seorang jenderal yang sedang menghadapi prajurit bawahannya. Mereka berani dan seenaknya tunjuk sana-sini kepada rakyat yang telah memilih dan menggajinya hingga seakan-akan negara ini merupakan warisan nenek moyangnya. Padahal, jabatan mereka baru setingkat sekretaris desa, namun sikapnya seakan melebihi sekretaris negara Adi Kuasa.
Maka di sinilah letak problem yang sesungguhnya. Aparat hukum kita tidak benar-benar meletakkan diri dan posisinya sebagai pengayom rakyat yang harus diperlakukan mereka dengan adil. Mereka justru lebih senang memposisikan diri mereka sebagai pemangsa kedaulatan rakyat. Ada kebanggaan tersendiri ketika rakyat begitu patuh pada instruksi-instruksinya sehingga dia dapat menghayalkan diri menjadi seorang raja yang sedang memberi titah.
Dan ironisnya, lagi-lagi rakyat yang harus dijadikan mangsa oleh mereka. Rakyat tidak hanya dimangsa hartanya lewat kewajiban membayar pajak, yang kelak pajak ini justru digunakan untuk menggaji mereka. Tetapi rakyat juga dimangsa kedaulatannya sebagai entitas utama dalam negara. Rakyat yang seharusnya menjadi raja, malah dirubah menjadi jongos karena praktek pemangsaan itu. Rakyat yang sejatinya dilayani, malah disuruh melayani karena berlakunya tradisi pemangsaan itu. Akibatnya, muncullah ketimpangan-ketimpangan lintas sektoral yang pemecahannya barangkali baru bisa dilakukan setelah terjadinya kiamat, yang menurut orang-orang Suku Maya akan terjadi pada tahun 2012 nanti.
Namun rakyat ternyata berbeda-beda. Ada rakyat yang berkulit hitam, kurus, bemata cekung dengan tulang pipi bertonjolan layaknya penderita busung lapar. Dan ada juga rakyat yang berkulit putih, gemuk, berwajah mulus dan terawat seperti halnya para artis-artis Hollywood. Karena rakyat berbeda-beda, maka tentu saja perlakuan hukum untuk mereka harus berbeda-beda pula. Sebab, perbedaan itu kan harus selalu diupayakan agar menjadi rahmat. Dan tidak akan ada rahmat kalau tidak menghargai perbedaan.
Idiom ini ternyata sangat dipegang kuat-kuat oleh aparat penegak hukum- keadilan di negeri ini. Kalau ada dua orang yang melakukan kejahatan dan lalu keduanya ditahan, maka hukum untuk keduanya baru bisa diputuskan kalau sudah diketahui perbedaan diantara keduanya. Standar yang digunakan untuk bisa mengetahui perbedaan diantara dua pelaku kejahatan itu antara lain: (1) siapa diantara keduanya yang termasuk orang terpandang, (2) siapa diantara keduanya yang memiliki kekayaan lebih, (3) siapa diantara keduanya yang paling berani memberi “rahmat” berupa insentif khusus kepada para penegak hukum agar mereka juga bisa mendapatkan tempat dan perlakukan istimewa selama berada dalam penahanan.
Jika sudah diketahui kelebihan-kelebihan salah satu dari kedua tahanan itu, maka para aparat pun hanya tinggal berkata, “Bayarlah dengan harga istimewa. Maka kaupun akan mendapatkan fasilitas yang serupa.”
Veblen barangkali benar dalam satu sisi tentang adanya “fase pemangsa” pada diri manusia, baik ia sebagai pelaku ekonomi atau sebagai pelaku hukum. Tetapi tentu saja dia akan salah jika mau menyebut penegak hukum di Indonesia sebagai “manusia pemangsa” terhadap klien-kliennya, terutama yang terpandang atau kaya. Sebab penegak hukum kita tidak kenal istilah pemangsa, melainkan sekadar tukar menukar “rahmat” dengan para narapidana.
“Tuh, kan! Apa gue bilang.”


Jawa Tengah, 12 Januari 2010

Sajak Seorang Pelarian dari Porong

Sajak Seorang Pelarian dari Porong

dengan memanggul nasib hari depan yang terus berkabung
ia berlari, menghindari uap busuk tanah kelahiran sendiri
tak dihiraukan kerikil-kerikil tajam
yang mengalirkan ngilu dari telapak kaki
hingga jantungnya
jalan-jalan begitu lengang
menyembunyikan kicau burung yang pernah ada bersama masa lalunya di sana
sesekali ia menatap langit
berharap tuhan dapat dijumpainya di antara gugusan awan yang putih
namun rasa malu menyergapnya tiba-tiba
bukankah sudah lama ia tak menyembah
lantaran altarnya tenggelam bersama lumpur tetanah?
waktu melempar teka-teki bagi seonggok kepalanya yang limbung
dan ia kerap tak menemukan jawab
sampai kapan keadaan terus memaksanya melihat kehancuran demi kehancuran
sejengkal tanah yang pernah ia banggakan telah musnah
menguapkan kenangan dan mimpi-mimpi yang masih belum lengkap ia anyam
ah, rasa putus asa seperti tak mau menghindar dari depan matanya
ia lihat orang-orang di sekitar pun sudah mulai terbiasa dengan nyeri
dengan darah, yang terus mengucur menaburkan bau amis bagi nasib masa depannya
ia pun lupa tentang nama kekasih yang lama dirindukan
setiap orang-orang yang dicintainya telah pergi
mengungsikan sedikit harapan di antara rasa cemas yang terus menguntit sampai tepi-tepi jalan

Porong 12 Mei 2008

Apa Pandanganmu Tentang Rakyat?

