Jumat, 15 Januari 2010

Pertobatan Seorang Pengasong Rokok

Pertobatan Seorang Pengasong Rokok
Salman Rusydie Anwar

Saya bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi kesempatan untuk mengawali tahun baru 2010 dengan suatu perbuatan yang saya sangka itu adalah baik. Dalam suatu hari yang tak terduga, tepat dijantung keramaian kota Jogja, dan lebih tepatnya lagi di sebuah mushalla yang ada di salah satu tempat taman bermain, saya dibuat terpukau oleh suara seseorang yang sedang mengaji yang kebetulan dia adalah seorang pengasong rokok eceran.
Saya lihat paras dan penampilannya. Sangat sederhana dan bahkan mungkin lebih dari sekadar sederhana sehingga siapa pun yang pertama kali melihatnya akan langsung menduga bahwa ia adalah lelaki tidak waras yang kebetulan bisa mengaji. Pakaiannya lusuh, rambutnya pendek dan (maaf) cara dia melihat sesuatu seperti orang yang mengalami kelainan mental saja.
Akan tetapi Allah rupanya tidak terima dengan anggapan saya. Dengan strateginya yang sangat lembut, Dia kemudian menumbuhkan sebuah hasrat di kedalaman kalbu saya untuk segera mendekati orang itu. Jika sudah demikian, saya pun tak bisa melawan kehendak-Nya. Saya bangkit dan segera berjalan menuju ke arahnya. Dengan bermaksud membeli dua batang rokok dagangannya saya memiliki kesempatan untuk sekadar berbincang dengan orang itu.
Sebagaimana layaknya basa-basi perkenalan, saya pun tahu tentang nama orang itu, tanah asal kelahirannya, dimana ia tinggal selama di Jogja, bersama siapa dia tinggal dan seterusnya. Tetapi yang membuat saya benar-benar tercengang adalah ketika dia menjelaskan motif kedatangannya ke Jogja dan beberapa peristiwa yang pernah dia alami yang memotifasi dirinya untuk datang ke kota pelajar ini.
Singkat saja saya katakan, bahwa sesungguhnya orang itu datang ke Jogja adalah dalam rangka bertobat setelah tiga tahun lamanya dia terjerumus ke dalam dunia narkoba. Saya heran, bagaimana mungkin dia menjadikan Jogja sebagai tempat bertobat padahal Jogja sendiri tidak begitu steril dari beragam dosa dan kesalahan. Bahkan fluktuasinya setiap hari bisa dibilang dapat terus meningkat. Tetapi itu adalah pilihan hatinya dan saya tidak bisa merubahnya.
Yang lebih membuat saya begitu terkagum-kagum kepada orang itu adalah konsep dan prinsipnya tentang rejeki. Melihat dagangan asongan rokoknya yang hanya beberapa bungkus saja, saya tidak yakin dia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi dia juga menanggung ibu dan neneknya.
“Hampir semua orang berpendapat seperti itu,” katanya tenang, “Tetapi saya tahu kepada siapa saya harus meminta agar kebutuhan hidup saya dapat terpenuhi meski dengan dagangan yang sangat sedikit ini.”
“Maksudmu?” tanya saya.
“Dengar. Di tengah hingar-bingarnya kota Jogja ini, saya tidak pernah larut dengan semua itu sehingga saya lupa memenuhi hak saya kepada Tuhan. Mushalla ini, adalah saksi dimana saya dapat menemui-Nya pada saat orang-orang bergembira dan melupakan-Nya. Saya percaya dengan keyakinan saya kepada-Nya dan Dia juga percaya kepada saya sehingga saya tidak pernah dilupakan untuk dibantu, diberi jalan keluar atas semua masalah rejeki saya.”
Siapapun Anda, pasti tidak akan percaya bahwa kalimat-kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang lelaki pengasong rokok yang kelihatan seperti penderita cacat mental. Tetapi begitulah kenyataannya. Mendengar semua percakapannya yang hangat, Allah tiba-tiba menuntun tangan saya untuk merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar uang yang jumlahnya tidak terbilang besar. Saya menyerahkannya dan dia menerima dengan mimik yang biasa-biasa saja.
Dari bibirnya hanya keluar sebuah kalimat, “Terima kasih. Semoga Anda selamat.”
Lekas-lekas saya meninggalkan tempat yang ramai itu sekadar berusaha untuk menyelamatkan diri agar apa yang saya perbuat terhadap lelaki itu tidak terlihat oleh orang lain. Saya tahu hati saya yang amat sangat rawan untuk tercebur dalam kesombongan dan senang dipuji. Itu sebabnya saya segera meninggalkan orang itu.
Dalam perjalanan pulang, saya masih terbayang-bayang dengan wajahnya. Masih terngiang dengan nada suaranya yang menyiratkan bahwa dia memang benar-benar serius dengan keyakinannya, keimanannya dan juga Tuhannya. Seperti itulah sikap hidup lelaki itu yang saya sendiri tidak pernah mampu menjamin bahwa saya akan dapat memilikinya meski telah saya keruk makna kekotapelajaran Jogja tercinta ini.


Yogyakarta, 01-01-2011.

