Rabu, 24 Maret 2010

Rokok

Rokok
Cerpen Salman Rusydie Anwar


Siang itu, aku terkapar kepanasan di beranda rumah. Kurangnya pepohonan di sekitar halaman membuat suasana rumahku tetap terasa gerah meski saat itu aku bertelanjang dada. Belum lagi posisi rumah yang berada tepat di pinggir jalan besar yang setiap hari tak pernah sepi dari bisingnya suara kendaraan. Rasanya begitu muak bertahan lama tinggal di rumah itu. Tapi untuk pindah ke daerah lain yang lebih sejuk juga tak mungkin. Harga tanah sekarang ini mahal sekali dan hal itu jelas tak akan terbeli oleh penghasilanku yang cuma sebagai penjual asongan rokok, yang berkeliling di dalam pasar dan terminal angkot.
Aku hampir terlelap ketika seberkas cahaya berwarna kebiru-biruan tiba-tiba meluncur dari atas langit dan langsung jatuh tepat di samping kepalaku. Tapi aku tidak kaget. Sudah dua tahun terakhir ini aku sering mengalami hal-hal seperti itu. Dan itu pasti Kiai Majnun. Sosok yang dianggap orang sebagai manusia sakti karena dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi seberkas cahaya berwarna biru.
Entah apa yang ia kagumi dari diriku. Ia selalu berkata kalau dia merasa nyaman denganku. Mungkin karena hanya aku yang tidak terlalu membesar-besarkan kesaktiannya diantara orang lain yang bahkan menganggapnya seperti malaikat. Aku anggap kemampuannya yang bisa mengubah diri menjadi seberkas cahaya, dan juga kemampuannya bisa terbang dan mendatangi sebuah tempat dalam sekejap mata hanya masalah biasa.
“Itu hanya sebagian kecil dari anugerah Tuhan yang diberikan kepada sampeyan. Jadi tidak usah berlagak di depan saya,” kataku pada saat pertama kali berkenalan. Dan sejak saat itu pula ia kerap mendatangiku kapan saja ia suka, dan dimana saja aku berada. Meski awalnya aku merasa kesal, namun akhirnya aku menikmatinya juga. Apalagi ia selalu mengeluarkan humor-humor, tingkah laku dan pernyataan-pernyataan geli yang kadang sulit dicerna orang. Itu sebabnya aku panggil dia Kiai Majnun. Kiai gila. Begitu kira-kira artinya.
“Aduh, Kiaii... Ada apa lagi sih. Kok datang siang-siang begini?”
“Kenapa. Kamu tidak suka aku datang?”
“Bukan begitu. Saya ini lagi suntuk, capek dan mau istirahat.”
“Ya sudah, istirahat saja. Aku juga mau numpang istirahat, kok.”
Kiai Majnun merebahkan tubuhnya di samping tubuhku. Sejenak ia terdiam dan akupun sengaja tak mau mengajaknya bercakap-cakap seperti biasanya kami lakukan. Tapi dasar Kiai Majnun, dia seperti tak betah di kepung sunyi. Kalau dia tahu aku belum tidur, pasti ada saja yang mau diomongkan. Bahkan meski aku sudah tidur, tidak jarang pula dibangunkan.
“Le, kamu belum tidur kan?”
“Memang ada apa, Kiai. Saya memang mau tidur dan tolong kiai jangan ganggu saya dulu.”
“Tadi bilang kamu suntuk. Makanya aku ajak kamu ngobrol.”
“Nanti saja deh, ngomongnya Kiai. Sekarang ini waktunya tidak memungkinkan.”
“Wah…kamu ini gimana toh. Justru kalau diomongkan nanti aku takut keburu lupa dan omongannya menjadi tidak kontekstual lagi.”
“Setiap omongan kiai, buat saya, selalu kontekstual. Kiai mau ngomong di mushalla, di masjid, di lapangan sepak bola, di teminal angkot dan bahkan di kamar mandi pun tetap saya anggap kontekstual. Jadi, tahan dulu omongan kiai untuk dibicarakan nanti sehabis saya bangun tidur.”