Rakyat; Kunci Penyelamat Bangsa

Di suatu malam yang lengang, penulis dan beberapa orang teman lainnya terlibat dalam sebuah obrolan sederhana dengan seorang budayawan kondang asal Madura, D. Zawawi Imron, di salah satu sudut kota Jogja. Malam itu tepat malam Minggu. Sebuah momentum yang bagi kalangan muda-mudi merupakan saat yang tepat memadu sublimitas psikologi dari sesuatu yang disebut cinta dan kasih sayang.
Budayawan yang dikenal dengan julukan “Si Celurit Emas” itu pun memulai pembicaraan dari masalah-masalah krusial yang sedang dihadapi bangsa akhir-akhir ini. Terutama sekali mengenai masalah ekonomi, politik sampai kepada masalah-masalah agama. Kedekatan emosional Pak De, begitu kami memanggilnya, dengan beberapa kalangan rakyat membuat pembicaraan kami sedemikian hangat dan bersahaja.
Namun, di antara sekian pembicaraan itu tanpaknya ada beberapa persoalan yang barangkali patut kita renungkan bersama, baik dalam kapasitas kita sebagai pribadi, bagian dari kehidupan keluarga dan masyarakat maupun dalam konteks yang lebih universal, yaitu sebagai bagian dari bangsa itu sendiri. Semuanya adalah sebuah refleksi yang kira-kira masih berguna di tengah-tengah ketegangan masyarakat menghadapi peliknya masalah bangsa.
Beberapa renungan yang bisa diketengahkan dalam kesempatan ini di antaranya adalah: Pertama, sampai detik ini, rakyat masih memiliki potensi vital sebagai pihak yang memegang kunci penentu dari selamat tidaknya bangsa ini. Tentu saja rakyat yang kita maksudkan adalah mereka yang berdiam di komunitas termarginalkan dalam segala kontestasi dan konstelasi keberadaan bangsa.
Pengingkaran terhadap rakyat dalam bidang politik dan ekonomi tidak lain adalah pengingkaran terhadap kedaulatan itu sendiri. Sebab, teori demokrasi manapun yang belum terkontaminasi secara akut oleh sekian kepentingan yang bersifat sementara dan parsial selalu saja menegaskan bahwa rakyatlah pemegang utuh kedaulatan.
Sebagai pemegang utuh kedaulatan dalam suatu negara, maka sangat tidak rasional ketika pemimpin yang dipilih, ditugasi dan dibayar oleh rakyat justeru melakukan tindakan agitatif yang mencerminkan arogansi dan sifat lupa diri mereka terhadap rakyat yang memberikan kepercayaan kepadanya. Dan inilah yang sedang terjadi di negara kita sekarang ini.
Kita cenderung membiarkan masyarakat terlunta-lunta di atas garis ketidakmenentuan nasib yang sebelumnya mereka pasrahkan kepada wakil-wakil mereka di pemerintahan. Sementara para wakil mereka dengan begitu gagahnya melakukan akrobat kehidupan dengan memikirkan kepentingan sendiri melalui cara-cara licik dan mengatasnamakan rakyat. Rakyat dengan sendirinya menjadi dempul dari membengkaknya ambisi dan kelicikan pemimpin-pemimpin mereka.
Kedua, lalu bagaimana dengan peran agama? Bukankah terlalu sering kita menyatakan diri sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia? Apakah yang dimaksud “terbesar” itu hanyalah bagian dari kuantitas dan belum sama sekali menyentuh bagian kualitasnya? Dan apa maksud dari kata-kata muslim di atas? Inilah pertanyaan-pertanyaan reflektif yang dilemparkan Zawawi.
Sekian pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya bisa kita temukan jawabannya di kedalaman kalbu kita sendiri-sendiri. Yang paling urgen; adakah korelasi positif antara kemusliman dan ketaatan kita kepada Tuhan dengan proyeksi sosial terutama menyangkut masalah-masalah kemiskinan dan kebodohan misalnya. Tidak sedikit orang yang mengerti agama, terlebih mereka yang sudah “terlanjur” diangkat menjadi pemimpin. Akan tetapi mengapa pengetahuan mereka terhadap agama tak berimplikasi positif bagi upaya pemberantasan kemiskinan dan malah sebaliknya makin menindas-menyengsarakan.
Inilah yang kita khawatirkan. Agama yang kita aktualisasikan adalah bentuk formalisasi semata. Kita mengaku diri sebagai umat beragama karena secara “politis” negara ini menyatakan sebagai negara theistik dan kita takut untuk disebut sebagai orang yang tak bertuhan (atheis). Jika memang demikian, maka tidak heran kalau perilaku “umat yang mengaku beragama” itu sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai agama itu sendiri.
Di lain hal, mungkin saja sedang terjadi tindakan-tindakan yang menjurus kepada pengkhianatan agama. Hubungannya dengan masalah kemiskinan misalnya, agama (dalam hal ini islam) dengan terang-terangan mencirikan siapa saja orang-orang yang disebut sebagai pendusta agama. Dalam surah Al-Maun ayat 1-3 Allah berfirman bahwa orang-orang yang mendustai agama adalah mereka yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin serta di lain hal adalah mereka yang lalai dalam mengerjakan shalat (ibadah)nya.
Kemiskinan yang hampir menjadi ciri warga negara Indonesia dewasa ini jelas tidak bisa kita baca sebagai sesuatu yang mutlak bahwa itu adalah benar-benar “takdir” dari-Nya. Akan tetapi sangat terbuka kemungkinan bahwa miskinnya rakyat Indonesia tidak lain adalah representasi dari tindakan pendustaan agama itu sendiri.
Kekayaan yang dimiliki bangsa ini hanya menumpuk dan berputar di kalangan orang-orang kaya serta terus dikebiri hasilnya oleh para pemimpin yang kebijakan-kebijakannya terkadang bersifat manipulatif. Belum lagi dengan semakin beraninya sebagian masyarakat melakukan penimbunan-penimbunan, entah beras, kedelai, maupun BBM, di saat saudara sesama rakyat lainnya sedang menderita kekurangan.
Melihat kenyataan ini, tidak heran kalau pemuda terjenius dari Arab, Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa, “Tidak akan terjadi kemiskinan kalau orang kaya tidak rakus.” Dalam terminologi ekonomi, siapa yang kaya dan siapa yang miskin sungguh sangat jelas bentuknya. Sementara dalam terminologi politik, orang yang kaya tidak lain adalah mereka yang berpeluang besar menikmati kekayaan melalui jabatan politisnya, sementara orang miskin adalah lagi-lagi rakyat kecil sebagai pemegang kedaulatan yang sayangnya selalu tertindas.
Maka dari itu, semuanya saat ini berpulang kepada diri kita sendiri. Apakah kita akan terus-menerus mengkhianati agama dengan cara menindas rakyat miskin, baik secara ekonomi-politik dan budaya. Atau sebaliknya kita akan belajar menata hati, pikiran, kesadaran dan tindakan kita dari kecarut-marutan menjadi kecerahan yang benderang? Itulah pertanyaan reflektif D. Zawawi Imron untuk kita semua yang sekaligus menutup obrolan kami malam itu. Pertanyaan itu memerlukan jawaban yang benar-benar dapat memenuhi impian dan harapan bangsa Indonesia di masa depan. Sebagai sebuah impian, tentu saja ini adalah impian yang cukup manis, bukan?

