Selasa, 23 Februari 2010

“Menyalakan Cahaya Peradaban Muhammad”

“Menyalakan Cahaya Peradaban Muhammad”
Oleh Salman Rusydie Anwar*


Hampir tidak pernah ada kata bahasa yang cukup untuk menjelaskan secara akademik perihal Nabi Agung Muhammad SAW, yang pada tanggal 26 Februari ini akan kita peringati kembali kelahirannya. Hal ini tentu saja bukan apologi semata. Sebab sejarah sudah sedemikian banyak melahirkan berbagai kajian tentang beliau, dan hal itu seakan tak pernah menemukan kata selesai, entah sampai kapan.
Bagi kita umat Islam, posisi Nabi Muhammad bukan saja sebagai sosok yang telah berusaha dan berhasil mengarahkan kita pada jalan hidup yang seharusnya kita jalani. Namun yang paling penting dari semuanya adalah kebersediaan beliau untuk melakukan negosiasi ruhani, serta tawar menawar dengan Allah kelak di akhirat mengenai kejelasan nasib kita dihadapan pengadilan-Nya Yang Maha Adil.
Maka tak ada yang sia-sia bagi kita yang hendak kembali menghayati hari kelahiran beliau sekarang ini. Di tengah geriungnya konstelasi hidup yang dari hari ke hari senantiasa mencipta harapan dan kecemasan, kearifan yang terpancar dari dalam dirinya memang layak dirindukan. Setidaknya hal itu dapat kembali mengingatkan bahwa beliau ada memang untuk kita.
Di dalam kosmologi hari maulid yang begitu mendebarkan, miliaran mulut senantiasa menyebut-nyebut nama beliau. Dendang dan puja-puji senantiasa merebak dari satu daerah ke daerah lain, dari satu wilayah ke wilayah lain bahkan dari satu negara ke negara lain. Semuanya mengeluarkan satu suara yang sama, yaitu pekik kerinduan dan rasa cinta yang mendalam. Meski demikian, tentu harus tetap ada satu obsesi yang perlu terus digali dan menjadi prioritas utama dari semua “selebrasi” yang kita lakukan selama ini mengenai maulid.