Aku menutup wajah dengan baju yang tadi dilepas. Lalu berpura-pura terlelap meski sebenarnya hal itu tidak bisa aku lakukan karena Kiai Majnun yang grusak-grusuk balik kiri, balik kanan seperti kardus yang ditimpa angin besar. Aku bersabar dalam keadaan seperti itu. Ingin rasanya menghardik sosok Kiai Majnun ini. Tetapi tidak tega. Takut dia marah, tersinggung dan akhirnya tak mau datang lagi menjumpaiku. Padahal, diam-diam, aku pun merasa enjoy dengan beliau.
“Le, tak baik tidur dalam keadaan suntuk. Kamu pasti mimpi jelek. Atau kalau tidak, tidurmu tak bakalan nyenyak. Jadi tenangkan dulu pikiranmu. Bebaskan dari kesuntukan, dan setelah itu baru tidur. Saya jamin pasti nyenyak.”
“Memang Kiai tahu apa, kenapa saya suntuk?”
“Paling-paling masalah hutang itu lagi. Iya, kan?”
“Ini lebih dari sekadar hutang Kiai,” jawabku setengah kesal.
“Sebentar kutebak,” kata Kiai Majnun sambil memejamkan kedua matanya seperti orang yang sedang meramal.
“Ohh….pasti,” katanya lagi tiba-tiba.
“Pasti apa?”
“Pasti soal rencanamu yang mau menikah lagi dengan Zainab, kan. Hehehe…” kali ini Kiai Majnun terkekeh-kekah. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tawa.
“Salah, Kiai. Salah. Masalah yang membuat saya suntuk ini sepertinya tidak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan niat itu. Sudahlah. Lupakan Zaenab, Fathimah, Desy Ratnasari….”
“Oohhh… kenapa ada Desy Ratnasari. Katanya cuma Zaenab sama Fatimah pilihannya?”
“Aduh, Kiaii.... . Sudahlah. Kesuntukan saya ini tidak ada hubungannya dengan perempuan dan hutang itu. Titik.”
“Lha, ya terus apa?”
“Rokok,” jawabku ketus.
“Rokok. Memang kenapa dengan rokok? Kamu habis modal dan tak bisa berjualan rokok lagi? Ngomong, dong.”
Aku menghela napas dalam-dalam. Menenteramkan kesuntukan yang sudah bercampur aduk dengan rasa jengkel, mengkel, marah dan rasa ingin memelintir mulut Kiai yang satu ini.
“Bukan itu, Kiai. Bukan itu. Tapi sekarang saya tidak mungkin lagi berjualan rokok karena rokok sudah diharamkan.”
“Hussyy…,” Kiai Majnun terbelalak seperti tidak percaya. Wajar saja dia bersikap begitu. Soalnya dia perokok tangguh yang dapat menghabiskan dua puluh batang dalam sehari.
“Ini benar, Kiai. Kalau tidak, ndak mungkin saya suntuk dan uring-uringan begini.”
“Memang siapa yang mengharamkan? Pemerintah?” tanyanya penasaran.
“Itu tidak penting Kiai tahu. Yang penting sekarang, Kiai harus memberi penjelasan kepada saya mengenai masalah yang satu ini.”
“Lho, kenapa saya yang harus kena getahnya?”
“Memang begitu maunya saya…”
Kiai Majnun hanya geleng-geleng kepala mendengar tekananku. Namun ia masih sempat cengar-cengir saja meski ditekan-tekan seperti itu. Wajahnya selalu menunjukkan kalau ia tak bisa ditekan, diintervensi dan dipengaruhi oleh apa pun yang ada di luar dirinya.
“Sekarang aku ingin tanya satu hal sama kamu. Sejak ada pengharaman rokok seperti itu, apa rokokmu tidak laku sama sekali?” tanya Kiai Majnun.
“Itulah anehnya, Kiai. Malah asongan rokok saya tetap laris seperti biasanya dan bahkan lebih laris dari hari-hari sebelumnya,” jawabku ganti bersemangat.
“Kenapa kamu anggap aneh?”
“Ya. Padahal kan sudah diharamkan. Logikanya, kalau sudah haram orang kan mestinya takut. Tapi kenapa ini masih laris dan tambah laris saja asongan saya.”
“Jadi itu menurutmu fenomena yang aneh?”
“Jelas aneh, Kiai. Tapi kenapa tanya-tanya itu segala sih?”
Kiai Majnun kembali tertawa terkekeh-kekeh.
“Le, larangan itu juga tidak kalah anehnya buatku. Hehehe…..,” tubuh Kiai Majnun terguncang-guncang lagi.