Rabu, 13 Januari 2010

Veblen dan Manusia Pemangsa

Hukum Keadilan; Pesta Pora Para Pemangsa!
Salman Rusydie Anwar

Dengan penuh nekat, saya mencoba mengutip pernyataan Thorstein Veblen sebagaimana dikutip Albert Einstein dalam salah satu artikelnya yang berjudul Why Socialism? untuk ikut nimbrung berbicara mengenai temuan aparat penegak keadilan berkenaan dengan adanya fasilitas mewah yang diberikan untuk beberapa tahanan elite di Rumah Tahanan Jakarta beberapa hari yang lalu.
Veblen mengeluarkan sebuah istilah yang saya rasa cocok untuk menyebut perilaku beberapa aparat penegak hukum di negeri kita tercinta ini. Dia menyebut tentang istilah “fase pemangsa” dalam setiap perkembangan sejarah manusia.
Jika di dalam sejarah kehidupan manusia memang benar-benar ada situasi tertentu yang dapat menyebabkan manusia memasuki “fasenya (sebagai) pemangsa”, maka ada tiga pertanyaan yang harus kita kemukakan untuk itu. Pertama, apa bentuk situasi yang memungkinkan seseorang bisa benar-benar menjadi pemangsa. Kedua, siapa saja atau biasanya dari kalangan mana saja manusia yang memiliki tipologi sebagai pemangsa. Ketiga siapa saja yang biasanya sering dijadikan objek mangsaan oleh manusia-manusia pemangsa itu?
Meski istilah “fase pemangsa” yang dikemukakan Veblen waktu itu lebih diorientasikan untuk mencermati perilaku ekonomi bangsa Eropa, akan tetapi di negeri kita tampaknya istilah tersebut akan lebih cocok digunakan untuk menyebut perilaku para penegak hukum. Sebab, tidak mungkin menggunakan istilah itu untuk masalah ekonomi karena persoalan ekonomi negeri kita masih berada pada taraf Wallahu A’lam, atau hanya Tuhan yang Maha Tahu apakah kita kelak akan benar-benar menjadi Macan Asia atau sekadar mangsanya Macan Asia.
Tetapi kalau untuk hukum, kayaknya sangat mungkin. Karena di dalam persoalan yang satu ini sudah tidak ada lagi taraf-taraf Wallahu A’lam. Artinya, Tuhan sudah benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya hukum keadilan ditegakkan di negara kita ini. Bahkan sangat mungkin tidak hanya Tuhan yang tahu. Malaikat, jin, setan, kuntilanak, demit dan kalong wewe sudah mafhum soal hukum Indonesia sampai ke akar-akarnya.
Dalam persoalan hukum, sejak dulu bangsa kita sepertinya memang terbiasa menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan para aparat penegaknya berubah total dari manusia penyantun menjadi manusia pemangsa. Salah satu caranya dimulai dari unit-unit yang paling kecil. Sebut saja dalam aparat kelurahan. Kalau Anda hendak membuat KTP, maka terlebih dahulu kuatkan kesabaran hati Anda untuk mendengar macam-macam instruksi penuh ribet.
“Maaf, Mas. Anda harus menghubungi ini dulu. Lalu ke itu. Sesudahnya ke sono. Terus ke situ. Baru kemudian ke sini. Dan terakhir Anda harus melunasi pembiayaan sebesar ini. Dan tunggu dua bulan, baru KTP Anda bisa diambil. Tapi kalau mau lebih cepat, biayanya harus sebesar ini dan KTP sudah bisa diambil besok pagi. Habis subuh pun tidak apa-apa.”
Saya tidak tahu, apa tanggapan Anda mengenai situasi-situasi macam itu yang membuat Anda rela dimangsa oleh mereka demi selembar surat KTP. Logikanya, jika pada unit negara yang terkecil saja urusannya sampai berbelit-belit seperti itu, entah bagaimana jadinya jika ada ketentuan bahwa setiap KTP harus ditanda tangani oleh Bupati, Gubernur atau bahkan Presiden. Mungkin Anda lebih memilih masuk surga cepat-cepat dari pada dilempar kesana-kemari demi KTP.
Entah mungkin karena terbiasa hidup di dalam situasi semacam itu atau memang lahir dengan gen sebagai manusia pemangsa (the man of predator), orang-orang yang ditugasi rakyat untuk mengurus segala kepentingan dan keperluannya tiba-tiba saja berlagak layaknya seorang jenderal yang sedang menghadapi prajurit bawahannya. Mereka berani dan seenaknya tunjuk sana-sini kepada rakyat yang telah memilih dan menggajinya hingga seakan-akan negara ini merupakan warisan nenek moyangnya. Padahal, jabatan mereka baru setingkat sekretaris desa, namun sikapnya seakan melebihi sekretaris negara Adi Kuasa.
Maka di sinilah letak problem yang sesungguhnya. Aparat hukum kita tidak benar-benar meletakkan diri dan posisinya sebagai pengayom rakyat yang harus diperlakukan mereka dengan adil. Mereka justru lebih senang memposisikan diri mereka sebagai pemangsa kedaulatan rakyat. Ada kebanggaan tersendiri ketika rakyat begitu patuh pada instruksi-instruksinya sehingga dia dapat menghayalkan diri menjadi seorang raja yang sedang memberi titah.
Dan ironisnya, lagi-lagi rakyat yang harus dijadikan mangsa oleh mereka. Rakyat tidak hanya dimangsa hartanya lewat kewajiban membayar pajak, yang kelak pajak ini justru digunakan untuk menggaji mereka. Tetapi rakyat juga dimangsa kedaulatannya sebagai entitas utama dalam negara. Rakyat yang seharusnya menjadi raja, malah dirubah menjadi jongos karena praktek pemangsaan itu. Rakyat yang sejatinya dilayani, malah disuruh melayani karena berlakunya tradisi pemangsaan itu. Akibatnya, muncullah ketimpangan-ketimpangan lintas sektoral yang pemecahannya barangkali baru bisa dilakukan setelah terjadinya kiamat, yang menurut orang-orang Suku Maya akan terjadi pada tahun 2012 nanti.
Namun rakyat ternyata berbeda-beda. Ada rakyat yang berkulit hitam, kurus, bemata cekung dengan tulang pipi bertonjolan layaknya penderita busung lapar. Dan ada juga rakyat yang berkulit putih, gemuk, berwajah mulus dan terawat seperti halnya para artis-artis Hollywood. Karena rakyat berbeda-beda, maka tentu saja perlakuan hukum untuk mereka harus berbeda-beda pula. Sebab, perbedaan itu kan harus selalu diupayakan agar menjadi rahmat. Dan tidak akan ada rahmat kalau tidak menghargai perbedaan.
Idiom ini ternyata sangat dipegang kuat-kuat oleh aparat penegak hukum- keadilan di negeri ini. Kalau ada dua orang yang melakukan kejahatan dan lalu keduanya ditahan, maka hukum untuk keduanya baru bisa diputuskan kalau sudah diketahui perbedaan diantara keduanya. Standar yang digunakan untuk bisa mengetahui perbedaan diantara dua pelaku kejahatan itu antara lain: (1) siapa diantara keduanya yang termasuk orang terpandang, (2) siapa diantara keduanya yang memiliki kekayaan lebih, (3) siapa diantara keduanya yang paling berani memberi “rahmat” berupa insentif khusus kepada para penegak hukum agar mereka juga bisa mendapatkan tempat dan perlakukan istimewa selama berada dalam penahanan.
Jika sudah diketahui kelebihan-kelebihan salah satu dari kedua tahanan itu, maka para aparat pun hanya tinggal berkata, “Bayarlah dengan harga istimewa. Maka kaupun akan mendapatkan fasilitas yang serupa.”
Veblen barangkali benar dalam satu sisi tentang adanya “fase pemangsa” pada diri manusia, baik ia sebagai pelaku ekonomi atau sebagai pelaku hukum. Tetapi tentu saja dia akan salah jika mau menyebut penegak hukum di Indonesia sebagai “manusia pemangsa” terhadap klien-kliennya, terutama yang terpandang atau kaya. Sebab penegak hukum kita tidak kenal istilah pemangsa, melainkan sekadar tukar menukar “rahmat” dengan para narapidana.
“Tuh, kan! Apa gue bilang.”


