Kamis, 31 Mei 2012

Manusia Sempurna

Tak ada manusia yang sempurna. Itulah kesimpulan yang kita yakini selama ini mengenai jati diri manusia. Selalu ada kekurangan pada seseorang. Tanpa terkecuali. Bahkan seorang actor dan artis yang didaulat sebagai manusia “sempurna” sekalipun tetap memiliki kekurangan pada dirinya. Cuma masalahnya kekurangan pada sosok selebritis itu terkadang dianggal sebagai hal yang haram dipublikasikan, baik oleh media maupun oleh keputusan selebriti yang bersangkutan. Sekalipun manusia memiliki kekurangan, namun tidak ada salahnya apabila upaya-upaya untuk menjadi yang “sempurna” itu tetap harus dilakukan. Karena prinsipnya demikian, maka apa yang disebut “sempurna” itu memiliki beragam tafsir. Sesuai konteks dan situasi dimana seseorang berada. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai artis tentu memiliki tafsir kesempurnaan yang berbeda dengan seorang perempuan yang mengurus sebuah perusahaan. Misalnya, seorang artis dituntut untuk selalu murah senyum, berpakaian sesuai trend mode yang berkembang dan menunjukkan ekspresi ceria kapan saja dan dimana saja terutama saat di depan kamera. Ketentuan itu harus dipatuhi agar kesempurnaan sebagai seorang artis dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Namun berbeda dengan perempuan yang mengurus sebuah perusahaan. Perempuan seperti ini mungkin harus berpakaian rapi, energik, lebih banyak bertindak daripada berbicara dan harus berkesan kharismatik. Semua itu perlu dilakukan demi kesempurnaannya sebagai pengelola perusahaan. Meski demikian, beragam tafsir mengenai kesempurnaan di atas sebenarnya mengacu pada satu tujuan pokok, yaitu agar seseorang mampu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab serta memiliki totalitas yang tinggi terhadap profesinya. Karena itu, membaca kisah Tania Gunadi, mojang Bandung berusia 28 tahun yang menjadi artis Hollywodd (Kompas, 22/04), saya mencoba bertanya-tanya; seberapa tinggi sih tanggung jawab masyarakat Indonesia terhadap suatu pekerjaan? Tahun 2000 silam, setelah lulus SMA, Tania Gunadi mendapatkan lotree green card, sebuah kartu identitas yang menunjukkan bahwa seseorang berhak untuk tinggal dan bekerja secara sah di Amerika Serikat termasuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari negara tersebut. Konsekuensinya, seseorang yang mendapatkan green card harus berusaha mempertahankan statusnya berdasarkan kondisi-kondisi tertentu karena status itu bisa saja dicabut apabila yang bersangkutan melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh negara. Nah, salah satu ketentuan yang ditetapkan oleh negara Amerika Serikat adalah masalah kesempurnaan dalam bekerja. Kesempurnaan dalam bekerja ini meliputi kedisiplinan yang tinggi, loyalitas dan tidak melakukan kesalahan kerja sekecil apapun. Intinya, orang yang bekerja di Amerika harus benar-benar teliti, disiplin dan benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap pekerjaan sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal dan sempurna. Bila ketentuan ini dilanggar, maka akan sungguh fatal akibatnya. Tania Gunadi membuktikan ketentuan itu. Awal menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, atas rekomendasi kakaknya yang juga tinggal di Los Angeles, Tania mendapatkan pekerjaan sebagai penerima telepon di Pizza Hut. Suatu hari, karena ia salah menerjemahkan menu pesanan pizza pelanggan, jabatannya sebagai penerima telepon dicabut dan posisinya diturunkan menjadi koki. Namun karena tidak bisa membedakan saus dan sambal, posisi Tania sebagai koki akhirnya kembali diturunkan menjadi pencuci piring. Bekerja sebagai pencuci piring pun harus sempurna. Dan karena dinilai gagal membersihkan piring, Tania akhirnya harus bekerja membersihkan toilet. Mungkin pertanyaan yang tepat