“Aneh bagaimana, Kiai. Yang mengeluarkan putusan haram itu orang-orang hebat lho. Bahkan mungkin Kiai sendiri dapat dikalahkan dengan mudah seandainya diajak berdebat oleh mereka.”
“Ah, sudahlah. Aku memang mungkin kalah kalau diajak berdebat. Tapi intinya larangan itu aneh. Titik.”
“Makanya tolong Kiai jelaskan. Kenapa aneh?”
“Ya, tapi tolong ambilkan dulu aku sebatang. Mulutku lagi masam ini.”
Aku tak berkutik. Dengan malas aku bangkit untuk mengambilkan rokok untuknya. Tak hanya itu, aku juga menyalakannya biar dia bisa langsung menghisapnya. Kiai Majnun menerima rokok itu dengan girang dan menghisapnya dalam-dalam.
“Kau tahu, kenapa aku tadi katakan kalau larangan pengharaman itu aneh?”
“Tidak, Kiai.”
“Karena menurutku, itu kurang substansial. Bagaimana mungkin rokok diharamkan kalau pabriknya tetap dibiarkan jalan dan memberikan pemasukan pajak berlipat-lipat pada negara. Kamu tahu, berapa triliun negara menerima pemasukan dari perusahaan rokok itu?”
“Saya tidak tahu, Kiai. Memang berapa?”
“Makanya saya tanya kamu, siapa tahu kamu tahu. Ah… malah kamu sama gendengnya seperti aku. Pantas saja kamu jadi tukang asongan. Kalau pintar dikit, kamu pasti diajak rapat untuk membahas haramnya rokok.”
Aku biarkan saja Kiai Majnun mengata-ngataiku seenaknya. Memang begitulah yang sering dia lakukan selama ini terhadapku dan anehnya aku tetap menyukainya.
“Terus. Terus?”
“Terus apanya?”
“Soal yang aneh-aneh itu tadi.”
“Oh. Ya jelas larangan itu aneh. Harusnya yang diharamkan itu pabriknya. Haram memproduksi rokok. Kalau itu berhasil, saya jamin para perokok akan berhenti dengan sendirinya. Kecuali mereka berani ngulak ke Amerika langsung.”
“Sebentar, Kiai. Dulu Kiai pernah berkata bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki manfaat. Kalau sawi, kangkung, bayam, itu jelas bisa dibuat sayur. Dan saya juga berpikir, kalau daun tembakau ini manfaatnya agar bisa dibuat rokok. Tapi kalau sekarang diharamkan, berarti daun tembakau itu sudah tidak ada manfaatnya lagi dong, Kiai. Mungkin Tuhan perlu membinasakan benih tanaman yang bernama tembakau itu dari sejarah manusia.”
“Kalau begitu, silahkan kamu bilang sendiri sama Tuhan.”
“Maksudku bukan itu, Kiai. Artinya, kalau rokok itu diharamkan, lantas daun tembakau itu mau dimanfaatkan untuk apa?”
“Mungkin sewaktu-waktu kita coba jadikan sayur saja.”
“Ayolah, Kiai. Saya ini serius.”
“Aku juga serius. Kamu ini enak saja. Aku ini tidak tahu, selain dibuat rokok, manfaat daun tembakau itu bisa dibuat apa lagi. Makanya aku bilang kalau sewaktu-waktu kita coba nyayur dengan memakai daun tembakau. Pasti rasanya lebih legit.”
“Ah, Kiai ini sudah mulai ngawur.”
“Sama ngawurnya dengan keluarnya larangan itu kan?”
“Huss…., jangan bilang-bilang begitu, Kiai. Kalau sampai kedengaran, Kiai bakal tahu akibatnya. Kiai bakal kena pasal…”
“Pasal apa,” potong Kiai Majnun tiba-tiba. “Kalau mau bicara pasal, aku hapal di luar kepala. Aku kasih contoh ya, kalau ada seorang pengendara motor yang tidak memiliki SIM dan ditangkap polisi, maka negara akan memberi sanksi dengan pasal 20.000. Itu baru SIM. Kalau dia juga tidak bawa STNK, maka ia akan dikenai pasal 40.000. Bagaimana, sudah jelas kan, kalau aku tahu benar soal pasal-pasal hukum?”