Jawa Tengah, 12 Januari 2010

Sajak Seorang Pelarian dari Porong

Sajak Seorang Pelarian dari Porong

dengan memanggul nasib hari depan yang terus berkabung
ia berlari, menghindari uap busuk tanah kelahiran sendiri
tak dihiraukan kerikil-kerikil tajam
yang mengalirkan ngilu dari telapak kaki
hingga jantungnya
jalan-jalan begitu lengang
menyembunyikan kicau burung yang pernah ada bersama masa lalunya di sana
sesekali ia menatap langit
berharap tuhan dapat dijumpainya di antara gugusan awan yang putih
namun rasa malu menyergapnya tiba-tiba
bukankah sudah lama ia tak menyembah
lantaran altarnya tenggelam bersama lumpur tetanah?
waktu melempar teka-teki bagi seonggok kepalanya yang limbung
dan ia kerap tak menemukan jawab
sampai kapan keadaan terus memaksanya melihat kehancuran demi kehancuran
sejengkal tanah yang pernah ia banggakan telah musnah
menguapkan kenangan dan mimpi-mimpi yang masih belum lengkap ia anyam
ah, rasa putus asa seperti tak mau menghindar dari depan matanya
ia lihat orang-orang di sekitar pun sudah mulai terbiasa dengan nyeri
dengan darah, yang terus mengucur menaburkan bau amis bagi nasib masa depannya
ia pun lupa tentang nama kekasih yang lama dirindukan
setiap orang-orang yang dicintainya telah pergi
mengungsikan sedikit harapan di antara rasa cemas yang terus menguntit sampai tepi-tepi jalan

Porong 12 Mei 2008

Apa Pandanganmu Tentang Rakyat?

Rakyat; Kunci Penyelamat Bangsa

Di suatu malam yang lengang, penulis dan beberapa orang teman lainnya terlibat dalam sebuah obrolan sederhana dengan seorang budayawan kondang asal Madura, D. Zawawi Imron, di salah satu sudut kota Jogja. Malam itu tepat malam Minggu. Sebuah momentum yang bagi kalangan muda-mudi merupakan saat yang tepat memadu sublimitas psikologi dari sesuatu yang disebut cinta dan kasih sayang.
Budayawan yang dikenal dengan julukan “Si Celurit Emas” itu pun memulai pembicaraan dari masalah-masalah krusial yang sedang dihadapi bangsa akhir-akhir ini. Terutama sekali mengenai masalah ekonomi, politik sampai kepada masalah-masalah agama. Kedekatan emosional Pak De, begitu kami memanggilnya, dengan beberapa kalangan rakyat membuat pembicaraan kami sedemikian hangat dan bersahaja.
Namun, di antara sekian pembicaraan itu tanpaknya ada beberapa persoalan yang barangkali patut kita renungkan bersama, baik dalam kapasitas kita sebagai pribadi, bagian dari kehidupan keluarga dan masyarakat maupun dalam konteks yang lebih universal, yaitu sebagai bagian dari bangsa itu sendiri. Semuanya adalah sebuah refleksi yang kira-kira masih berguna di tengah-tengah ketegangan masyarakat menghadapi peliknya masalah bangsa.
Beberapa renungan yang bisa diketengahkan dalam kesempatan ini di antaranya adalah: Pertama, sampai detik ini, rakyat masih memiliki potensi vital sebagai pihak yang memegang kunci penentu dari selamat tidaknya bangsa ini. Tentu saja rakyat yang kita maksudkan adalah mereka yang berdiam di komunitas termarginalkan dalam segala kontestasi dan konstelasi keberadaan bangsa.
Pengingkaran terhadap rakyat dalam bidang politik dan ekonomi tidak lain adalah pengingkaran terhadap kedaulatan itu sendiri. Sebab, teori demokrasi manapun yang belum terkontaminasi secara akut oleh sekian kepentingan yang bersifat sementara dan parsial selalu saja menegaskan bahwa rakyatlah pemegang utuh kedaulatan.
Sebagai pemegang utuh kedaulatan dalam suatu negara, maka sangat tidak rasional ketika pemimpin yang dipilih, ditugasi dan dibayar oleh rakyat justeru melakukan tindakan agitatif yang mencerminkan arogansi dan sifat lupa diri mereka terhadap rakyat yang memberikan kepercayaan kepadanya. Dan inilah yang sedang terjadi di negara kita sekarang ini.
Kita cenderung membiarkan masyarakat terlunta-lunta di atas garis ketidakmenentuan nasib yang sebelumnya mereka pasrahkan kepada wakil-wakil mereka di pemerintahan. Sementara para wakil mereka dengan begitu gagahnya melakukan akrobat kehidupan dengan memikirkan kepentingan sendiri melalui cara-cara licik dan mengatasnamakan rakyat. Rakyat dengan sendirinya menjadi dempul dari membengkaknya ambisi dan kelicikan pemimpin-pemimpin mereka.
Kedua, lalu bagaimana dengan peran agama? Bukankah terlalu sering kita menyatakan diri sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia? Apakah yang dimaksud “terbesar” itu hanyalah bagian dari kuantitas dan belum sama sekali menyentuh bagian kualitasnya? Dan apa maksud dari kata-kata muslim di atas? Inilah pertanyaan-pertanyaan reflektif yang dilemparkan Zawawi.
Sekian pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya bisa kita temukan jawabannya di kedalaman kalbu kita sendiri-sendiri. Yang paling urgen; adakah korelasi positif antara kemusliman dan ketaatan kita kepada Tuhan dengan proyeksi sosial terutama menyangkut masalah-masalah kemiskinan dan kebodohan misalnya. Tidak sedikit orang yang mengerti agama, terlebih mereka yang sudah “terlanjur” diangkat menjadi pemimpin. Akan tetapi mengapa pengetahuan mereka terhadap agama tak berimplikasi positif bagi upaya pemberantasan kemiskinan dan malah sebaliknya makin menindas-menyengsarakan.
Inilah yang kita khawatirkan. Agama yang kita aktualisasikan adalah bentuk formalisasi semata. Kita mengaku diri sebagai umat beragama karena secara “politis” negara ini menyatakan sebagai negara theistik dan kita takut untuk disebut sebagai orang yang tak bertuhan (atheis). Jika memang demikian, maka tidak heran kalau perilaku “umat yang mengaku beragama” itu sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai agama itu sendiri.
Di lain hal, mungkin saja sedang terjadi tindakan-tindakan yang menjurus kepada pengkhianatan agama. Hubungannya dengan masalah kemiskinan misalnya, agama (dalam hal ini islam) dengan terang-terangan mencirikan siapa saja orang-orang yang disebut sebagai pendusta agama. Dalam surah Al-Maun ayat 1-3 Allah berfirman bahwa orang-orang yang mendustai agama adalah mereka yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin serta di lain hal adalah mereka yang lalai dalam mengerjakan shalat (ibadah)nya.
Kemiskinan yang hampir menjadi ciri warga negara Indonesia dewasa ini jelas tidak bisa kita baca sebagai sesuatu yang mutlak bahwa itu adalah benar-benar “takdir” dari-Nya. Akan tetapi sangat terbuka kemungkinan bahwa miskinnya rakyat Indonesia tidak lain adalah representasi dari tindakan pendustaan agama itu sendiri.
Kekayaan yang dimiliki bangsa ini hanya menumpuk dan berputar di kalangan orang-orang kaya serta terus dikebiri hasilnya oleh para pemimpin yang kebijakan-kebijakannya terkadang bersifat manipulatif. Belum lagi dengan semakin beraninya sebagian masyarakat melakukan penimbunan-penimbunan, entah beras, kedelai, maupun BBM, di saat saudara sesama rakyat lainnya sedang menderita kekurangan.
Melihat kenyataan ini, tidak heran kalau pemuda terjenius dari Arab, Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa, “Tidak akan terjadi kemiskinan kalau orang kaya tidak rakus.” Dalam terminologi ekonomi, siapa yang kaya dan siapa yang miskin sungguh sangat jelas bentuknya. Sementara dalam terminologi politik, orang yang kaya tidak lain adalah mereka yang berpeluang besar menikmati kekayaan melalui jabatan politisnya, sementara orang miskin adalah lagi-lagi rakyat kecil sebagai pemegang kedaulatan yang sayangnya selalu tertindas.
Maka dari itu, semuanya saat ini berpulang kepada diri kita sendiri. Apakah kita akan terus-menerus mengkhianati agama dengan cara menindas rakyat miskin, baik secara ekonomi-politik dan budaya. Atau sebaliknya kita akan belajar menata hati, pikiran, kesadaran dan tindakan kita dari kecarut-marutan menjadi kecerahan yang benderang? Itulah pertanyaan reflektif D. Zawawi Imron untuk kita semua yang sekaligus menutup obrolan kami malam itu. Pertanyaan itu memerlukan jawaban yang benar-benar dapat memenuhi impian dan harapan bangsa Indonesia di masa depan. Sebagai sebuah impian, tentu saja ini adalah impian yang cukup manis, bukan?