Tata Nilai Profetik
Secara mendasar, kelahiran Nabi Muhammad memiliki orientasi kemanusia yang cukup jelas. Di awal-awal kelahiran dan pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul, ia dengan gamblang mengatakan bahwa posisi dan fungsi kehadirannya di dunia ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak:
“Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.”
Akhlak adalah cara atau tekhnik manusia dalam menjalani kehidupannya. Dan benar tidaknya cara yang dilakukan itu tidak bergantung kepada persepsi-persepsi sempit manusia, melainkan harus didasarkan kepada wahyu Tuhan, baik yang tersurat dalam firman-Nya maupun yang tersirat di dalam banyak segi kehidupan ini.
Sementara Nabi Muhammad sendiri adalah pelaku utama dari cara atau tekhnik yang harus dilakukan untuk menjadi manusia yang benar. Ia cermin atau dalam bahasa Al-Qur’annya uswah hasanah, cermin yang baik, yang dapat menampilkan banyak kebenaran sehingga siapa saja dapat menoleh kearahnya untuk menemukan kebenaran itu sendiri.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, akhlak itu memiliki banyak segi yang tidak terbatas jumlahnya. Akhlak bukan hanya kepatutan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya dan seorang tetangga kepada tetangganya. Namun akhlak itu sendiri sebenarnya menyatu dengan semua sisi kehidupan umat manusia apa pun saja profesi yang dilakukannya.
Seorang petani disebut petani yang berakhlak manakala ia setia menjalankan kegiatannya dengan benar. Ia tidak memberikan racun kepada tanaman dan tanah yang digarapnya, melainkan yang ia berikan adalah benar-benar pupuk yang sesuai kadar ukurannya. Belum lagi kalau kita berbicara hasilnya yang dia gunakan untuk mencukupi kebutuhan semua anggota keluarganya dan sebagian lagi untuk membantu orang lain.
Apalagi bagi seorang pejabat. Seorang pejabat disebut berakhlak manakala ia sanggup menjalankan fungsi jabatannya dengan benar. Jika jabatan yang didudukinya berhubungan dengan bagaimana mengatur kesejahteraan rakyat, maka fungsi jabatan itu benar-benar dia jalankan sebagaimana seharusnya. Tidak ada korupsi, penyelewengan dan distribusi ketidakadilan karena semua tindakan itu adalah tindakan yang menyalahi akhlak dan menyalahi kemanusiaan itu sendiri.
Bahkan akhlak itu adalah apabila Anda menyingkirkan duri dari tengah-tengah jalan yang dapat mencelakakan orang lain jika duri itu tidak Anda singkirkan. Sedemikian luasnya makna dan cakupan akhlak itu sehingga siapapun saja sebenarnya tidak dapat terlepas dari tuntutan untuk senantiasa berakhlak. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi kita sebenarnya sudah dihadang oleh keharusan berakhlak dan itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memberikan tekanan begitu rupa pada fungsi kehadirannya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Memperingati kelahiran Nabi Muhammad atau lazim disebut Maulid Nabi, sesungguhnya merupakan upaya untuk ‘merepresentasikan kembali’ ajaran akhlak yang beliau tanamkan. Saya tekankan sebagai upaya merepresentasikan kembali karena sesungguhnya sudah banyak perilaku kehidupan kita selama ini yang bukan saja tidak mencerminkan perilaku berakhlak, melainkan sudah mencipta “akhlak-akhlak” baru yang sayangnya disangka benar dan sejati.
Arus globalisasi, modernisasi dan informasi yang diterima tidak sebagai bagian dari perkembangan budaya, namun sebagai ajaran keyakinan dan kepercayaan yang harus diikuti telah ikut andil dalam mencipta lahirnya akhlak-akhlak baru itu. Fenomena ini terasa sekali di kalangan remaja dan anak muda kita. Contoh: selama ini mereka telah dipaksa oleh arus informasi untuk mengagumi dan mengidolakan artis melebihi kekaguman mereka kepada Nabi Muhammad, orang tua, dan guru-guru mereka. Dan sayangnya, mereka tidak bisa tidak untuk mengamini itu semua. Mereka khawatir disebut manusia yang tidak modern dan ketinggalan kereta globalisasi. Akhlak bagi mereka adalah hiburan dan euforia itu sendiri, dimana kemungkinan bagi terjadinya perubahan dan pemberdayaan dalam semua aspek kehidupan mereka perlu sekali dicemaskan.
Dalam kancah perpolitikan pun terjadi hal-hal serupa. Prinsip demokrasi liberal telah dipahami sebagai suatu kebenaran absolut yang berada jauh di atas nilai-nilai akhlak yang sejati. Demokrasi liberal telah menjadi semacam agama dan akhlak baru yang harus diyakini dan diikuti. Sehingga ukuran bagi keberhasilan sebuah era pemerintahan kerap dilihat dari seberapa vokal dan berapi-apinya elit pejabat pada saat mengadakan rapat-rapat, bukan pada ketenangan hati dan keistiqamahan sikap dalam menyikapi suatu masalah.
Memang telah ribuan kali kita memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun pengaruh terutusnya beliau untuk menyempurnakan akhlak dalam kehidupan dan perilaku kita rasanya masih perlu dikoreksi dan diperbaiki. Dan pada Maulid kali ini, sungguh kita tidak ingin mengulang kesalahan serupa agar cahaya peradaban akhlak dapat kembali memancar di segala lini kehidupan kita yang masih gelap dan remang-remang.