Yogyakarta 20 Agustus 2008









Harga Mahal Untuk Sebuah Kesungguhan


Mahalnya Kesungguhan
Salman Rusydie Anwar

Beberapa tempo waktu yang lalu, seorang kawan memberitahu saya tentang adanya pemilihan lurah di sebuah tempat. Tetapi dia tidak hanya berhenti pada sebatas pemberitahuan itu, melainkan juga mengajak saya untuk memberikan suara terhadap siapa kira-kira orang yang akan saya dukung pada pemilihan tersebut.
“Saya ini dari sebuah lembaga survei independen yang akan menjamin kerahasiaan suara dukungan Anda,” katanya dalam sebuah ponsel genggam, “Jadi, santai saja, Bro. Semuanya aman dan terjamin,” lanjutnya meyakinkan.
Saya kemudian buru-buru mengonfirmasi kawan yang lain untuk menanyakan siapa saja orang yang ikut dalam kompetisi pemilihan lurah itu. Dan setelah mendapatkan jawaban, saya langsung melakukan identifikasi terhadap kontestan yang ternyata jumlahnya hanya dua orang itu.
Dalam hati saya berjanji, bahwa dalam melakukan identifikasi itu saya akan mempraktekkan ilmu katuranggan, yaitu metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan dan menggambarkan pola-pola watak dari kedua kontestan tersebut. Sebenarnya saya tidak yakin akan bisa mempraktekkan ilmu ini dengan benar sebagaimana para begawan masa lalu. Namun saya tetap ngotot untuk melakukannya.
Dan akhirnya, di tengah-tengah kesibukan melakukan identifikasi semacam itu, saya kemudian teringat dengan dua pujangga dan begawan besar dari abad lalu yang berbeda, yaitu Syekh Ali Syamsu Zen dan Ronggowarsito. Meski masa hidup kedua manusia besar nusantara ini berlainan waktu, tetapi pandangan keduanya terhadap masalah kepemimpinan nampaknya tidak jauh berbeda. Keduanya membuat parameter khusus bahwa siapa saja yang hendak diangkat menjadi pemimpin, maka faktor pertama yang harus diperhatikan adalah adanya kualitas Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu bagi para calon pemimpin tersebut.
Setelah mengingat semuanya saya juga mencoba mengingat-ngingat lagi dua kontestan yang hendak maju menjadi lurah itu. Saya menjadikan kenangan kebersamaan saya bersama keduanya beberapa tahun yang lalu sebagai jalan untuk mengenali lebih dalam watak keduanya dan mencoba menemukan apakah pada diri mereka berdua terdapat kualitas Satrio atau tidak.
Kualitas Satrio tidak lain adalah bahwa seorang pemimpin haruslah cakap, ulet, memiliki naluri sebagai seorang pejuang, profesional, menguasai masalah serta mampu mencarikan solusi atas persoalan yang ada. Tentang kualitas ini, saya yakin bahwa dua kawan saya yang menjadi kontestan untuk menduduki kursi lurah itu sudah memilikinya. Mereka adalah kaum terpelajar dan juga intelektual dimana karya-karya mereka (sebagai salah satu bukti keintelektualannya) sudah banyak menghiasi media massa. Saya lega. Ilmu katuranggan saya nampaknya berhasil dipraktekkan.
Tapi memegang kualitas Satrio saja tidak cukup karena sebenarnya masih ada kualitas yang lebih tinggi dari kualitas itu. Yakni kualitas Pinandhito. Kualitas ini mencerminkan bahwa seorang pemimpin harus tidak terpesona dengan kedudukan, harta dan popularitas, konsep serta filosofi hidupnya matang-mendalam, memiliki wisdom, mampu bersikap arif dan adil dalam menjalani kehidupan yang nyata, berkadar pemimpin rohani atau menurut istilah intelektual mereka adalah spiritually grounded.
Tentang kualitas yang satu ini tentu saya tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk berbicara lebih jauh. Yang berhak untuk mengetahui apakah pada kedua calon lurah itu terdapat kualitas Pinandhito atau tidak adalah diri mereka sendiri. Terutama mereka harus jujur apakah selama ini dalam dirinya terdapat keterpesonaan pada kedudukan, harta dan popularitas atau tidak sama sekali.
Tetapi saya berani mengatakan bahwa mungkin saja dua kontestan lurah itu tidak akan terpesona pada harta, kedudukan dan popularitas yang ada dalam jabatan lurah yang ditawarkan kepada mereka. Bagaimana mungkin mereka akan berpikir ke arah sana, lha wong mereka tidak akan digaji kok. Mereka hanya diminta untuk mengurus suatu komunitas “masyarakat” dengan ilmu, pengorbanan dan perjuangan mereka tanpa ada imbalan apa-apa. Keterpesonaan itu barangkali akan muncul jika mereka ditawari untuk menduduki posisi yang lebih bergengsi dari sekadar lurah.
“Coba saja nanti kita tanya pada keduanya,” pikir saya.
Saya pun beranjak pada identifikasi berikutnya bahwa kualitas Satrio Pinandhito masih belum lengkap tanpa kualitas lainnya, yaitu kualitas Sinisihan Wahyu. Prinsip kualitas ini sangatlah berat karena harus ada kejelasan apakah para kontestan yang “bertarung” dan para pemilih yang hendak memberikan suaranya sudah sesuai dengan kehendak Yang Di Atas. Artinya, dalam pemilihan itu harus tampak indikator bahwa Tuhan ikut berperan aktif dalam jalannya pemilihan. Sayang saya tidak bisa mengikuti pemilihan itu sehingga saya tidak tahu apakah kualitas ini berlangsung atau tidak dalam pemilihan itu.
“Lalu kenapa harus ada kualitas Sinisihan Wahyu. Kenapa harus ada indikator bahwa Tuhan harus dilibatkan dalam pemilihan itu?” terdengar hati saya bertanya-tanya.
Saya berpikir dan berusaha menemukan alasannya hingga kemudian saya temukan jawabannya. Jika Tuhan berperan aktif dalam jalannya suatu pemilihan dan bahkan Ia juga turut berbuat dengan cara diarahkannya pikiran serta tenaga para pemilih untuk memilih satu dari kedua kontestan, maka hasil pilihan itu kemungkinan besar pasti benar dan mutlak tidak bisa dikalahkan.
“Apa benar begitu sih?” saya tiba-tiba dihinggapi keraguan atas alasan dan jawaban dari pertanyaan saya sendiri.
Tetapi puji Tuhan! Saya akhirnya ingat sesuatu. Tiga hari sebelum pemilihan itu berlangsung, salah satu kontestan lurah ber SMS-an dengan saya. Dia bertanya dalam SMS-nya kepada saya setelah ngobrol panjang lebar sebelumnya seputar dirinya yang dicalonkan menjadi lurah
“Bagaimana mengetahui bahwa Tuhan berkehendak atas diri saya dalam pencalonan untuk menjadi lurah?” tanyanya waktu itu. Dan saya hanya menjawab begini:
“Sederhananya dapat diketahui melalui ketentuan dan keputusan orang lain atas diri kita. Prinsipnya, sebagaimana dalam ushul fiqh adalah Maa roaahul muslimiina hasanan, fahuwa ‘indallahi hasanun.”
Tetapi apakah hasil pemilihan lurah ini memang benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan, itu akan bisa dilihat dari kesungguhan lurah terpilih dalam berjuang dan juga dari kejujuran sikap para pemilihnya untuk tidak berkhianat. Kenapa demikian? Sebab biasanya warga di daerah situ hanya senang memilih lurah dengan beradu alasan-alasan ilmiah. Tetapi setelah lurahnya terpilih, mereka enggan mematuhi peraturan yang dibuat si lurah dan bahkan menentangnya. Padahal, mereka sendiri yang memilihnya. Ini kan pengkhianatan namanya!