Yogyakarta 20 Agustus 2008









Harga Mahal Untuk Sebuah Kesungguhan


Mahalnya Kesungguhan
Salman Rusydie Anwar

Beberapa tempo waktu yang lalu, seorang kawan memberitahu saya tentang adanya pemilihan lurah di sebuah tempat. Tetapi dia tidak hanya berhenti pada sebatas pemberitahuan itu, melainkan juga mengajak saya untuk memberikan suara terhadap siapa kira-kira orang yang akan saya dukung pada pemilihan tersebut.
“Saya ini dari sebuah lembaga survei independen yang akan menjamin kerahasiaan suara dukungan Anda,” katanya dalam sebuah ponsel genggam, “Jadi, santai saja, Bro. Semuanya aman dan terjamin,” lanjutnya meyakinkan.
Saya kemudian buru-buru mengonfirmasi kawan yang lain untuk menanyakan siapa saja orang yang ikut dalam kompetisi pemilihan lurah itu. Dan setelah mendapatkan jawaban, saya langsung melakukan identifikasi terhadap kontestan yang ternyata jumlahnya hanya dua orang itu.
Dalam hati saya berjanji, bahwa dalam melakukan identifikasi itu saya akan mempraktekkan ilmu katuranggan, yaitu metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan dan menggambarkan pola-pola watak dari kedua kontestan tersebut. Sebenarnya saya tidak yakin akan bisa mempraktekkan ilmu ini dengan benar sebagaimana para begawan masa lalu. Namun saya tetap ngotot untuk melakukannya.
Dan akhirnya, di tengah-tengah kesibukan melakukan identifikasi semacam itu, saya kemudian teringat dengan dua pujangga dan begawan besar dari abad lalu yang berbeda, yaitu Syekh Ali Syamsu Zen dan Ronggowarsito. Meski masa hidup kedua manusia besar nusantara ini berlainan waktu, tetapi pandangan keduanya terhadap masalah kepemimpinan nampaknya tidak jauh berbeda. Keduanya membuat parameter khusus bahwa siapa saja yang hendak diangkat menjadi pemimpin, maka faktor pertama yang harus diperhatikan adalah adanya kualitas Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu bagi para calon pemimpin tersebut.
Setelah mengingat semuanya saya juga mencoba mengingat-ngingat lagi dua kontestan yang hendak maju menjadi lurah itu. Saya menjadikan kenangan kebersamaan saya bersama keduanya beberapa tahun yang lalu sebagai jalan untuk mengenali lebih dalam watak keduanya dan mencoba menemukan apakah pada diri mereka berdua terdapat kualitas Satrio atau tidak.
Kualitas Satrio tidak lain adalah bahwa seorang pemimpin haruslah cakap, ulet, memiliki naluri sebagai seorang pejuang, profesional, menguasai masalah serta mampu mencarikan solusi atas persoalan yang ada. Tentang kualitas ini, saya yakin bahwa dua kawan saya yang menjadi kontestan untuk menduduki kursi lurah itu sudah memilikinya. Mereka adalah kaum terpelajar dan juga intelektual dimana karya-karya mereka (sebagai salah satu bukti keintelektualannya) sudah banyak menghiasi media massa. Saya lega. Ilmu katuranggan saya nampaknya berhasil dipraktekkan.
Tapi memegang kualitas Satrio saja tidak cukup karena sebenarnya masih ada kualitas yang lebih tinggi dari kualitas itu. Yakni kualitas Pinandhito. Kualitas ini mencerminkan bahwa seorang pemimpin harus tidak terpesona dengan kedudukan, harta dan popularitas, konsep serta filosofi hidupnya matang-mendalam, memiliki wisdom, mampu bersikap arif dan adil dalam menjalani kehidupan yang nyata, berkadar pemimpin rohani atau menurut istilah intelektual mereka adalah spiritually grounded.
Tentang kualitas yang satu ini tentu saya tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk berbicara lebih jauh. Yang berhak untuk mengetahui apakah pada kedua calon lurah itu terdapat kualitas Pinandhito atau tidak adalah diri mereka sendiri. Terutama mereka harus jujur apakah selama ini dalam dirinya terdapat keterpesonaan pada kedudukan, harta dan popularitas atau tidak sama sekali.
Tetapi saya berani mengatakan bahwa mungkin saja dua kontestan lurah itu tidak akan terpesona pada harta, kedudukan dan popularitas yang ada dalam jabatan lurah yang ditawarkan kepada mereka. Bagaimana mungkin mereka akan berpikir ke arah sana, lha wong mereka tidak akan digaji kok. Mereka hanya diminta untuk mengurus suatu komunitas “masyarakat” dengan ilmu, pengorbanan dan perjuangan mereka tanpa ada imbalan apa-apa. Keterpesonaan itu barangkali akan muncul jika mereka ditawari untuk menduduki posisi yang lebih bergengsi dari sekadar lurah.
“Coba saja nanti kita tanya pada keduanya,” pikir saya.
Saya pun beranjak pada identifikasi berikutnya bahwa kualitas Satrio Pinandhito masih belum lengkap tanpa kualitas lainnya, yaitu kualitas Sinisihan Wahyu. Prinsip kualitas ini sangatlah berat karena harus ada kejelasan apakah para kontestan yang “bertarung” dan para pemilih yang hendak memberikan suaranya sudah sesuai dengan kehendak Yang Di Atas. Artinya, dalam pemilihan itu harus tampak indikator bahwa Tuhan ikut berperan aktif dalam jalannya pemilihan. Sayang saya tidak bisa mengikuti pemilihan itu sehingga saya tidak tahu apakah kualitas ini berlangsung atau tidak dalam pemilihan itu.
“Lalu kenapa harus ada kualitas Sinisihan Wahyu. Kenapa harus ada indikator bahwa Tuhan harus dilibatkan dalam pemilihan itu?” terdengar hati saya bertanya-tanya.
Saya berpikir dan berusaha menemukan alasannya hingga kemudian saya temukan jawabannya. Jika Tuhan berperan aktif dalam jalannya suatu pemilihan dan bahkan Ia juga turut berbuat dengan cara diarahkannya pikiran serta tenaga para pemilih untuk memilih satu dari kedua kontestan, maka hasil pilihan itu kemungkinan besar pasti benar dan mutlak tidak bisa dikalahkan.
“Apa benar begitu sih?” saya tiba-tiba dihinggapi keraguan atas alasan dan jawaban dari pertanyaan saya sendiri.
Tetapi puji Tuhan! Saya akhirnya ingat sesuatu. Tiga hari sebelum pemilihan itu berlangsung, salah satu kontestan lurah ber SMS-an dengan saya. Dia bertanya dalam SMS-nya kepada saya setelah ngobrol panjang lebar sebelumnya seputar dirinya yang dicalonkan menjadi lurah
“Bagaimana mengetahui bahwa Tuhan berkehendak atas diri saya dalam pencalonan untuk menjadi lurah?” tanyanya waktu itu. Dan saya hanya menjawab begini:
“Sederhananya dapat diketahui melalui ketentuan dan keputusan orang lain atas diri kita. Prinsipnya, sebagaimana dalam ushul fiqh adalah Maa roaahul muslimiina hasanan, fahuwa ‘indallahi hasanun.”
Tetapi apakah hasil pemilihan lurah ini memang benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan, itu akan bisa dilihat dari kesungguhan lurah terpilih dalam berjuang dan juga dari kejujuran sikap para pemilihnya untuk tidak berkhianat. Kenapa demikian? Sebab biasanya warga di daerah situ hanya senang memilih lurah dengan beradu alasan-alasan ilmiah. Tetapi setelah lurahnya terpilih, mereka enggan mematuhi peraturan yang dibuat si lurah dan bahkan menentangnya. Padahal, mereka sendiri yang memilihnya. Ini kan pengkhianatan namanya!