setelah membaca kisah Tania di atas bukanlah apakah manusia tidak boleh melakukan kesalahan, melainkan seberapa besar pengaruh dari sebuah kesalahan itu sendiri. Paula J.C berkata, manusia adalah makhluk yang terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinyu serta turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan. Disini, dapat kita pahami bahwa kesalahan adalah indicator penggerogot kesempurnaan. Semakin sering seseorang melakukan kesalahan, maka jalan menuju kesempurnaan akan semakin sukar diraih. Namun kita juga tidak perlu berpikir apakah dengan menghindarkan diri dari melakukan banyak kesalahan lantas kita akan menjadi manusia yang benar-benar sempurna atau tidak. Sebab kesempurnaan itu sejatinya bukanlah hasil yang terdapat di akhir perjalanan, melainkan harus ada di sepanjang proses perjalanan yang dilakukan. Jika seseorang berpikir bahwa kesempurnaan itu laksana piala yang akan diraih di akhir sebuah pertandingan, maka mungkin tidak ada lagi yang bersedia menghargai kesungguhan, kedisiplinan dan totalitas seseorang selama mengikuti perlombaan. Maka fenomena peristiwa sebagaimana dialami Tania di atas sesungguhnya mengajarkan kita satu hal bahwa berproses menjadi sempurna itu jauh lebih penting dari pada kesempurnaan itu sendiri. Persoalannya adalah, kalau di Amerika Serikat seorang pekerja rumah makan saja dituntut untuk menjadi manusia sempurna dalam menjalankan pekerjaannya, lalu bagaimana dengan negara kita? Barangkali jawaban yang paling realistis dari pertanyaan ini adalah negara kita memang perlu belajar banyak dari negara-negara lain yang menerapkan prinsip totalitas dan kedisiplinan tinggi bagi warganya agar mereka menjadi manusia-manusia yang “sempurna.” Namun yang tak kalah penting setelah belajar banyak adalah keberanian menerapkan apa yang sudah dipelajari dalam tindakan yang nyata. Siapa tahu dengan begitu misalnya, negara kita bisa menurunkan gaji atau jabatan dari seorang pejabat yang tidak bisa bekerja dengan benar, sering tidur saat rapat, tidak masuk kantor tanpa ijin dan terutama korupsi. Semoga!

Shahibu Baiti

Ya Rasulallah! Meski dengan perantara alunan music sederhana ini, aku mencoba belajar merangkum kembali cintaku kepadamu. Selain hanya secuil rasa percaya diri yang rapuh, sebenarnya tak ada kesucian dalam diriku, yang membuatku merasa pantas mengutarakan rasa cinta ini kepadamu. Prestasi keseharianku adalah dosa dan dosa. Puncak kematangan ilmuku adalah kebodohan yang begitu perih, yang membuat langkahku tak kunjung mendekat pada cintamu. Begitu tinggi jenjang pendidikan yang aku tempuh, namun semuanya semakin menguakkan betapa tebal ketidakmengertianku tentang diriku sendiri. Ya Rasulallah! Engkaulah imam para nabi, yang menegakkan tidak hanya agama, melainkan juga cinta. Tuhan menanamkan keistimewaan pada wajahmu, sehingga engkau lebih terang dari purnama. Tuhan meminjamkan kelembutannya pada jiwamu, sehingga engkau tak pernah menanam dendam pada siapa pun saja, termasuk mereka yang memusuhimu. Ya Rasulallah! Gemetar hatiku menanti hari perhitungan-Nya, yang tak sebutir debupun dari kesalahanku yang tak akan luput dari pertanyaan-Nya. Sementara sebagai umatmu, aku berada pada barisan terakhir yang mencintaimu. Aku senantiasa menjadi masbuk dari tegaknya shaf-shaf kebenaran yang engkau jalankan. Apakah engkau bersedia menawar nasibku kelak, wahai Nabi? Ketika Tuhan memutuskan untuk melemparku ke dalam gejolak api neraka? Aku tak memiliki apa-apa, yang dapat kubanggakan sebagai umatmu dan hamba-Nya. Maka di tengah makin nyinyirnya hidup yang kujalani ini, wahai Rasul, ijinkan aku mengutarakan rasa cintaku ini kepadamu. Meski aku sendiri tahu, betapa akan selalu samar suaraku di pendengaranmu walau berkali-kali kuteriakkan namamu. Hari demi hari.