Pesantren Hasyim Asy’arie

Aku, Iqbal dan Konsepsi-Konsepsi Soal Tuhan?

Pergulatan Panjang Menuju Tuhan
Salman Rusydie Anwar*

Bagi sebagian masyarakat yang sudah merasa bahwa pemahaman merekaselama ini tentang konsep “Tuhan” sudah mapan, barangkali judul tulisan di atas terkesan sangat dan terlalu janggal. Bagaimana mungkin mereposisi (memposisikan kembali) keberadaan Tuhan jika selama ini sudah jelas bahwa Tuhan adalah Dzat yang harus diyakini keberadaannya serta sekaligus harus disembah oleh mereka yang meyakininya.
Dalam konteks pergumulan teologis, persepsi (pandangan) manusia mengenai Tuhan telah melahirkan berbagai ketegangan intelektual –dan bahkan tidak jarang menimbulkan berbagai goncangan serta benturan-benturan sosial. Sejarah mencatat bahwa perdebatan panjang mengenai eksistensi Tuhan telah memicu munculnya firqah-firqah di kalangan umat manusia, terutama umat Islam, seperti hal munculnya faham-faham Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Syi’i, Sunni dan sebagainya.
Munculnya aliran-aliran kalam tersebut pada dasarnya dipicu oleh satu faktor yang sangat urgen dan sekaligus sensitif; yaitu tentang masalah Tuhan. Dengan kata lain eksistensi Tuhan telah menjadi objek pemikiran, pengkajian dan penelitian yang dari sana kemudian bermunculan rumusan keilmuan mengenai ketuhanan, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu teologi, ilmu teosofi dan semacamnya.
Pertanyaannya kemudian adalah: dalam konteks kehidupan kita saat ini, pada wilayah apa saja Tuhan itu boleh dipikirkan, dikaji dan diteliti?
Pertanyaan di atas, bagi sebagian orang, mungkin akan membawa pada munculnya berbagai spekulasi teologis atau ketersinggungan keyakinan. Sebab selama ini sudah pakem dipegang adanya sebuah ajaran yang menyatakan bahwa memikirkan Tuhan adalah sesuatu yang terlarang meski di samping itu masih juga terdapat sebuah apologi sufistik yang menyatakan bahwa ‘araftu Robby bi Robby (Tuhan dapat diketahui melalui kesediaan Tuhan memperkenalkan diri-Nya sendiri).
Namun bagaimanapun spekulasi itu, jika keberadaannya masih bersifat pasif, maka selamanya tidak akan memberi tambahan wawasan apa pun selain hanya kepercayaan dan keimanan statis yang ujung-ujungnya akan tetap berpuncak pada kuatnya klaim kebenaran (truth claim) di antara umat. Meski demikian, pertanyaan yang masih tersisa untuk kita jawab sekarang ini adalah; masih perlukah memikirkan Tuhan jika keberadaannya tetap selalu menjadi misteri? Jika harus dipikirkan, bagian mana dari keberadaan Tuhan yang harus dipikirkan: Dzatnya, Sifatnya, Sikapnya, atau apa?
A. Chaliq Muchtar di dalam jurnal Esensia Vol.3, No.2, Juli 2002 pernah menulis sebuah artikel cukup memikat, “Membumikan Tuhan?.” Istilah “membumikan” ini sebenarnya merupakan istilah yang diadaptasi Muchtar dari dua karya tokoh ulama sebelumnya, yaitu Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Membumikan Islam). Menurut pendapat penulis, istilah “Membumikan Tuhan” barangkali mengandung sebuah isyarat, bahwa Tuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang membumi untuk dapat dimengerti.
Hal ini cukup rasional mengingat selama ini persepsi, konsepsi dan keyakinan sebagian umat beragama terhadap eksistensi Tuhan masih terlalu menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Bahkan, perdebatan panjang seputar masalah ketuhanan kerap menyebabkan terjadinya peperangan yang begitu tragis meskipun akhir dari semua perdebatan itu tetap tidak kunjung menemukan kesimpulan yang benar-benar pasti mengenai siapa dan bagaimana Tuhan itu yang sebenarnya. Lain kata, Tuhan akan tetap dipahami sesuai dengan keyakinan masing-masing umat yang menyembahnya.
Salah satu upaya mengakhiri perdebatan dan pertengkaran panjang umat manusia dalam memahami konsep Tuhan barangkali bisa dilakukan dengan “menempatkan” Tuhan sebagai sesuatu yang membumi. Tuhan tidak harus melulu dibayangkan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Untuk kepentingan manusia, Tuhan harus diyakini terlibat secara aktif di muka bumi ini dan hal itu hanya dapat terwujud dengan kemampuan manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran-Nya dalam setiap kegiatan dan aktifitas sejarah manusia di atas bumi ini.