Pesantren Hasyim Asy’arie

Aku, Iqbal dan Konsepsi-Konsepsi Soal Tuhan?

Pergulatan Panjang Menuju Tuhan
Salman Rusydie Anwar*

Bagi sebagian masyarakat yang sudah merasa bahwa pemahaman merekaselama ini tentang konsep “Tuhan” sudah mapan, barangkali judul tulisan di atas terkesan sangat dan terlalu janggal. Bagaimana mungkin mereposisi (memposisikan kembali) keberadaan Tuhan jika selama ini sudah jelas bahwa Tuhan adalah Dzat yang harus diyakini keberadaannya serta sekaligus harus disembah oleh mereka yang meyakininya.
Dalam konteks pergumulan teologis, persepsi (pandangan) manusia mengenai Tuhan telah melahirkan berbagai ketegangan intelektual –dan bahkan tidak jarang menimbulkan berbagai goncangan serta benturan-benturan sosial. Sejarah mencatat bahwa perdebatan panjang mengenai eksistensi Tuhan telah memicu munculnya firqah-firqah di kalangan umat manusia, terutama umat Islam, seperti hal munculnya faham-faham Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Syi’i, Sunni dan sebagainya.
Munculnya aliran-aliran kalam tersebut pada dasarnya dipicu oleh satu faktor yang sangat urgen dan sekaligus sensitif; yaitu tentang masalah Tuhan. Dengan kata lain eksistensi Tuhan telah menjadi objek pemikiran, pengkajian dan penelitian yang dari sana kemudian bermunculan rumusan keilmuan mengenai ketuhanan, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu teologi, ilmu teosofi dan semacamnya.
Pertanyaannya kemudian adalah: dalam konteks kehidupan kita saat ini, pada wilayah apa saja Tuhan itu boleh dipikirkan, dikaji dan diteliti?
Pertanyaan di atas, bagi sebagian orang, mungkin akan membawa pada munculnya berbagai spekulasi teologis atau ketersinggungan keyakinan. Sebab selama ini sudah pakem dipegang adanya sebuah ajaran yang menyatakan bahwa memikirkan Tuhan adalah sesuatu yang terlarang meski di samping itu masih juga terdapat sebuah apologi sufistik yang menyatakan bahwa ‘araftu Robby bi Robby (Tuhan dapat diketahui melalui kesediaan Tuhan memperkenalkan diri-Nya sendiri).
Namun bagaimanapun spekulasi itu, jika keberadaannya masih bersifat pasif, maka selamanya tidak akan memberi tambahan wawasan apa pun selain hanya kepercayaan dan keimanan statis yang ujung-ujungnya akan tetap berpuncak pada kuatnya klaim kebenaran (truth claim) di antara umat. Meski demikian, pertanyaan yang masih tersisa untuk kita jawab sekarang ini adalah; masih perlukah memikirkan Tuhan jika keberadaannya tetap selalu menjadi misteri? Jika harus dipikirkan, bagian mana dari keberadaan Tuhan yang harus dipikirkan: Dzatnya, Sifatnya, Sikapnya, atau apa?
A. Chaliq Muchtar di dalam jurnal Esensia Vol.3, No.2, Juli 2002 pernah menulis sebuah artikel cukup memikat, “Membumikan Tuhan?.” Istilah “membumikan” ini sebenarnya merupakan istilah yang diadaptasi Muchtar dari dua karya tokoh ulama sebelumnya, yaitu Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Membumikan Islam). Menurut pendapat penulis, istilah “Membumikan Tuhan” barangkali mengandung sebuah isyarat, bahwa Tuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang membumi untuk dapat dimengerti.
Hal ini cukup rasional mengingat selama ini persepsi, konsepsi dan keyakinan sebagian umat beragama terhadap eksistensi Tuhan masih terlalu menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Bahkan, perdebatan panjang seputar masalah ketuhanan kerap menyebabkan terjadinya peperangan yang begitu tragis meskipun akhir dari semua perdebatan itu tetap tidak kunjung menemukan kesimpulan yang benar-benar pasti mengenai siapa dan bagaimana Tuhan itu yang sebenarnya. Lain kata, Tuhan akan tetap dipahami sesuai dengan keyakinan masing-masing umat yang menyembahnya.
Salah satu upaya mengakhiri perdebatan dan pertengkaran panjang umat manusia dalam memahami konsep Tuhan barangkali bisa dilakukan dengan “menempatkan” Tuhan sebagai sesuatu yang membumi. Tuhan tidak harus melulu dibayangkan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Untuk kepentingan manusia, Tuhan harus diyakini terlibat secara aktif di muka bumi ini dan hal itu hanya dapat terwujud dengan kemampuan manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran-Nya dalam setiap kegiatan dan aktifitas sejarah manusia di atas bumi ini.
Sepanjang sejarah, upaya manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran Tuhan telah melahirkan banyak pemikiran-pemikiran berharga yang perlu kita pelajari. Dalam tulisan ini, penulis hendak menghadirkan pemikiran seorang tokoh filsafat dan sastrawan besar muslim kelahiran India, yaitu Sir Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal (1873-1938) adalah seorang penyair dan filosof muslim yang berasal dari India. Ia dilahirkan di Sialkot, Punjab, pada tanggal 22 Februari 1873. Pendidikan dasar dan menengah didapatkannya di daerah kelahirannya itu. Pada tahun 1895 ia pindah ke Lahore untuk belajar di perguruan tinggi dan pada tahun 1905 ia melanjutkan studinya ke Eropa dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Munich. Gelar doktor lainnya terutama di bidang kesusasteraan didapatnya dari Universitas Punjab pada tahun 1935. Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslimin. Karena pada periode ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, maka oleh para pendukung negara Pakistan, ia dianggap sebagai pemimpin mereka.
Secara keseluruhan, konsepsi Iqbal tentang Tuhan terbagi ke dalam tiga pemahaman. Pertama, oleh Iqbal Tuhan diyakini sebagai suatu “Keindahan Abadi yang ada tanpa tergantung pada –dan mendahului- segala sesuatu selain diri-Nya, dan karena itu Tuhan menampakkan diri dalam semuanya.” Selain itu, Iqbal juga menyatakan bahwa Tuhan adalah penyebab gerak segala sesuatu. Sementara seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan, semuanya adalah fana.
Konsep kedua Iqbal mengenai Tuhan lebih bersifat filosofis. Hal ini disebabkan karena dalam membuat konsep tersebut Iqbal mempergunakan filsafatnya tentang pribadi (philosophy of the self) sebagai salah satu metode pemahamannya. Iqbal berpendapat bahwa Tuhan adalah “Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi dan suatu Kemauan Abadi yang Esa.”
Dengan pemahaman ini, Iqbal mengatakan bahwa Tuhan tidak menyatakan atau melibatkan dirinya di dalam dunia yang terinderai atau dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh. Sebab, dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh ini sebenarnya merupakan hasil ciptaan dari pribadi terbatas manusia atau merupakan bentukan dari hasrat-hasrat manusia meskipun hal ini tidak berarti bahwa dunia merupakan ciptaan dari manusia.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Tuhan merupakan Pribadi Mutlak dan Ego Tertinggi yang keberadaan-Nya melampaui keberadaan manusia sebagai makhluk yang juga termasuk ‘pribadi’ (namun terbatas/tidak mutlak). Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, usaha manusia untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dapat dilakukan melalui pribadi manusia itu sendiri dengan cara menyerap (memasukkan, menghayati, menghadirkan) Tuhan ke dalam diri pribadi kita, bukan sebaliknya dengan membiarkan pribadi kita terserap ke dalam Tuhan hingga tiada (fana).
Konsep Iqbal ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan (terutama mengenai masalah fana) yang diberikan oleh tokoh-tokoh lain, seperti Al-Hallaj, Rumi, Sa’di dan beberapa ulama sufistik lainnya. Jika para sufistik ini membuat konsep bahwa untuk menemukan Tuhan, maka seseorang harus meleburkan diri ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada atau fana, maka Iqbal berkata sebaliknya bahwa Tuhan sebagai Pribadi Mutlaklah yang harus kita masukkan atau kita leburkan ke dalam pribadi kita.
Konsep ketuhanan Iqbal yang ketiga adalah berupa “penggambaran” Iqbal bahwa Tuhan merupakan suatu Ego Maha Kreatif yang terarah secara rasional. Mengenai kreativitas Tuhan, Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dalam sebuah pabrik dimana hasil penciptaan itu berdiri secara independen dan terlepas dari penciptanya.
Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, karena keberadaan alam yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti yang kesemuanya tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan.
Untuk menegaskan pendapatnya ini, Iqbal menggunakan analogi paham Asy’ari mengenai keberadaan atom. Paham teologi Asy'ari menyatakan bahwa kelanjutan sebuah atom ditentukan oleh terjadinya aksiden-aksiden yang terjadi secara terus menerus di dalam atom itu sendiri. Dalam hal ini Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam paham teologi Asy'ari mengenai masalah penciptaan atom ini. Akan tetapi ia mengubah konsep atomisme Asy'ari menjadi suatu paham pluralisme rohaniah. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego, dan segala macam ego yang ada di dunia ini adalah merupakan pewedaran atau perwujudan diri dari Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta.
Demikianlah beberapa konsep mengenai ketuhanan, salah satunya menurut Iqbal. Tentu konsep ini bukan satu-satunya konsep yang paling benar karena memang tidak ada satupun konsep di dunia ini yang benar-benar mampu menjelaskan tentang Tuhan dengan pasti. Namun pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang-Nya tetap menjadi dinamika ilmu pengetahuan yang selalu menarik untuk diminati dan dinikmati. Wallahu A’lam bi al-Showab!