Sekilas Guzzainal

Bagi sebagian masyarakat Jogja, nama Zainal Arifin Thaha barangkali bukanlah sosok yang asing. Beliau adalah pribadi yang dekat dengan siapa saja, baik kalangan mahasiswa, tokoh organisasi, tokoh agama, sastrawan, para penulis dan tentu saja masyarakat pada umumnya. Mungkin karena kedekatannya dengan berbagai elemen itulah pada akhirnya Zainal Arifin Thaha juga dikenal sebagai sosok yang memiliki multiaktivitas seperti halnya akademisi, sastrawan, penulis buku, muballigh dan juga dosen. Dari sekian banyak aktivitas yang ia jalankan, ada beberapa peninggalan yang masih bisa kita lihat setelah kepergiannya tujuh tahun yang silam, antara lain berupa karya buku dan juga rintisan pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie. Sebuah pesantren yang didirikan untuk menampung anak-anak muda yang memiliki keinginan tinggi untuk belajar namun terhalang oleh masalah biaya. Dalam hal intelektualitas dan kreativitas, Zainal Arifin Thaha terbilang cukup unik. Ia bisa mendeskripsikan pengetahuannya melalui berbagai bentuk karya seperti halnya artikel-opini, esai, cerpen, puisi dan juga buku-buku kecil berisi motivasi yang ia ramu dari pembacaannya terhadap kitab suci Al-Qur’an, Hadis dan juga kitab-kitab klasik yang biasa diajarkan di pesantren-pesantren pada umumnya. Pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie sendiri pada akhirnya ia dedikasikan untuk menjadi sebuah wadah yang menampung dan membimbing para santrinya agar memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik. Bahkan beberapa karya diantara para santrinya sudah menghiasi media massa nasional. Sebut saja Muhammadun As, Akhmad Mukhlis Amrin, Mahwi Air Tawar, Bernando J Sujibto, yang karya-karya mereka sering dipublikasikan media bergengsi semisal Koran Kompas dan sebagainya. Dari pesantren ini pula, lahir sebuah komunitas kepenulisan dengan nama Komunitas Kutub serta LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta) Di samping menjadi pengasuh pesantren, dosen, penulis dan penceramah, Zainal Arifin Thaha juga dikenal sebagai seorang trainer yang kerap diminta untuk memberikan motivasi dan bimbingan dalam acara-acara pelatihan. Satu diantaranya adalah program psikoreligius dan religious class program yang biasa diadakan di sekolah-sekolah SMU dan perguruan tinggi menjelang ujian nasional. Kepribadian Zainal Arifin Thaha yang ramah telah membuat siapa saja merasa nyaman berinteraksi dengannya. Bahkan tidak jarang ada masyarakat, atau sahabat-sahabatnya yang datang untuk mengadukan masalah pribadi dan meminta bantuan untuk mencarikan jalan keluarnya. Selain itu, wawasan keilmuannya yang luas berkat bacaan-bacaannya atas berbagai disiplin ilmu telah menjadikan Zainal Arifin Thaha sebagai pribadi yang terbuka kepada siapa saja dan dekat dengan siapa saja. Bahkan ia termasuk sosok yang sangat dekat dengan para kiai, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Dan kini, tak terasa sejak tahun 2007 lalu, telah 6 tahun 3 bulan 18 hari, kita kehilangan sosok guru sekaligus sahabat yang sangat kita cintai. Ya, dialah Zainal Arifin Thaha, pendiri dan sekaligus pengasuh pertama Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari. Rasanya, memang baru kemarin kita bersama-sama dengannya. Sebuah kebersamaan, yang dibangun di atas