Sepanjang sejarah, upaya manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran Tuhan telah melahirkan banyak pemikiran-pemikiran berharga yang perlu kita pelajari. Dalam tulisan ini, penulis hendak menghadirkan pemikiran seorang tokoh filsafat dan sastrawan besar muslim kelahiran India, yaitu Sir Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal (1873-1938) adalah seorang penyair dan filosof muslim yang berasal dari India. Ia dilahirkan di Sialkot, Punjab, pada tanggal 22 Februari 1873. Pendidikan dasar dan menengah didapatkannya di daerah kelahirannya itu. Pada tahun 1895 ia pindah ke Lahore untuk belajar di perguruan tinggi dan pada tahun 1905 ia melanjutkan studinya ke Eropa dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Munich. Gelar doktor lainnya terutama di bidang kesusasteraan didapatnya dari Universitas Punjab pada tahun 1935. Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslimin. Karena pada periode ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, maka oleh para pendukung negara Pakistan, ia dianggap sebagai pemimpin mereka.
Secara keseluruhan, konsepsi Iqbal tentang Tuhan terbagi ke dalam tiga pemahaman. Pertama, oleh Iqbal Tuhan diyakini sebagai suatu “Keindahan Abadi yang ada tanpa tergantung pada –dan mendahului- segala sesuatu selain diri-Nya, dan karena itu Tuhan menampakkan diri dalam semuanya.” Selain itu, Iqbal juga menyatakan bahwa Tuhan adalah penyebab gerak segala sesuatu. Sementara seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan, semuanya adalah fana.
Konsep kedua Iqbal mengenai Tuhan lebih bersifat filosofis. Hal ini disebabkan karena dalam membuat konsep tersebut Iqbal mempergunakan filsafatnya tentang pribadi (philosophy of the self) sebagai salah satu metode pemahamannya. Iqbal berpendapat bahwa Tuhan adalah “Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi dan suatu Kemauan Abadi yang Esa.”
Dengan pemahaman ini, Iqbal mengatakan bahwa Tuhan tidak menyatakan atau melibatkan dirinya di dalam dunia yang terinderai atau dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh. Sebab, dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh ini sebenarnya merupakan hasil ciptaan dari pribadi terbatas manusia atau merupakan bentukan dari hasrat-hasrat manusia meskipun hal ini tidak berarti bahwa dunia merupakan ciptaan dari manusia.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Tuhan merupakan Pribadi Mutlak dan Ego Tertinggi yang keberadaan-Nya melampaui keberadaan manusia sebagai makhluk yang juga termasuk ‘pribadi’ (namun terbatas/tidak mutlak). Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, usaha manusia untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dapat dilakukan melalui pribadi manusia itu sendiri dengan cara menyerap (memasukkan, menghayati, menghadirkan) Tuhan ke dalam diri pribadi kita, bukan sebaliknya dengan membiarkan pribadi kita terserap ke dalam Tuhan hingga tiada (fana).
Konsep Iqbal ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan (terutama mengenai masalah fana) yang diberikan oleh tokoh-tokoh lain, seperti Al-Hallaj, Rumi, Sa’di dan beberapa ulama sufistik lainnya. Jika para sufistik ini membuat konsep bahwa untuk menemukan Tuhan, maka seseorang harus meleburkan diri ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada atau fana, maka Iqbal berkata sebaliknya bahwa Tuhan sebagai Pribadi Mutlaklah yang harus kita masukkan atau kita leburkan ke dalam pribadi kita.
Konsep ketuhanan Iqbal yang ketiga adalah berupa “penggambaran” Iqbal bahwa Tuhan merupakan suatu Ego Maha Kreatif yang terarah secara rasional. Mengenai kreativitas Tuhan, Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dalam sebuah pabrik dimana hasil penciptaan itu berdiri secara independen dan terlepas dari penciptanya.
Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, karena keberadaan alam yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti yang kesemuanya tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan.
Untuk menegaskan pendapatnya ini, Iqbal menggunakan analogi paham Asy’ari mengenai keberadaan atom. Paham teologi Asy'ari menyatakan bahwa kelanjutan sebuah atom ditentukan oleh terjadinya aksiden-aksiden yang terjadi secara terus menerus di dalam atom itu sendiri. Dalam hal ini Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam paham teologi Asy'ari mengenai masalah penciptaan atom ini. Akan tetapi ia mengubah konsep atomisme Asy'ari menjadi suatu paham pluralisme rohaniah. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego, dan segala macam ego yang ada di dunia ini adalah merupakan pewedaran atau perwujudan diri dari Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta.
Demikianlah beberapa konsep mengenai ketuhanan, salah satunya menurut Iqbal. Tentu konsep ini bukan satu-satunya konsep yang paling benar karena memang tidak ada satupun konsep di dunia ini yang benar-benar mampu menjelaskan tentang Tuhan dengan pasti. Namun pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang-Nya tetap menjadi dinamika ilmu pengetahuan yang selalu menarik untuk diminati dan dinikmati. Wallahu A’lam bi al-Showab!