Cilacap, 30 Desember 2009

Ini Soal Perihal Kualitas


Perihal Kualitas

Dalam sebuah pertemuan yang tak terduga, saya berjumpa dengan seseorang yang diam-diam sudah lama saya mengaguminya. Orang yang satu ini super sederhana dalam penampilan namun ia open (telaten) terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Tak hanya itu, ia juga memiliki sifat ngemong, penuh perhatian, suka menghibur orang lain dengan tindakan dan kata-katanya, meski yang terakhir ini kerap disalahartikan sebagai kekonyolan dan karena itu membuat orang lain berani meremehkannya.
Saya tahu kalau orang yang saya jumpai itu memegang peranan penting dalam sebuah “organisasi”. Atau setidaknya ia adalah pengurus dalam sebuah organisasi tertentu yang anggotanya justru terdiri dari manusia-manusia sukar diurus. Tetapi kondisi yang demikian sepertinya tidak mempengaruhi i’tikad baik makhluk Tuhan yang saya temui itu. Ia terus berkonsentrasi kepada tugasnya, menjalankan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk menjadi tanggung jawab beliau, serta tidak jera mengingatkan, memotivasi dan memperjuangkan kemajuan-kemajuan anggota organisasi sekuat tenaga dan kemampuannya.
“Rajin-rajinlah bertandang ke tempat saya,” ucapnya ketika itu. “Saya masih memerlukan banyak bantuan. Anda tahu sendiri kan, keadaan saya seperti ini. Dibanding yang lain, saya kalah berkualitas.”
Ia begitu serius mengatakan hal itu sehingga saya menjadi semakin kagum saja atas perkataan yang mencerminkan kerendahhatiannya itu. Saya mengerti betul apa muatan di balik kata-kata yang ia ucapkan. Ia merasa kurang berkualitas dibanding anggota organisasi lainnya karena barangkali selama ini ia sering diremehkan, diabaikan, tidak diacuhkan dan disepelekan. Ia menjadi “objek hinaan” yang secara tidak langsung dilakukan oleh anggota organisasisnya lewat tindakan-tindakan mereka seperti yang telah saya sebutkan.
Namun anehnya, ia tetap survive. Senyumnya tak berkurang sedikitpun meski hampir tiap hari ia mendapatkan perlakuan-perlakuan seperti di atas. Berkali-kali ia diabaikan, namun berkali-kali pula ia memberikan perhatian. Saya pun menemukan peluang untuk sekadar cawi-cawi ngomong dan tentu saja sekenanya.
Kepada orang itu saya katakan bahwa berkualitas-tidaknya seseorang tidak harus terus-terusan diukur dengan kepandaian akal dan nalar. Orang yang bisa ngomong ilmu politik, ekonomi, sosial, budaya dengan cukup memikat bisa saja berkualitas dalam satu sisi, namun pada sisi yang lain ia tidak lebih dari pada si dungu yang tersesat. Ilmu politik, ekonomi, sosial dan budaya pada akhirnya akan dituntut untuk menjadi ilmu yang sanggup mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik. Justru akan menjadi lacur jika ilmu-ilmu itu hanya terkesan begitu mencerahkan ketika diulas di koran namun penulisnya kebingungan mencermati langkahnya sendiri. Yang bisa ia tahu hanyalah kebanggaan-kebanggaan semu bahwa ia sudah resmi dianggap menjadi penulis dengan satu dua tulisan.
Jadi kepada orang itu saya katakan bahwa tidak usah malu disebut orang yang tidak berkualitas jika kualitas itu hanya diukur dengan variabel-variabel akal-nalar seperti yang saya sebutkan. Kualitas itu adalah salah satu jenis kebenaran. Dan kebenaran itu sendiri terlalu besar untuk dikuasai oleh hanya satu orang, satu organisasi dan lain sebagainya.
Berkualitas itu bisa jadi berupa sikap yang ditunjukkan oleh orang yang saya jumpai itu. Ia jalankan amanah yang dibebankan kepadanya dengan ramah, santun, penuh perhatian dan suka menghibur.
Saya juga tegaskan bahwa melaksanakan tugas yang diamanahkan orang lain dengan baik bisa saja menjadi tanda dari berkualitasnya seseorang. Sebab hanya orang berkualitaslah yang mampu memanggul amanah di pundak mereka, kendati di kiri-kanannya banyak yang meremehkan dan menyepelekan.
Berusaha menaati ketentuan atau aturan yang sudah nyata memiliki nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menangkap hakikat yang tersirat di balik ketentuan-ketentuan itu.
Berusaha tidak menyepelekan dan meremehkan orang lain, meski mereka kelihatan lebih dungu dari diri kita sendiri, adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menerima dan menghargai siapa saja yang mereka jumpai dan hadapi.
Tidak sombong dengan kemampuan diri sendiri adalah sebagian dari tanda-tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu mengendalikan dirinya sendiri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Tidak terhitung berapa jumlah kalimat dan pernyataan yang saya keluarkan saat itu. Tapi yang jelas saya harus segera menghentikan pembicaraan karena saya khawatir ucapan dan kata-kata saya tidak lagi berkualitas untuk diperdengarkan. Di akhir pertemuan, saya bertanya pada diri sendiri:
“Kualitas manakah yang harus aku pilih? Nalar. Perbuatan. Atau sinergi antara keduanya?”
Pertanyaan yang dalam pendengaran Anda jauh lebih tidak berkualitas ini, mungkin hanya pantas dijawab dengan:
“Ya, embuh…!”