“Sudah. Sudah, Kiai. Makin lama Kiai makin ngawur saja. Nanti omongan Kiai benar-benar didengar orang lho.”
“Kalau begitu aku pergi saja.”
“Oh, itu lebih baik, Kiai. Saya juga sudah ngantuk. Mau tidur.”
“Eh…tapi aku kasih satu bungkus lagi lah. Nanti aku bayar.”
Ah, benar-benar gila Kiai yang satu ini.


Kebumen, 20 Maret 2010.

Siti Maryam Award

Siti Maryam” Award
By Salman Rusydie Anwar

Di suatu malam yang lengang dan bergerimis, saya mengisi kejenuhan dengan menonton televisi bersama istri. Saya tidak tahu apa nama acaranya. Maklum, sejak beberapa bulan ini saya berusaha untuk tidak terlalu berketergantungan pada kotak ajaib itu. Selain tidak menemukan acara yang benar-benar mendidik dan mendewasakan, saya juga merasa kerap dikecewakan oleh televisi karena hampir 90% acaranya hanyalah main-main. Saya bukan anti tv. Tapi sekadar tidak merasa terlalu butuh kepadanya.
Di dalam acara yang saya saksikan malam itu, tampak ada seorang perempuan artis yang sedang menjadi bintang tamu. Menurut host acara itu, perempuan tersebut baru saja melahirkan. Dan memang kelihatan kalau ia baru melahirkan. Badannya melar layaknya perempuan yang memang habis melahirkan.
Tetapi yang membuat saya tercenung adalah ketika istri saya mengatakan bahwa perempuan itu ternyata melahirkan tanpa jelas diketahui siapa ayahnya. Astaghfirullah. Saya mencoba menahan diri untuk tidak mengutuk, membenci dan meremehkannya walaupun godaan itu teramat besarnya di dalam hati. Lebih jelasnya, saya niatkan kata-kata istighfar itu untuk memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang sekiranya menimpa saya seandainya saya terlanjur mengutuk perempuan itu. Selebihnya, saya juga memohonkan ampunan atas perempuan itu kepada-Nya karena siapa tahu artis tersebut sedang khilaf. Entahlah.
Dengan nada berkelakar, saya katakan kepada istri bahwa artis tersebut barangkali ingin menjadi “Siti Maryam” kontemporer yang bisa hamil tanpa harus ada suaminya. Mungkin ia ingin menguji dan membuktikan kembali kekuasaan Allah bahwa Dia benar-benar berkuasa untuk membuat seseorang hamil tanpa perantara suami sekalipun.
Namun tak penting benar kelakar itu ditanggapi. Satu hal yang pasti. Saya melihat betapa si artis yang hamil tanpa suami itu kelihatan benar-benar menikmati kelahiran anaknya yang tanpa ayah. Senyumnya terus mengembang menanggapi berbagai gojekan dan pertanyaan si host acara. Jangankan penyesalan, niat untuk menyesal sepertinya tak pernah terbersit di dalam hatinya. Dia terlihat sumringah seperti perempuan pada umumnya yang habis melahirkan namun jelas siapa suaminya.
“Bagaimana sampeyan menanggapi masalah itu?” tanya istri saya tiba-tiba.
Saya tergeragap. Bukan karena saya tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaannya. Tetapi apa perlunya saya menanggapi masalah kehamilan dan kelahiran si artis itu. Dia bukan saudara dan famili saya. Juga bukan sahabat saya. Sekalipun dia artis, dia juga bukan idola saya dan saya tak pernah merasa menyaksikan aktingnya di depan mata kepala saya sendiri. Secara sosiologis, saya merasa tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadap semua perbuatannya. Silahkan dia mau hamil lagi dan lagi tanpa ada suami, silahkan. Bahkan silahkan saja dia mau berganti kelamin dan kemudian menghamili perempuan lain sesama artis, juga silahkan.
Artinya, saya tidak punya koneksi apa-apa dengan dia. Meskipun saya dibayar untuk menjadi idola yang ditugaskan mengelu-elukan dirinya sebagaimana yang terlihat pada penonton yang hadir di acara itu, insya Allah saya tidak akan mau. Dalam hidup ini, saya sudah memiliki idola yang setiap waktu selalu saya rindui paras wajahnya. Bahkan tiap detik saya usahakan untuk menyebut-nyebut namanya:
Ya ayyuhalmusytaaquuna ilaa ru’yati jamaalihii, shalluuu ‘alaihi wa sallimuu tasliima
Engkau yang menyimpan kerinduan untuk bertatapan wajah dengan keindahan beliau, bershalawatlah kepadanya.