Cilacap, 30 Desember 2009

Ini Soal Perihal Kualitas


Perihal Kualitas

Dalam sebuah pertemuan yang tak terduga, saya berjumpa dengan seseorang yang diam-diam sudah lama saya mengaguminya. Orang yang satu ini super sederhana dalam penampilan namun ia open (telaten) terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Tak hanya itu, ia juga memiliki sifat ngemong, penuh perhatian, suka menghibur orang lain dengan tindakan dan kata-katanya, meski yang terakhir ini kerap disalahartikan sebagai kekonyolan dan karena itu membuat orang lain berani meremehkannya.
Saya tahu kalau orang yang saya jumpai itu memegang peranan penting dalam sebuah “organisasi”. Atau setidaknya ia adalah pengurus dalam sebuah organisasi tertentu yang anggotanya justru terdiri dari manusia-manusia sukar diurus. Tetapi kondisi yang demikian sepertinya tidak mempengaruhi i’tikad baik makhluk Tuhan yang saya temui itu. Ia terus berkonsentrasi kepada tugasnya, menjalankan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk menjadi tanggung jawab beliau, serta tidak jera mengingatkan, memotivasi dan memperjuangkan kemajuan-kemajuan anggota organisasi sekuat tenaga dan kemampuannya.
“Rajin-rajinlah bertandang ke tempat saya,” ucapnya ketika itu. “Saya masih memerlukan banyak bantuan. Anda tahu sendiri kan, keadaan saya seperti ini. Dibanding yang lain, saya kalah berkualitas.”
Ia begitu serius mengatakan hal itu sehingga saya menjadi semakin kagum saja atas perkataan yang mencerminkan kerendahhatiannya itu. Saya mengerti betul apa muatan di balik kata-kata yang ia ucapkan. Ia merasa kurang berkualitas dibanding anggota organisasi lainnya karena barangkali selama ini ia sering diremehkan, diabaikan, tidak diacuhkan dan disepelekan. Ia menjadi “objek hinaan” yang secara tidak langsung dilakukan oleh anggota organisasisnya lewat tindakan-tindakan mereka seperti yang telah saya sebutkan.
Namun anehnya, ia tetap survive. Senyumnya tak berkurang sedikitpun meski hampir tiap hari ia mendapatkan perlakuan-perlakuan seperti di atas. Berkali-kali ia diabaikan, namun berkali-kali pula ia memberikan perhatian. Saya pun menemukan peluang untuk sekadar cawi-cawi ngomong dan tentu saja sekenanya.
Kepada orang itu saya katakan bahwa berkualitas-tidaknya seseorang tidak harus terus-terusan diukur dengan kepandaian akal dan nalar. Orang yang bisa ngomong ilmu politik, ekonomi, sosial, budaya dengan cukup memikat bisa saja berkualitas dalam satu sisi, namun pada sisi yang lain ia tidak lebih dari pada si dungu yang tersesat. Ilmu politik, ekonomi, sosial dan budaya pada akhirnya akan dituntut untuk menjadi ilmu yang sanggup mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik. Justru akan menjadi lacur jika ilmu-ilmu itu hanya terkesan begitu mencerahkan ketika diulas di koran namun penulisnya kebingungan mencermati langkahnya sendiri. Yang bisa ia tahu hanyalah kebanggaan-kebanggaan semu bahwa ia sudah resmi dianggap menjadi penulis dengan satu dua tulisan.
Jadi kepada orang itu saya katakan bahwa tidak usah malu disebut orang yang tidak berkualitas jika kualitas itu hanya diukur dengan variabel-variabel akal-nalar seperti yang saya sebutkan. Kualitas itu adalah salah satu jenis kebenaran. Dan kebenaran itu sendiri terlalu besar untuk dikuasai oleh hanya satu orang, satu organisasi dan lain sebagainya.
Berkualitas itu bisa jadi berupa sikap yang ditunjukkan oleh orang yang saya jumpai itu. Ia jalankan amanah yang dibebankan kepadanya dengan ramah, santun, penuh perhatian dan suka menghibur.
Saya juga tegaskan bahwa melaksanakan tugas yang diamanahkan orang lain dengan baik bisa saja menjadi tanda dari berkualitasnya seseorang. Sebab hanya orang berkualitaslah yang mampu memanggul amanah di pundak mereka, kendati di kiri-kanannya banyak yang meremehkan dan menyepelekan.
Berusaha menaati ketentuan atau aturan yang sudah nyata memiliki nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menangkap hakikat yang tersirat di balik ketentuan-ketentuan itu.
Berusaha tidak menyepelekan dan meremehkan orang lain, meski mereka kelihatan lebih dungu dari diri kita sendiri, adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menerima dan menghargai siapa saja yang mereka jumpai dan hadapi.
Tidak sombong dengan kemampuan diri sendiri adalah sebagian dari tanda-tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu mengendalikan dirinya sendiri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Tidak terhitung berapa jumlah kalimat dan pernyataan yang saya keluarkan saat itu. Tapi yang jelas saya harus segera menghentikan pembicaraan karena saya khawatir ucapan dan kata-kata saya tidak lagi berkualitas untuk diperdengarkan. Di akhir pertemuan, saya bertanya pada diri sendiri:
“Kualitas manakah yang harus aku pilih? Nalar. Perbuatan. Atau sinergi antara keduanya?”
Pertanyaan yang dalam pendengaran Anda jauh lebih tidak berkualitas ini, mungkin hanya pantas dijawab dengan:
“Ya, embuh…!”



