Rabu, 09 Februari 2011

Salah Ariel dan Dosa Kita

Saya mencintai Ariel. Bukan karena dia seorang penyanyi tampan yang mampu memperdengarkan suara bagusnya ketika sedang bernyanyi. Melainkan sebagai sesama manusia yang sama-sama menggenggam hakikat kemanusiaannya yang sewaktu-waktu dapat cacat. Sebagai wujud cinta saya kepada Ariel, saya mendukung keputusan apapun yang akan diberikan untuk “mengadili” perbuatannya, meski sampai hari ini masih simpang siur juga mengenai kebenaran atas perilaku Ariel dengan dua selebritis itu.
Saya juga yakin bahwa, ribuan orang yang berencana datang untuk mengawal sidang kasus Ariel itu memiliki rasa cinta yang sama. Persoalan apakah mereka datang dengan gemuruh amarah yang meledak-ledak, itu saya rasa adalah pilihan mereka dalam menunjukkan formula cintanya semata. Bukankah cinta tak dapat diformulasikan dalam satu bentuk seperti misalnya romantisme semata?
Artinya begini. Terlampau besarnya cinta Anda kepada seseorang, terkadang dapat membuat Anda begitu geram melihat orang yang Anda cintai itu melakukan perbuatan yang dapat menjerumuskan dan merusak nilai hidupnya.
Tapi masalahnya, sesungguhnya bangsa ini terlampau besar untuk dinodai hanya oleh seorang Ariel. Jika hukum benar-benar memberikan keputusan yang adil bagi Ariel, itu tidak berarti keadilan sudah tercipta dan kemaksiatan akan berkurang. Maka sangat aneh jika ribuan orang tiba-tiba menjadikan Ariel sebagai factor utama yang diyakini dapat merusak sebuah bangsa.
Saya sepakat bahwa Ariel memiliki penggemar yang sangat banyak. Tak sedikit orang mengidolakan Ariel sampai-sampai sosoknya menyisihkan tokoh-tokoh lain yang umpamanya lebih masuk akal untuk diidolakan. Sebut saja Nabi Muhammad. Kalau sampai si pengidola Ariel ini terjebak untuk ikutan dalam perilaku tak pantas sebagaimana dilakukan oleh Ariel, maka siapa sesungguhnya yang bersalah? Arielkah? Fansnyakah? Atau justru itu adalah kesalahan kolektif dimana di dalam kolektifitas itu dapat terangkum banyak problem seperti penddikan, politik, hukum, ekonomi dan bahkan agama.
Oleh sebab itu, Ariel bagi saya adalah satu kasus yang perlu dituntaskan. Tetapi ia tidak yang utama, karena diantara Ariel masih banyak kasus lain yang tak perlu disepelekan hanya karena pelakunya tak setenar itu artis. Maka saya tak melihat kegeraman serupa ketika kasus semacam Gayus tak kelar-kelar. Kemana para pendemo yang seakan-akan “suruhan Tuhan” itu pergi? Saya tak mendengar dengus geram hati mereka.
by; salman rusydie anwar

Sajak-sajak

Salman Rusydie Anwar

Laut Menyimpan Bau Tubuhmu

Berdiri di tepi laut, gemuruhmu mengalir
membangun lempengan-lempengan rindu terbakar
Bersama senja membasuh kaki-kakinya diujung riak
kudayung doa ini meniti gelombang
Kutatap wajah pantai murung, dan karang hitam
berlompatan ke dalam gigil

Berikan sisa bau tubuhmu agar mampu
mengasinkan perjalanan rasaku
Mengecap segala renyah keringat nelayan
yang melepas sauh hingga ke ujung malam

Meski mungkin hanya laut yang mampu
mendebarkan ombak di dadaku
meredakan sisa sakit
yang mengukir dirinya di tubuh-tubuh karang berlumut
Namun di bau tubuhmu
aku dapat menemukan tempat untuk berlabuh

Kebumen, 2011.


Usai Cinta Membaca Gerimis

Apa yang kau temukan pada kaki-kaki gerimis
di wajah jendela, usai kita mengurai cinta?

Malam seperti menyusun lolongan panjang
memperdengarkan riuh ricuh mulut si gelandang
yang tak mampu melabuhkan secuilpun kecupan
pada bibir kekasihnya pucat gemetar

Dari balik kamar yang menyimpan parfum kesukaanmu
aku melihat gerimis seperti ujung jarum ditabur
menancap telak pada sekepal otak mereka
yang tak sanggup berpikir apakah dunia masih memiliki cinta

Sisa bau anggur dibibirmu pun telah mengering
mengalirkan gersang kemarau
pada rumah-rumah kardus berlantai tanah
menyisakan mimpi-mimpi semakin renggas
diliku-luka mereka yang terus bernanah

Ingin kutuntaskan gelut geliat cinta
agar keringat ini menghanyutkan doa
ke resah risau mulut mereka

Kebumen, 2011.