Itulah idola saya dalam hidup ini. Jadi, mohon maaf, seandainya dia datang sendiri ke rumah saya dan menawarkan banyak uang dan fasilitas agar saya bersedia menjadi idola yang harus terus memujinya meski dia hamil tanpa suami, insya Allah saya akan terima uangnya dan saya berikan semua kepada beberapa anak asuh saya yang sekarang sedang mati-matian belajar menata bagaimana hidup yang benar. Selebihnya, akan saya lupakan dia.
Tetapi sesama hamba Allah, serta demi kemantapan sikap dan ilmu, saya juga merasa perlu memberi tanggapan atas pertanyaan istri saya itu. Pertama-tama yang saya kemukakan kepada istri saya adalah, kita harus segera mendoakan si artis agar ia cepat-cepat menyadari kekeliruannya. Dengan tegas saya katakan bahwa ia jelas-jelas bukan Siti Maryam dan tidak mungkin Allah mengulang mukjizatnya kepada beliau.
Bahkan Siti Maryam saja gusar, bercucuran air mata dan mengisolasi diri ketika ia diberi tahu bahwa Allah akan menganugerahkan seorang anak yang kelak akan menjadi manusia mulia, seorang Nabi, “Bagaimana mungkin saya bisa hamil, padahal saya tidak bersuami,” demikian kegusaran Siti Maryam. Lha, tapi si artis ini malah sebaliknya. Ia malah mengumbar-umbar senyumnya di depan kamera. Ia jumpa pers segala, mengabarkan bahwa ia telah melahirkan anak. Anak tanpa ayah.
Hmmm….
Kemudian yang kedua, kalau Allah menimpakan dosa berat kepada si artis karena ia telah hamil tanpa suami hingga sekaligus ia melahirkan anak tanpa ayah, maka sejatinya menurut saya, dosa itu juga berlaku bagi penonton yang hadir dalam acara itu. Sebab mereka datang dan dibayar untuk menyaksikan, menyoraki dengan penuh kegembiraan dan mengelu-elukan dengan penuh kekaguman hingga substansi kesalahan dan dosa si artis menjadi lumer dan samar-samar. Bahkan tak terlihat sama sekali, tergilas oleh nuansa hiburannya. Tetapi kita berdoa, agar mereka tidak menyangka bahwa yang dilakukan si artis adalah tindakan yang benar hanya karena mereka dibayar dan masuk tv. Ya, ampun, kata Popeye.
Di luar hujan bertambah deras. Saya tak lagi fokus pada acara televisi. Tetapi pada diskusi soal si artis. Namun belum selesai saya mengurai-nguraikan pendapat, istri saya malah memberi informasi tambahan bahwa si artis yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami itu mendapatkan penghargaan dari salah satu lembaga, entah LSM atau apa.
“Penghargaan. Penghargaan karena apa?” saya terlonjak.
“Penghargaan karena dia tidak menggugurkan kandungannya meski itu hasil hubungan dengan orang yang bukan suaminya.”
Wah…wah, kelucuan macam apa lagi ini. Orang yang melahirkan anak tanpa jelas siapa suami atau ayah dari anak tersebut malah mendapatkan penghargaan. Sementara ada seorang istri yang melahirkan anak tetapi kemudian ditinggal oleh suaminya sehingga dia harus banting tulang peras keringat sendiri untuk membiayai anaknya, kok malah “aman-aman” saja dari penghargaan, kok malah tidak menjadi bintang tamu acara televisi, kok malah tidak dikagumi para penonton.
“Coba saya banyak uang,” kata saya pada istri, “Saya pasti akan membuat acara penganugerahan “Siti Maryam Award” kepada artis-artis Indonesia yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami. Akan saya kemas agar acara penganugerahan itu bergengsi, mendapatkan banyak sponsor, bahkan kalau perlu harus mendapatkan restu langsung dari Allah, para nabi dan para malaikat.”