Paris, 23 Desember 2009

















Senin, 11 Januari 2010

Tidak! Jangan Sampai Bangsaku Hancur

Entah sudah beberapa kali Tuhan bermurah hati mblejeti kebusukan-kebusukan yang diagungkan oleh pemimpin bangsa ini sehingga rakyat dapat dengan mudah mengenal dan mempelajari bagaimana karakter pemimpin mereka.
Melalui temuan kasus demi kasus. Lewat terkuaknya aib demi aib serta terungkapnya konspirasi-konspirasi yang amat lancang kepada rakyat, Tuhan seakan ingin turun tangan sendiri dan mengajar langsung kedewasaan rakyat Indonesia agar mereka benar-benar mafhum bahwa bangsa yang mereka tempati sudah benar-benar diambang kehancuran.
Tidak ada kemalangan yang lebih besar melebihi adanya inisiatif Tuhan untuk mengurus sendiri problem-problem akut yang dialami suatu masyarakat dalam sebuah negara. Kalau Rasulullah Muhammad SAW masih hidup sampai saat ini, mungkin Tuhan tidak merasa perlu berbuat sampai sejauh itu. Mungkin Ia cukup memberi tahu kepada kekasih-Nya itu bahwa sedang ada pengkhianatan amanah dan selanjutnya ia serahkan bagaimana pemecahannya kepada beliau SAW.
Tetapi kemalangan yang terjadi di negeri ini sungguh luar biasa hebatnya. Tuhan sudah merasa sedemikian risih, bahkan mungkin geram dan sakit hati melihat perilaku pemimpin-pemimpin negeri ini yang tidak kunjung jera mengkhianati rakyatnya. Mereka terlalu asyik berdiam di balik gedung kekuasaan yang menyimpan benda-benda hasil rampokan harta rakyat.
Penyelewengan, penggelapan kewenangan, pengingkaran amanah dibiarkan terlalu aman di dalam sebuah negeri yang justru melarang-larang rakyatnya untuk tidak beragama dan tidak berketuhanan. Maka tidak usah heran jika kemudian Tuhan kuakkan bisul-bisul dan borok mereka di depan tempat umum. Dikuakkan pun belum tentu membuat mereka jera dan sadar. Sebab mereka terlalu pintar untuk merekayasa sebuah alasan dengan mengatakan bahwa bisul dan borok di tubuh mereka tidak lain adalah tato-tato bergambar kembang dan bunga-bunga.
Oleh sebab itu, saya tidak menyesal telah menulis kolom ini dengan judul di atas. Toh kalau mau dipikir-pikir bangsa ini rasanya memang sudah cukup syarat dan kualified untuk memasuki ranah kehancurannya. Seandainya kelak bangsa ini hancur sebelum waktunya, kita tetap harus bersyukur karena kahancuran itu bisa saja merupakan taktik dan cara Allah untuk membangun dan menata kembali negeri ini menjadi lebih baik. Tetapi sebelum kehancuran itu benar-benar terjadi, saya harap kita mau mencari tahu apa saja kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki negeri ini sehingga ia pantas dihancurkan.
Menurut rabaan saya (mohon maaf, saya masih diliputi kebodohan sehingga hanya mampu meraba-raba sesuatu daripada mengetahuinya secara obyektif), negeri ini sudah memiliki kualifikasi sampai tingkat tertentu yang barangkali menurut Tuhan harus secepatnya dirubah, entah dengan tangan-Nya atau melalui hamba-Nya yang masih soleh.
Pertama. Dari sudut pandang politik dan kekuasaan, bangsa ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa menyerahkan sebuah kewenangan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki prefesionalitas keilmuan untuk menjalankan kewenangan itu, akan menuai kehancuran. Idzaa wusida al-amru ilaa ghairii ahlihii fantadzir al-saa’ah- begitu kata Nabi.
Maka sungguh menggelikan ketika kita menyaksikan siapa saja yang nampang dalam barisan pemerintahan 2009-2014 yang baru dibentuk itu. Tidak ada kematangan berpikir dalam merumuskan dan menentukan siapa saja yang sebenarnya wajib dan patut diberi mandat. Semuanya hanya didasarkan pada upaya menjaga keamanan dan kekerabatan politis semata.
Dengan formasi seperti itu, kita tidak tahu hendak dibawa kemana negeri ini. Menuju kemajuan atau mengulang ketersendatan. Merancang perubahan atau menanti kehancuran. Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa mengelus dada sambil diam-diam mengajukan permintaan kepada Tuhan, “Ya Allah. Berilah pemimpin-pemimpin baru kami ilmu ladunni. Sebuah kecerdasan yang seketika itu langsung tertanam di dalam tempurung kepala mereka sehingga mereka benar-benar paham apa tugas yang harus dijalankan. Jangan biarkan mereka menjadi orang yang baru akan mempelajari tugasnya ketika sudah terlanjur duduk di kursi jabatan. Karena tugas belajar itu ada di bangku sekolah, bangku kuliah dan gedung-gedung akademik. Apa jadinya nasib kami jika wakil-wakil kami baru akan belajar ketika mereka sudah menduduki jabatannya. Cukupkah bagi mereka waktu lima tahun untuk mempelajari siapa kami ini sebenarnya?”
Kedua. Dari sisi kebudayaan, bangsa ini juga tidak jauh lebih baik dari pada apa yang sering mereka seminar-festivalkan. Contoh yang paling mudah kita temukan adalah perkembangan-perkembangan dalam dunia informasi. Informasi menjadi saluran utama bagi terjadinya persentuhan budaya di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dan sarana yang paling sering dijadikan sumber informasi oleh mereka adalah kotak ajaib yang kita sebut televisi.