Tebing Hujan

Telah kubangun sebuah tebing
dengan hujan yang berlari dari mataku
Tangan-tangan waktu merayap di atasnya
meninggalkan sejarah demi sejarah
langkah demi langkah
Kau menyangka tebing ini adalah sebuah perhentian
sedang aku meyakini ia adalah sebuah hunian
tempat luka dan doa, nyanyi dan harapan
menempa dirinya menjadi akar
yang sulurnya merambat hingga matahari

Dan ketika matahari menusukkan sinarnya
ke ubun waktu dalam diammu
kau pun menjadi bagian dari tebingku
yang harus sedia menanggung perih cuaca

Kebumen, 2011

Geretan

akan kunyalakan lagi sebatang usiamu
dengan geretan matahari dan
ruas rusukku
lalu bara
menyala
melerai kantuk yang meringkuk
dipojok saku celana

masih ada abu didadaku
menari-nari nirukan liuk angsa yang terpana
pada semburan api dibola matamu

hari masih bersarang didasar benua
menyusui ikan-ikan yang berenang
ke sunyi dermaga
menyerahkan siripnya pada usia matahari
yang semakin renta dan penuh luka

2011

Ahmadiyah dan Buta Mata Kita

By: Salman Rusydie Anwar


Ahmadiyah menyimpang. Begitulah kira-kira keyakinan yang dipegang erat oleh sebagian orang, sehingga atas nama keyakinan itu pula mereka merasa perlu untuk menyerang, membakar dan melampiaskan amarah tanpa bisa dikendalikan.
“Melihat penyerangan yang begitu mengerikan, saya tiba-tiba ingat Abu Bakar,” kata seorang pemuda kepada temannya dengan suara lirih di suatu malam yang bergerimis. Ia kemudian bercerita kalau pada suatu waktu Abu Bakar pernah mendengar kebiasaan Rasulullah yang selalu pergi menemui seorang buta di pagi hari. Tak hanya pergi menemui. Beliau juga membawakan semangkuk bubur, segelas air dan menyuapkannya hingga si buta kenyang, paparnya.
Hingga Nabi Agung itu meninggal, kebiasaannya akhinya dilanjutkan oleh sahabat setianya, Abu Bakar. Untuk pertamakalinya, Abu Bakar datang menemui si buta, membawakan bubur dan meletakkannya di depan orang itu.
“Siapakah ini?” tanya si buta. Karena tidak ingin identitasnya diketahui, Abu Bakar menjawab, “Orang yang biasanya membawakan Anda bubur ke sini.”
“Tidak. Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga membawakanku segelas air.” Abu Bakar diam dan pergi. Besok hari dia datang lagi membawakan bubur dan segelas air, lalu meletakkan di depan si buta. Seperti sebelumnya, si buta mengajukan pertanyaan yang sama dan Abu Bakar menjawab dengan jawaban yang juga sama.
“Tidak,” kata si buta, “Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga akan menyuapi dan meminumiku hingga aku kenyang.” Kali ini Abu Bakar kembali pergi dan besok harinya dia datang membawa bubur, segelas air dan kemudian menyuapi serta meminumi si buta hingga kenyang. Setelah selesai, si buta kembali mengajukan pertanyaan:
“Sejak kemarin aku tahu kalau kau bukan orang yang biasanya datang kemari. Sekarang katakan, siapakah dirimu dan kemana perginya orang yang biasanya datang ke sini?”
Abu Bakar tercekat sebelum akhirnya dia menjelaskan, “Saya Abu Bakar. Dan orang yang selalu membawakan Anda bubur, segelas air dan menyuapi Anda hingga kenyang sudah meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Tahukah engkau, kalau dia adalah Muhammad, utusan Allah.”
Kali ini ganti si buta yang tercekat. Tubuhnya gemetar dan air matanya tumpah tak tertahankan. Di tengah sedu-sedannya itu si buta berkata:
“Sungguh mulia Muhammad dan sungguh hinanya diriku. Wahai, Abu Bakar. Jadilah saksi atas perkataanku,” katanya sambil mengucapkan syahadat. Si buta itu ternyata adalah orang Yahudi yang sebelumnya tak hanya mengingkari kerasulan Muhammad, namun juga menyangkal keesaan Allah.
Pemuda itu menutup ceritanya sambil menghapus kedua matanya yang tampak sembab. Tak sanggup dia menahan haru melihat sedemikian mulianya sang Nabi dan sahabatnya memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Kemuliaan itulah yang kemudian menumbuhkan simpati mendalam di hati Yahudi sehingga secara sadar ia pun bergabung dalam jamaahnya.
Si pemuda menarik napas. Sekarang dia berhadapan dengan kenyataan bahwa perbedaan keyakinan tak bisa lagi dijadikan peluang untuk berlomba melakukan sesuatu yang lebih indah dan benar. Keindahan dan kebenaran sepertinya hanya bisa dipahami lewat keseragaman yang pongah, sombong dan tak memberi kesempatan bagi pihak lain untuk mengambil jalannya sendiri tanpa harus dirintangi dan diganggu. Lain dari itu, perbedaan keyakinan sangatlah identik dengan ancaman. Sehingga orang yang berbeda keyakinan, kita anggap sebagai musuh yang tak berhak mendapat pengampunan.
“Dimanakah Abu Bakar?” teriak si pemuda tiba-tiba. “Aku rindu kehadirannya untuk menyuapi orang-orang yang kita anggap sesat dan buta akan kebenaran tanpa harus membuatnya tersedak dan tersengal. Dimanakah Nabi Agung itu berada diantara sekian ribu kepala orang-orang yang meyakini kerasulannya? Kenapa ia tidak hadir dalam kesadaran kita, sehingga apa yang kita perbuat cenderung menyimpang dari yang ia teladankan. Siapakah yang buta sekarang? Kita atau mereka yang kita yakini menyimpang itu?”
Teriakan pemuda memecah sunyi malam. Dan sahabatnya hanya memandang dengan tawa cekikikian.