Namrud dan Matahari Ibrahim

Namrud dan Matahari Ibrahim
Oleh Salman Rusydie Anwar*


“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kalau Anda perhatikan, perdebatan Ibrahim dengan Raja Namrud waktu itu ternyata bukan sekadar perdebatan teologis yang pada akhirnya mengantarkan Ibrahim menang telak atas Raja Babilonia itu.
Namun saya kira, perdebatan itu mengandung teka-teki tertentu berkenaan dengan bagaimana masa depan ilmu teologi dan ilmu kemanusiaan itu sendiri.
Jelasnya begini: kalau Raja Namrud mengatakan bahwa ia merasa mampu “menentukan” mati tidaknya seseorang, maka hal itu konteksnya adalah kemanusiaan. Artinya, dengan kekuasaannya, Raja Namrud memang memungkinkan untuk menentukan hidup matinya nasib kemanusiaan rakyatnya sendiri yang hal itu tentu saja dapat diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang ia kembangkan.
Jika sistem pemerintahan yang ia terapkan adalah sistem kekuasaan yang otoriter, tiran, tidak memperdulikan keadilan, sewenang-wenang, korup dan cenderung menindas, maka matilah nasib kedaulatan negaranya dan mampuslah sisi kemanusiaan rakyatnya. Dan sistem semacam ini ternyata tidak hanya berlaku pada Raja Namrud. Siapa pun saja di dunia ini, yang memerintah dengan cara-cara ala Raja Namrud, maka ia dengan sendirinya adalah Namrud-Namrud baru yang dapat “menentukan” hidup matinya rakyat manusia.
Saya menduga bahwa waktu itu Nabi Ibrahim menyadari kalau dalam aspek kemanusiaan Raja Namrud memang bisa menentukan hidup matinya seseorang dari kalangan rakyatnya sendiri. Dan itulah sebabnya kenapa ia tidak mendebat lebih jauh tentang masalah ini. Tidak mendebatnya Nabi Ibrahim mungkin juga menunjukkan sebuah kemungkinan bahwa pemerintahan ala Namrud akan kembali terjadi pada masa-masa selanjutnya. Dan kita pun pernah merasakan aroma pemerintahan ala Namrud macam itu. Bahkan tidak sedikit negara yang menganut sistem pemerintahan ala Namrud saat ini.
Akan tetapi bagaimana dengan konteks teologi dimana kesombongan Namrud pada akhirnya takluk pada perintah Ibrahim agar dia menerbitkan matahari dari sebelah Barat, tidak seperti biasanya yang terbit dari sebelah Timur? Saya menduga bahwa pada akhirnya matahari itu memang akan selalu terbit dari sebelah timur. Dan jika ia terbit dari sebelah barat, maka kiamatlah itu namanya.
Sekarang saya ingin mengajak Anda untuk berbicara matahari dalam konteks yang lebih simbolistik. Dalam tradisi sufi dan spiritualisme Islam, matahari itu adalah perlambang atau simbol dari sifat Tuhan. Sifat dan karakter matahari adalah membangunkan, yaitu membangun kehidupan untuk dijalankan kembali oleh manusia. Terbitnya matahari dengan sendirinya adalah pertanda dari bangunnya kehidupan setelah mengalami ketertiduran sebelumnya.
Selain itu, sifat matahari yang lain adalah menerangi. Kehidupan tidak akan berjalan dengan benar apabila tidak ada pencahayaan yang berasal dari matahari, sehingga menjadi jelaslah jalan-jalan mana yang harus ditempuh. Dengan matahari, Anda dapat mengenali dengan lebih jelas jurang yang ada di depan Anda, mana yang duri dan mana yang bukan. Lebih jelasnya, matahari dapat menuntun Anda pada jalan mana yang harus Anda lalui.
Lalau kalau kemudian ada istilah peradaban Timur, maka itu sebenarnya adalah peradaban matahari, atau peradaban yang dibangun di atas kesadaran yang utuh pada Tuhan serta sekaligus peradaban yang dijalankan di bawah pencahayaan matahari atau nilai-nilai ketuhanan itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian; apakah yang dimaksud peradaban Timur itu adalah peradaban yang muncul dari wilayah-wilayah yang secara geografis ada di bagian Timur?
Terus terang saya tidak begitu setuju dengan konsep ini. Memang, konsep pembagian peradaban itu memang dibagi menjadi dua bagian. Ada peradaban Timur yang diwakili oleh negara-negara Asia dan semacamnya dan ada peradaban Barat yang identik dengan negara-negara Eropa. Akan tetapi peradaban Timut itu menurut saya hanyalah sebuah idealisme, cita-cita, nilai-nilai dan bukan pemetaan dikotomis geografis macam itu. Sebab Allah sudah menegaskan bahwa kepunyaan Allahlah barat dan timur itu. Sehingga kemana saja engkau menghadap, kalau ia ditujukan kepada “wajah Allah”, maka engkau akan selamat dan mendapat pahala kebenaran.
Sebagai sebuah idealisme, maka peradaban Timur itu sebenarnya dapat dikembangkan dimana saja. Anda boleh saja hidup di benua Amerika, tetapi jika peradaban yang Anda bangun adalah peradaban matahari atau peradaban yang menumbuhkan, membangunkan dan peradaban yang dijalankan di bawah cahaya ketuhanan, maka Anda berhak disebut sebagai pemeluk peradaban Timur.
Sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa apa yang saya kemukakan dari awal adalah menafsir-nafsirkan, jadi bukan tafsir, dan juga hanya sebagai upaya untuk melakukan tajribah. Benar-benar tidaknya segala yang sudah saya katakan, tentu harus dikembalikan pada pengkajian dan penelitian yang lebih serius lagi. Dan disitulah letak tanggung jawab kita sebenarnya.
Kita perlu melakukan pengkajian dan pembelajaran dengan penuh tanggung jawab atas segala sesuatu yang sudah difirmankan oleh Allah. Secara historis, kisah Ibrahim dalam ayat di atas memang berbicara tentang perlawanan beliau atas arogansi dan hegemoni Namrud. Tetapi secara pesan keilmuan dan substansi petunjuknya, kisah itu juga mendorong kita untuk lebih jeli melihat peluang-peluang yang dapat kita masuki untuk menerbitkan cahaya matahari ketuhanan, agar peradaban Namrud dapat diperbaiki. Syukur-syukur dapat dihilangkan, sehingga nasib kemanusiaan tidak mengalami kematian demi kematian.


Kebumen 22 February 2010.