Awalnya saya tidak ingin memasukkan televisi sebagai contoh. Tetapi kalau hal itu saya lakukan, maka sama saja saya mengabaikan fakta yang berbicara tentang ketergantungan masyarakat kita kepada benda “mukjizat” itu. Mungkin saya tidak harus berpanjang lebar membicarakan perihal televisi ini. Ia tetap merupakan makhluk Tuhan yang netral dan bebas dari apapun. Persoalan yang sesungguhnya adalah siapa yang berdiam di balik tersiarnya acara demi acara di dalam televisi.
Entah bagaimana melukiskannya. Saya benar-benar bingung ketika harus mengungkap sebuah kenyataan bahwa informasi yang disuguhkan kepada rakyat melalui kotak ajaib itu sungguh-sungguh merupakan bualan. Setiap hari, kita dijejali dengan acara demi acara yang tidak sungguh-sungguh mendewasakan mereka. Artis-artis dengan seenaknya menghadirkan diri dan menawarkan untuk dijadikan idola panutan dalam benak dan kesadaran penontonnya.
Atas dasar nilai apa rakyat terus-menerus dipaksa untuk memelototi perselingkuhan seorang aktor-aktris. Atas dasar harapan apa rakyat miskin kerap disuguhi kejayaan dan kekayaan yang mereka miliki. Apakah semua itu ditujukan agar mereka tetap hidup di dalam impian dan angan-angan belaka? Apa kualitas nilai budayanya dari semua itu? Dimana letak pencerdasannya? Seperti apa wujud kreatifitasnya sehingga dengan tontonan macam demikian lantas mereka memiliki inspirasi baru untuk kreatif, untuk bangkit dari keterpurukan?
Mohon maaf. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk Anda. Melainkan untuk kotak ajaib itu. Siapa tahu ia bisa menjawab semua pertanyaan saya sebagaimana umat yang selalu mendapat jawaban ustadz dari semua pertanyaan mereka. Bukankah para ustadz yang sering nampang di dalam kotak ajaib itu hebat-hebat? Tidak ada pertanyaan umat yang tidak bisa mereka jawab. Mereka hampir mengetahui semua masalah rakyat. Itu sebabnya mereka bisa menjawab masalah-masalah yang ditanyakan kepada mereka. Persoalan apakah jawaban itu bermutu karena memang benar-benar sesuai dengan konteks kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat-umat, itu soal lain. Atau Wallahu A’lam. Kita diskusikan lagi dalam ruang yang lebih sunyi.
Oleh sebab itu, jika rakyat sudah terlalu sering dijejali dengan kepuraa-puraan, selebritas yang tidak kunjung membuat mereka dewasa dan matang pemikirannya sebagai manusia, serta lelucon-lelucon yang menjadikan mereka lupa bahwa usia mereka sangat begitu singkat untuk hanya diisi dengan humor-humor murahan dan tak mendidik, salahkah seandainya Tuhan pemilik mereka merasa begitu cemburu dan tidak terima?
Sangat menarik jika ada yang mau serius menjawab pertanyaan ini dan mengangkatnya menjadi salah satu bagian acara televisi yang ditayangkan secara live, dan tentu saja dengan mendatangkan ustadz yang benar-benar konsisten terhadap statusnya. Bukan ustadz yang bisa berceramah pada suatu kesempatan dan bisa berakting menjadi bakul pulsa pada kesempatan yang lain. Hehe!
Ketiga. Melalui cara pandang hukum, bangsa ini masih sangat jauh perhatiannya pada keadilan. Hukum tidak benar-benar dipahami sebagai hukum sebab yang berlaku hanyalah proses-prosesnya yang berkepanjangan dan bertele-tele. Proses hukum tentu tidak sama dengan hukum itu sendiri. Proses peradilan tentu tidak pararel dengan keadilan itu sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, di dalam melakukan proses-proses penegakan hukum dan mewujudkan keadilan, ternyata punggawanya banyak melakukan kecurangan. Di tengah jalan, mereka banyak melakukan penyelewengan, pengingkaran, pengkhianatan, pemalsuan serta banyak terjerumus dalam praktek penyuapan.
Di dalam iklim seperti itu, yang terluka bukan hanya tubuh-tubuh keadilan melainkan juga rakyat kecil. Mereka dijauhkan dari harapan akan masa depannya untuk memiliki negeri yang dirahmati keadilan. Mereka disakiti kepercayaannya. Dilukai amanahnya. Ditindas kemerdekaannya serta ditusuk-diinjak-diludahi-diberangus-dikuliti dan dibakar kedaulatannya. Melihat rakyat yang sedemikian menderita, maka wajar jika kemudian Tuhan tidak terima dan membuat jadwal penetapan penghancuran bagi bangsa ini. Dan kita tinggal menunggu waktunya saja.
Kalau Anda bertanya; bisakah Tuhan menangguhkan rencana-Nya? Mungkin Ia akan menjawab dengan sebuah pertanyaan balasan, “Bisakah pemimpin dan tokoh-tokoh hukum-keadilanmu berubah dan berhenti melakukan kecurangan?” Saya sendiri tidak berani menyampaikan pertanyaan Tuhan ini kepada mereka. Karena tampaknya mereka sudah merasa enjoy dan nyaman dengan situasi seperti itu, sehingga bisa saja pertanyaan tersebut bagaikan sepoi-sepoi angin di pagi hari. Mengusap lembut daun kedua telinga mereka hingga kepada mereka akan benar-benar diperdengarkan sebuah suara yang berbunyi,
”Seperti halnya kau menyakiti-Ku lewat rakyatmu. Maka bersiaplah menerima akibat dari perbuatanmu sendiri,”
Lalu kuda-kuda macam apa yang bisa kita persiapkan untuk melawan kesungguhan dalam setiap gertakan-Nya?
Entahlah!



*Budayawan