ketulusan, pengorbanan dan dedikasi yang begitu tinggi. Dan kita, sebagai santri, atau siapapun saja yang pernah mengenal akrab kepribadiannya, menikmati betul ketulusannya itu. Sehingga kita, serta merta tak lekas percaya, tergeragap penuh tanda tanya, ketika pada hari Rabu tanggal 14 Maret 2007 yang lalu, terdengar kabar bahwa Zainal Arifin Thaha yang kita kenal, ternyata telah meninggal. Cukup beralasan, seandainya kita berharap, orang-orang seperi Zainal Arifin Thaha dapat hidup lebih lama bersama kita. Namun kekuasaan Allah, untuk memanggil kembali hamba-hamba-Nya, baik cepat atau lambat, sama sekali tak memerlukan alasan kita. Zainal Arifin Thaha boleh saja meninggal. Atau seperti dalam bait puisinya melemparkan bangkai badan dari bau semesta. Tetapi, sebagai sosok yang menghikmati betul kata Nabinya, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, ia telah memberi kita sebuah rumus hidup yang ia sendiri menyebutnya sebagai spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas. Dengan semangat spiritualitas, Zainal Arifin Thaha seperti ingin berkata, “Berdzikir dan beribadahlah kalian agar dalam menjalani kehidupan, hati dan jiwamu menjati tenteram.” Dengan semangat intelektualitas beliau seperti ingin berkata, “Belajarlah yang tekun kalian agar dalam menjalani kehidupan, kalian tak didera bimbang dan salah jalan.” Serta dengan semangat profesionalitas beliau juga seperti ingin berkata, “Bersungguh-sungguhlah kalian dalam menjalankan keduanya, agar apa yang kalian upayakan memberikan hasil yang matang dan tak mengecewakan.” Memang hanya tiga rumus hidup itulah yang seringkali Zainal Arifin Thaha kemukakan. Suatu jumlah yang sangat sedikit bagi medan hidup yang begitu luas. Tetapi, ia sendiri berujar bahwa “lebih baik bertindak walaupun sedikit daripada berangan-angan untuk berbuat banyak.” Itulah prinsip yang dipancangkan oleh sosok yang Joni Ariadinata menyebutnya sebagai presiden kuburan. Kini, setelah tujuh tahun kepergian Zainal Arifin Thaha, sebagai santri dan sahabatnya, kita berusaha mengumpulkan kembali, serakan-serakan nasehatnya, yang barangkali dapat kita utuhkan serakan itu dalam spirit kita, untuk terus berkreatifitas, untuk berjuang dan berkorban, baik bagi diri sendiri dan orang lain. Ya, itulah pelajaran inti, yang ditanamkan di pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie ini oleh beliau. Bahwa untuk menjadi orang yang sukses kita harus berusaha memberikan jalan kesuksesan bagi orang lain. Bahwa untuk menjadi orang yang berhasil kita harus memberikan kemudahan pada orang lain. Maka tak heran, jika pada akhirnya, Zainal Arifin Thaha mengambil keputusan yang berani, untuk mempersilahkan siapa saja menjadi santrinya secara gratis, menempati sebuah tempat yang ia sewa dengan hasil jerih payahnya sendiri. Seperti yang kita ketahui, bahwa Zainal Arifin Thaha, telah mewaqafkan kesempatan hidupnya yang singkat itu, untuk benar-benar berarti dan bermanfaat bagi orang lain. Dan seperti yang juga kita ketahui, bahwa Zainal Arifin Thaha yang kaya itu, telah meninggalkan gelimang hartanya, untuk hidup bersama dan mengajarkan ilmu agama bagi para santrinya yang miskin dan gembel. Membantu kesulitan santrinya yang jarang mandi dan korengan. Mengajari puisi para santrinya yang kurus dan seringkali hanya makan satu