Paris, 23 Desember 2009

















Senin, 11 Januari 2010

Tidak! Jangan Sampai Bangsaku Hancur

Entah sudah beberapa kali Tuhan bermurah hati mblejeti kebusukan-kebusukan yang diagungkan oleh pemimpin bangsa ini sehingga rakyat dapat dengan mudah mengenal dan mempelajari bagaimana karakter pemimpin mereka.
Melalui temuan kasus demi kasus. Lewat terkuaknya aib demi aib serta terungkapnya konspirasi-konspirasi yang amat lancang kepada rakyat, Tuhan seakan ingin turun tangan sendiri dan mengajar langsung kedewasaan rakyat Indonesia agar mereka benar-benar mafhum bahwa bangsa yang mereka tempati sudah benar-benar diambang kehancuran.
Tidak ada kemalangan yang lebih besar melebihi adanya inisiatif Tuhan untuk mengurus sendiri problem-problem akut yang dialami suatu masyarakat dalam sebuah negara. Kalau Rasulullah Muhammad SAW masih hidup sampai saat ini, mungkin Tuhan tidak merasa perlu berbuat sampai sejauh itu. Mungkin Ia cukup memberi tahu kepada kekasih-Nya itu bahwa sedang ada pengkhianatan amanah dan selanjutnya ia serahkan bagaimana pemecahannya kepada beliau SAW.
Tetapi kemalangan yang terjadi di negeri ini sungguh luar biasa hebatnya. Tuhan sudah merasa sedemikian risih, bahkan mungkin geram dan sakit hati melihat perilaku pemimpin-pemimpin negeri ini yang tidak kunjung jera mengkhianati rakyatnya. Mereka terlalu asyik berdiam di balik gedung kekuasaan yang menyimpan benda-benda hasil rampokan harta rakyat.
Penyelewengan, penggelapan kewenangan, pengingkaran amanah dibiarkan terlalu aman di dalam sebuah negeri yang justru melarang-larang rakyatnya untuk tidak beragama dan tidak berketuhanan. Maka tidak usah heran jika kemudian Tuhan kuakkan bisul-bisul dan borok mereka di depan tempat umum. Dikuakkan pun belum tentu membuat mereka jera dan sadar. Sebab mereka terlalu pintar untuk merekayasa sebuah alasan dengan mengatakan bahwa bisul dan borok di tubuh mereka tidak lain adalah tato-tato bergambar kembang dan bunga-bunga.
Oleh sebab itu, saya tidak menyesal telah menulis kolom ini dengan judul di atas. Toh kalau mau dipikir-pikir bangsa ini rasanya memang sudah cukup syarat dan kualified untuk memasuki ranah kehancurannya. Seandainya kelak bangsa ini hancur sebelum waktunya, kita tetap harus bersyukur karena kahancuran itu bisa saja merupakan taktik dan cara Allah untuk membangun dan menata kembali negeri ini menjadi lebih baik. Tetapi sebelum kehancuran itu benar-benar terjadi, saya harap kita mau mencari tahu apa saja kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki negeri ini sehingga ia pantas dihancurkan.
Menurut rabaan saya (mohon maaf, saya masih diliputi kebodohan sehingga hanya mampu meraba-raba sesuatu daripada mengetahuinya secara obyektif), negeri ini sudah memiliki kualifikasi sampai tingkat tertentu yang barangkali menurut Tuhan harus secepatnya dirubah, entah dengan tangan-Nya atau melalui hamba-Nya yang masih soleh.
Pertama. Dari sudut pandang politik dan kekuasaan, bangsa ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa menyerahkan sebuah kewenangan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki prefesionalitas keilmuan untuk menjalankan kewenangan itu, akan menuai kehancuran. Idzaa wusida al-amru ilaa ghairii ahlihii fantadzir al-saa’ah- begitu kata Nabi.
Maka sungguh menggelikan ketika kita menyaksikan siapa saja yang nampang dalam barisan pemerintahan 2009-2014 yang baru dibentuk itu. Tidak ada kematangan berpikir dalam merumuskan dan menentukan siapa saja yang sebenarnya wajib dan patut diberi mandat. Semuanya hanya didasarkan pada upaya menjaga keamanan dan kekerabatan politis semata.
Dengan formasi seperti itu, kita tidak tahu hendak dibawa kemana negeri ini. Menuju kemajuan atau mengulang ketersendatan. Merancang perubahan atau menanti kehancuran. Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa mengelus dada sambil diam-diam mengajukan permintaan kepada Tuhan, “Ya Allah. Berilah pemimpin-pemimpin baru kami ilmu ladunni. Sebuah kecerdasan yang seketika itu langsung tertanam di dalam tempurung kepala mereka sehingga mereka benar-benar paham apa tugas yang harus dijalankan. Jangan biarkan mereka menjadi orang yang baru akan mempelajari tugasnya ketika sudah terlanjur duduk di kursi jabatan. Karena tugas belajar itu ada di bangku sekolah, bangku kuliah dan gedung-gedung akademik. Apa jadinya nasib kami jika wakil-wakil kami baru akan belajar ketika mereka sudah menduduki jabatannya. Cukupkah bagi mereka waktu lima tahun untuk mempelajari siapa kami ini sebenarnya?”
Kedua. Dari sisi kebudayaan, bangsa ini juga tidak jauh lebih baik dari pada apa yang sering mereka seminar-festivalkan. Contoh yang paling mudah kita temukan adalah perkembangan-perkembangan dalam dunia informasi. Informasi menjadi saluran utama bagi terjadinya persentuhan budaya di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dan sarana yang paling sering dijadikan sumber informasi oleh mereka adalah kotak ajaib yang kita sebut televisi.