“Kenapa begitu?” tanya istri
“Ya, biar makin banyak lagi artis-artis yang bersedia dibuahi rahimnya oleh laki-laki yang itu jelas-jelas bukan suaminya. Acara itu pasti akan menghasilkan banyak keuntungan. Sebab semua rakyat Indonesia pasti menyukai dan tertarik karenanya. Soalnya mereka kan artis. Mereka mau hamil dua puluh tiga kali tanpa suami pun, masyarakat tetap akan mengidolakannya, penasaran ingin tahu kabarnya dan syukur-syukur mereka mau mengikuti perilakunya.”
Di luar, hujan sudah reda. Meninggalkan suasana dingin yang memungkinkan bagi saya berdua untuk lekas-lekas masuk kamar tidur dan melakukan sebuah upaya regenerasi sejarah.
Hmm…



Kebumen, Jum’at 19 Maret 2010.

Kamis, 11 Maret 2010

Tak Ada Receh Untuk Pengamen

Tak Ada Receh Untuk Pengamen
By: Salman Rusydie Anwar

Saya tidak tahu, di hadapan negara yang besar dan kaya raya ini -yang katanya penduduknya menganut kepercayaan kepada Tuhan, yang katanya rakyatnya berpegang teguh pada nilai-nilai adat ketimuran serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan- dimanakah letak nasib para pengamen?
Terpaksa harus saya tanyakan nasib para pengamen ini karena secara tidak sengaja saya pernah melihat tempelan selebaran di sebuah pasar yang berisi tulisan NGAMEN GRATIS, dan dipojok kanan bawahnya tertera institusi yang mengeluarkan pengumuman itu: Ttd Polsek Kebumen. Tidak hanya satu selebaran, hampir semua pertokoan, baik kecil maupun besar, di pintu-pintunya tertera tulisan semacam itu.
Saya tersenyum kecut melihat tulisan tersebut. Dan saya memiliki dua alasan penting untuk dikemukakan yang menyebabkan lahirnya tulisan ini kemudian:
Pertama, mungkin karena terlalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang beradab dan penuh budi pekerti halus, maka hampir di segala bidang dibentuklah eufemisme-eufemisme. Mengusir pengamen diperhalus menjadi NGAMEN GRATIS, mengobrak-abrik pedagang kaki lima dipermak menjadi PENERTIBAN, mengucilkan pengemis dari satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka kerjakan diubah menjadi, BERBAHAYA DAN TIDAK MENDIDIK (lengkap dengan gambarnya yang biasa ditempelkan di perempatan-perempatan jalan besar).
Kedua, mungkinkah kita sekarang ini hidup di suatu era dimana egoisme hampir menjadi panglima dari setiap gerak langkah kita. Egoisme yang saya maksudkan bukan hanya mau tahu kepentingan sendiri, akan tetapi pemahamannya telah memuai menjadi semacam keyakinan kolektif bahwa yang kita miliki benar-benar milik kita sendiri.
Penganut keyakinan egoisme seperti ini barangkali memiliki prinsip bahwa, “hartaku adalah mutlak hartaku. Karena itu tak ada alasan untuk memberi sekadar uang receh kepada pengamen atau pengemis sekalipun, sebab itu berarti mengurangi jumlah hartaku.”
Saya tidak tahu, apa yang bisa kita perbuat untuk menghentikan makin kencangnya laju fenomena semacam ini. Yang jelas, semua orang di pasar itu seakan merasa aman untuk tidak memberi dan membantu orang lain. Legalisasi untuk sebuah kebakhilan yang dikeluarkan institusi negara sekaliber Polsek -dengan kata-katanya NGAMEN GRATIS-, sepertinya membantu masyarakat untuk menikmati ketidakpedulian dan keacuhannya pada kesusahan orang lain. Kalaupun benar yang mengeluarkan maklumat itu adalah Polsek, maka itu artinya institusi negara telah memancing tumbuhnya sikap tidak peduli, tidak mau membantu, tidak mau tolong menolong serta menipiskan rasa kepekaan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Mungkin saya paham alasan Polsek mengeluarkan atau bersedia menjadi penanggung jawab atas keluarnya peringatan edaran seperti di atas. Pengamen dapat mengganggu ketentraman dan keindahan sebuah kota. Itulah satu-satunya alasan klasik yang biasa dimiliki oleh pemerintah. Bahkan mungkin alasan seperti itu juga yang diyakini para pedagang sehingga mereka bersedia tokonya ditempeli surat edaran tersebut tanpa rasa sedih sedikitpun. Akan tetapi, apa yang bisa diperbuat oleh pemerintah dan kita semua untuk menentramkan kegelisahan para pengamen atau pengemis yang setiap hari dicekam rasa takut tidak makan?