bungkus nasi angkringan. Menyesalkah beliau? Putus asakah beliau? Mungkin saja tidak. Dan itulah barangkali, yang menyebabkan Shihoo Sawai, seorang peneliti komunitas sastra asal Jepang, menyebut Zainal Arifin Thaha sebagai penerus Umbu Landu Paranggi. Sebagai santri atau juga sahabat Zainal Arifin Thaha, kami tidak tahu, apakah pantas beliau disebut-sebut sebagaimana kata Shihoo Sawai itu. Tetapi yang kami tahu adalah, bahwa Zainal Arifin Thaha adalah pribadi yang selalu berusaha menunjukkan kepeduliannya kepada orang lain. Selalu berusaha menyenangkan orang lain. Selalu berusaha membantu semampu yang ia bisa pada orang lain. Selebihnya, biarlah Allah sendiri yang memberikan penilaian. Terakhir kali, ada satu pesan penting yang juga seringkali Zainal Arifin Thaha kemukakan: “Bacalah semua buku. Jangan takut. Tuhan bersama orang-orang yang rajin membaca. Dan jangan anggap dirimu berhasil kalau belum memberikan manfaat bagi orang lain. Serta janganlah kalian meninggal sebelum melahirkan banyak karya.” Dan bagi kita, Zainal Arifin Thaha adalah seorang pembaca buku yang rajin. Beliau juga adalah sosok yang telah memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Serta beliau juga telah melahirkan banyak karya yang ditinggalkan. Karena itu, kita yang pernah akrab dengannya, berusaha memaklumi dan mengikhlaskan kepergiannya, sambil diam-diam berusaha meneladani sifat dan sikap hidupnya. Semoga! Amin

Pemuda-Pemuda dan Masa Depan Indonesia

Selepas beracara dengan beberapa kawan di Hotel Quality Yogya pada pertengahan Desember 2009 lalu, saya didatangi oleh seorang pemuda yang kemudian saya ketahui kalau dia adalah wartawan sebuah majalah sekolah menengah di Sleman. Kepada saya dia bertanya, “Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memberdayakan kaum muda sekarang ini?” Saya tertegun mendengar pertanyaan pemuda yang cukup serius itu. Tetapi menurut saya, sebagaimana hal ini juga saya katakan kepadanya, dia telah melakukan dua kesalahan besar dengan bertanya seperti itu. Kesalahannya yang pertama tentu saja adalah karena dia mengajukan pertanyaan itu pada saya. Meskipun dalam acara itu saya kebagian berbicara masalah peranan santri (yang rata-rata pemuda) dalam konstelasi modernisasi global, akan tetapi hal itu tidak menjamin bahwa saya tahu banyak soal kaitan antara pemerintah dengan pemuda. Sementara kesalahannya yang kedua adalah pertanyaan itu mencerminkan suatu sikap mental dan cara pandang tertentu bahwa untuk berdaya, ternyata pemuda harus menunggu peran pemerintah. “Apa benar seperti itu?” saya balik bertanya dan si pemuda wartawan tadi hanya misem kayak artis. Namun akhirnya dengan sangat terpaksa saya menjawabnya juga. Untuk memperjelas duduk masalahnya, saya mencoba menguraikan sedikit demi sedikit pertanyaan si mas wartawan tadi. Kepadanya saya katakan bahwa pertanyaan macam demikian jelas sangat mengecawakan kaum muda (terutama mahasiswa) yang selama ini begitu getol menyuarakan posisi diri mereka sebagai agen perubahan (agent of change). Sebagai agen penggagas perubahan, tentu sangat naif apabila pemuda harus menunggu uluran tangan pemerintah untuk sekadar berdaya. Padahal, ‘musuh’ bebuyutan pemuda selama ini sepertinya sudah jelas-jelas adalah pemerintah sendiri. Jika hal itu memang benar-benar terjadi, maka