Awalnya saya tidak ingin memasukkan televisi sebagai contoh. Tetapi kalau hal itu saya lakukan, maka sama saja saya mengabaikan fakta yang berbicara tentang ketergantungan masyarakat kita kepada benda “mukjizat” itu. Mungkin saya tidak harus berpanjang lebar membicarakan perihal televisi ini. Ia tetap merupakan makhluk Tuhan yang netral dan bebas dari apapun. Persoalan yang sesungguhnya adalah siapa yang berdiam di balik tersiarnya acara demi acara di dalam televisi.
Entah bagaimana melukiskannya. Saya benar-benar bingung ketika harus mengungkap sebuah kenyataan bahwa informasi yang disuguhkan kepada rakyat melalui kotak ajaib itu sungguh-sungguh merupakan bualan. Setiap hari, kita dijejali dengan acara demi acara yang tidak sungguh-sungguh mendewasakan mereka. Artis-artis dengan seenaknya menghadirkan diri dan menawarkan untuk dijadikan idola panutan dalam benak dan kesadaran penontonnya.
Atas dasar nilai apa rakyat terus-menerus dipaksa untuk memelototi perselingkuhan seorang aktor-aktris. Atas dasar harapan apa rakyat miskin kerap disuguhi kejayaan dan kekayaan yang mereka miliki. Apakah semua itu ditujukan agar mereka tetap hidup di dalam impian dan angan-angan belaka? Apa kualitas nilai budayanya dari semua itu? Dimana letak pencerdasannya? Seperti apa wujud kreatifitasnya sehingga dengan tontonan macam demikian lantas mereka memiliki inspirasi baru untuk kreatif, untuk bangkit dari keterpurukan?
Mohon maaf. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk Anda. Melainkan untuk kotak ajaib itu. Siapa tahu ia bisa menjawab semua pertanyaan saya sebagaimana umat yang selalu mendapat jawaban ustadz dari semua pertanyaan mereka. Bukankah para ustadz yang sering nampang di dalam kotak ajaib itu hebat-hebat? Tidak ada pertanyaan umat yang tidak bisa mereka jawab. Mereka hampir mengetahui semua masalah rakyat. Itu sebabnya mereka bisa menjawab masalah-masalah yang ditanyakan kepada mereka. Persoalan apakah jawaban itu bermutu karena memang benar-benar sesuai dengan konteks kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat-umat, itu soal lain. Atau Wallahu A’lam. Kita diskusikan lagi dalam ruang yang lebih sunyi.
Oleh sebab itu, jika rakyat sudah terlalu sering dijejali dengan kepuraa-puraan, selebritas yang tidak kunjung membuat mereka dewasa dan matang pemikirannya sebagai manusia, serta lelucon-lelucon yang menjadikan mereka lupa bahwa usia mereka sangat begitu singkat untuk hanya diisi dengan humor-humor murahan dan tak mendidik, salahkah seandainya Tuhan pemilik mereka merasa begitu cemburu dan tidak terima?
Sangat menarik jika ada yang mau serius menjawab pertanyaan ini dan mengangkatnya menjadi salah satu bagian acara televisi yang ditayangkan secara live, dan tentu saja dengan mendatangkan ustadz yang benar-benar konsisten terhadap statusnya. Bukan ustadz yang bisa berceramah pada suatu kesempatan dan bisa berakting menjadi bakul pulsa pada kesempatan yang lain. Hehe!
Ketiga. Melalui cara pandang hukum, bangsa ini masih sangat jauh perhatiannya pada keadilan. Hukum tidak benar-benar dipahami sebagai hukum sebab yang berlaku hanyalah proses-prosesnya yang berkepanjangan dan bertele-tele. Proses hukum tentu tidak sama dengan hukum itu sendiri. Proses peradilan tentu tidak pararel dengan keadilan itu sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, di dalam melakukan proses-proses penegakan hukum dan mewujudkan keadilan, ternyata punggawanya banyak melakukan kecurangan. Di tengah jalan, mereka banyak melakukan penyelewengan, pengingkaran, pengkhianatan, pemalsuan serta banyak terjerumus dalam praktek penyuapan.
Di dalam iklim seperti itu, yang terluka bukan hanya tubuh-tubuh keadilan melainkan juga rakyat kecil. Mereka dijauhkan dari harapan akan masa depannya untuk memiliki negeri yang dirahmati keadilan. Mereka disakiti kepercayaannya. Dilukai amanahnya. Ditindas kemerdekaannya serta ditusuk-diinjak-diludahi-diberangus-dikuliti dan dibakar kedaulatannya. Melihat rakyat yang sedemikian menderita, maka wajar jika kemudian Tuhan tidak terima dan membuat jadwal penetapan penghancuran bagi bangsa ini. Dan kita tinggal menunggu waktunya saja.
Kalau Anda bertanya; bisakah Tuhan menangguhkan rencana-Nya? Mungkin Ia akan menjawab dengan sebuah pertanyaan balasan, “Bisakah pemimpin dan tokoh-tokoh hukum-keadilanmu berubah dan berhenti melakukan kecurangan?” Saya sendiri tidak berani menyampaikan pertanyaan Tuhan ini kepada mereka. Karena tampaknya mereka sudah merasa enjoy dan nyaman dengan situasi seperti itu, sehingga bisa saja pertanyaan tersebut bagaikan sepoi-sepoi angin di pagi hari. Mengusap lembut daun kedua telinga mereka hingga kepada mereka akan benar-benar diperdengarkan sebuah suara yang berbunyi,
”Seperti halnya kau menyakiti-Ku lewat rakyatmu. Maka bersiaplah menerima akibat dari perbuatanmu sendiri,”
Lalu kuda-kuda macam apa yang bisa kita persiapkan untuk melawan kesungguhan dalam setiap gertakan-Nya?
Entahlah!



*Budayawan