Tak ada jawaban yang pasti. Kita pun lebih memilih bungkam dan tidak mau tahu. Uang receh senilai seratus rupiah ternyata gagal kita perlakukan dengan benar. Kita gagal membaca kemungkinan bahwa dengan uang receh itu kita dapat mentransfer kasih sayang dan kepedulian antar sesama sebelum akhirnya kita mendapat transferan kasih sayang Allah, entah dengan cara dan dalam bentuk apapun.
Seorang ibu, yang sempat saya tanyakan tentang masalah pengamen dengan lantang berkata, “Para pengamen itu hanyalah orang-orang yang malas bekerja. Padahal mereka masih muda, masih gagah dan kuat.” Saya maklum jika itu alasan yang membuat ibu-ibu dan bapak-bapak di pasar itu tak mau kehilangan receh seratus rupiahnya. Dan alasan ini sebenarnya bisa saja muncul di dalam benak kita sendiri. Akan tetapi, alasan yang demikian menyiratkan satu hal penting. Bahwa ternyata kita sudah terlalu lama tidak mau belajar kejernihan sehingga yang ada hanyalah buruk sangka demi buruk sangka. Kita lebih senang melempar uang receh tetapi dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan dari pada membiarkannya begitu saja seperti kita membuang upil. Logikanya, memberi dengan uang receh saja gerundelannya sehari semalam. Apalagi memberi sepuluh ribuan. Pasti menggerundel sepanjang tahun.
Anomali Nilai-Nilai
Sekarang kita sepakati saja bahwa NGAMEN GRATIS dan kata-kata senada lainnya merupakan potret baru dalam kebudayaan masyarakat kita. Ajaran tentang berbagi sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk luntur. Seorang pemilik toko dengan jumlah dagangan yang sangat banyak serta dengan pemasukan yang besar memandang kedatangan pengamen dan pengemis layaknya seekor anjing liar penuh borok. Sekeping uang receh terasa seperti satu ons emas murni. Mereka genggam erat-erat sampai suara sumbang para pengamen dan pengemis lamat-lamat pudar dan mereka pergi menahan kecewa.
Lalu kepada siapakah mereka harus meminta? Pemerintah. Tidak mungkin. Sebab pemerintah tidak memiliki undang-undang untuk memberdayakan mereka. Yang dimiliki pemerintah adalah undang-undang untuk mengusir dan memberangus mereka.
Mungkin kepada pemilik toko atau kita sendiri, yang dimata pengamen atau pengemis diyakini memiliki kelebihan dan kedermawanan untuk memberi.
Rasanya kok tidak mungkin juga ya. Apalagi kita terbiasa bersikap tenang-tenang saja sebagaimana para pedagang di salah satu pasar di Kebumen itu. Intinya, kita sekarang ini sedang mengalami anomali nilai-nilai. Perlahan-lahan kita tanggalkan ajaran luhur dan kemudian kita ganti dengan ajaran baru yang kita sangka lebih luhur dari yang pernah kita miliki. Modus penggantian ajaran itu bermacam-macam. Salah satunya ya, dengan bahasa-bahasa eufemisme seperti di atas.
Maka saya merasa bangga ketika suatu hari, di sebuah perempatan jalan Jogja, saya didatangi seorang pengemis anak-anak dan saya memberinya selembar uang ribuan. Tiba-tiba, seorang lelaki pengendara motor di samping saya berkata:
“Mas, lihat peringatan itu, “katanya sambil menunjuk pada sebuah gambar yang berisi larangan memberi dengan alasan “tidak mendidik”.
Saya menjawab dengan pelan, “Kalau mas menganggap perbuatan saya tidak mendidik, sebaiknya bawa anak ini ke rumah mas dan didiklah dia dengan benar. Tetapi kalau mas tidak mau mendidiknya, mas salah besar. Sebab sudah tidak mau mendidik, mas tidak mau memberi pula.”
Lampu hijau akhirnya menyala. Dan para pengendara berebutan untuk saling mendahului. Termasuk lelaki itu tadi. Saya tidak tahu, apakah ia marah atau memang sedang buru-buru.