Senin, 08 Februari 2010

Kitalah Mandataris Tuhan Itu!

Kitalah Mandataris Tuhan Itu!
Salman Rusydie Anwar

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka (para malaikat) berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan? Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 30-34)”

Sesungguhnya, peristiwa sujudnya Malaikat kepada Adam yang manusia merupakan peristiwa amat dahsyat dalam sejarah manusia itu sendiri. Kita tahu, betapa Malaikat adalah satu-satunya makhluk yang tidak memiliki pilihan lain kecuali hanya taat kepada Allah SWT. Malaikat diciptakan oleh Allah dengan potensi ketaatan yang luar biasa sehingga tak satupun perilakunya yang menyimpang atau melanggar dari apa yang sudah diperintahkan oleh Allah kepada mereka.
Mengingat ketaatannya kepada Allah mengalahkan makhluk yang lain, maka tidak heran jika pada saat Allah memberi tahu mereka untuk menciptakan khalifah, lantas mereka beramai-ramai datang ‘mendemo’ dan mengajukan gugatan kepada-Nya:
“Mengapa. Mengapa harus Kau buat makhluk lain di bumi itu yang kerjaannya hanyalah merusak dan saling tawur? Tak cukupkah ketaatan yang kuberikan selama ini? Tak memadaikah penyucianku kepada-Mu selama ini sehingga Engkau berencana membuat makhluk lain selain aku?” begitulah kira-kira protes para Malaikat itu.
Tetapi Malaikat hanyalah Malaikat. Mereka adalah makhluk yang keberadaannya dicipta dan ditentukan sendiri oleh Allah. Mereka, meski dengan ketaatan yang luar biasa, tetap tidak mampu mengungguli pengetahuan Allah. Meski mereka selalu dekat dengan Allah, tiap waktu selalu ada di sisi-Nya, namun tak secuilpun mereka tahu apa yang Allah ketahui. Itu sebabnya, dengan tutur kata yang lembut Allah menanggapi demo mereka:
“Aku yang lebih tahu dengan segala rencana-Ku sebagaimana Aku yang lebih mengerti segala rahasia yang ada di pelosok langit dan yang ada di balik lipatan bumi. Jadi kamu tenang sajalah!” begitu jawab Allah kira-kira.
Maka Maha Suci Allah yang kemudian menciptakan Adam, dimana pengetahuan mutakhir para ahli mengenai mutasi ‘gen’ sudah mempercayai bahwa dialah cikal bakal manusia pertama di dunia ini. Namun Allah tidak hanya menciptakan Adam sebagai manusia belaka. Dia juga memberinya gelar kehormatan yang begitu istimewa, yaitu sebagai khalifah.
Terserah kita mau mengartikan khalifah dengan makna apa. Namun yang jelas, khalifah memiliki konotasi makna yang cukup dekat dengan arti mandataris, wakil atau kepercayaan Tuhan yang harus menjalankan tugas-Nya di muka bumi ini dengan benar. Untuk bisa menjalankan tugas itu, Allah memberi Adam pelajaran dan pelajaran pertama yang diberikan Allah kepada si manusia Adam ini adalah pengetahuan tentang nama-nama atau kemampuan mengidentifikasi segala sesuatu yang ada di bumi dimana kemampuan ini pada akhirnya akan berkembang menjadi ilmu-ilmu, seperti ilmu fisika, biologi, sejarah, astronomi, kelautan, politik, sosial, budaya, agama, bahasa dan beribu-ribu disiplin keilmuan lainnya.
Maka tidak usah heran kalau ilmu dan kemampuan yang diberikan Allah kepada Adam ini membuatnya lebih unggul sampai-sampai Allah memerintahkan mereka para Malaikat:
“Sujudlah!”
Jika kita bayangkan, rasanya tidak mungkin manusia Adam ini akan sanggup menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini tanpa rasa tanggung jawab yang total, paling tidak terhadap ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sebab, betapa pun tinggi dan memadainya ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, akan tetapi jika dalam dirinya tidak ada rasa tanggung jawab yang besar untuk hanya menggunakan dan memanfaatkan ilmunya pada kebenaran maka segalanya akan kacau. Atau dalam terminologi Malaikat, “Hanya akan melahirkan kerusakan dan pertumpahan darah.”
Maka Malaikat benar dalam satu sisi, bahwa kerusakan dan pertumpahan darah yang terjadi di muka bumi ini terkadang memang lahir dan sengaja dilahirkan oleh manusia-manusia berpengatahuan tinggi, namun memiliki semangat tanggung jawab yang amat rendah terhadap ilmunya.
Mungkin saja begitu. Kalau kurang puas, silahkan tanya sendiri sama Tuhan. Gak repot, kan!?

Kebumen 29 Januari 2010