sungguh-sungguh itu semua adalah degelan yang sama sekali tidak lucu. Sebab, bagaimana mungkin pemerintah bersedia memelihara ‘anak macam’ jika kelak kalau sudah besar dia malah akan selalu siap menerkam dan merobek tulang mereka sendiri? Saya membayangkan bahwa kelak Indonesia akan memiliki pemuda-pemuda yang benar-benar tangguh untuk menggagas terjadinya suatu perubahan, baik dalam ruang lingkup lokal dan syukur-syukur nasional. Ketangguhan pemuda tidak saja harus diukur dari tingkat pendidikan akademik mereka, organisasi-organisasi yang mereka ikuti dan juga slogan-slogan mereka yang penuh heroik. Pun tidak begitu penting untuk semata-mata mengukur peran pemuda hanya dalam sikap dan keberanian mereka yang begitu ekstrem ketika melawan pemerintah. Pemuda harus tetap ada sekalipun pemerintah tak pernah bersedia untuk menganggap mereka ada. Pemuda harus tetap tangguh meskipun pemerintah, dengan berbagai upaya, terus melakukan penggembosan terhadap kesolidan mereka. Pemuda harus tetap memiliki prinsip perjuangan yang jelas untuk selalu mengontrol pemerintah, meskipun pemerintah sendiri terus berusaha membuat diri mereka tidak pernah benar-benar jelas di mata rakyatnya. “Saya tahu kalau soal itu, Mas,” kata si wartawan tadi menyela omongan saya. “Tapi konkritnya apa?” “Itulah kenapa tadi di awal-awal saya katakan kalau Anda salah bertanya pada saya. Kalau mau tahu konkritnya, silahkan Anda datang ke Jakarta dan temui Menpora, Bapak Andi Mallarangeng. Tanyakan kepadanya, apa yang sudah dia lakukan untuk pemuda Indonesia selain hanya mengurus dunia olahraga.” “Benar, Mas. Memangnya pemuda Indonesia hanya pemain sepak bola dan atlet olahraga, ya Mas?” “Itu tugas Pak Andi untuk menjawabnya. Kalau saya yang menjawab, nanti dikira saya melangkahi wewenang beliau.” Wawancara selesai dan saya juga sudah ditunggu oleh seorang pemuda yang tadi menjemput saya dan sekarang mau mengantar saya pulang. Di tengah jalan saya berkata pada pemuda yang membonceng saya. “Jiwa pemuda itu harus seperti sampeyan ini, Mas. Mau menjemput suatu ide perubahan dan bersedia mengantarkan hasilnya ke rumah-rumah rakyat, tanpa peduli apakah sampeyan diberi uang bensin atau tidak “ Pemuda itu hanya diam. Entah dia paham maksud kata-kata saya atau tidak. Desember 19,2009.

Perihal Kualitas

Dalam sebuah pertemuan yang tak terduga, saya berjumpa dengan seseorang yang diam-diam sudah lama saya mengaguminya. Orang yang satu ini super sederhana dalam penampilan namun ia open (telaten) terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Tak hanya itu, ia juga memiliki sifat ngemong, penuh perhatian, suka menghibur orang lain dengan tindakan dan kata-katanya, meski yang terakhir ini kerap disalahartikan sebagai kekonyolan dan karena itu membuat orang lain berani meremehkannya. Saya tahu kalau orang yang saya jumpai itu memegang peranan penting dalam sebuah “organisasi”. Atau setidaknya ia adalah pengurus dalam sebuah organisasi tertentu yang anggotanya justru terdiri dari manusia-manusia sukar diurus. Tetapi kondisi yang demikian sepertinya tidak mempengaruhi i’tikad baik makhluk Tuhan yang saya temui itu. Ia terus berkonsentrasi kepada tugasnya, menjalankan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk menjadi tanggung jawab beliau, serta tidak jera mengingatkan, memotivasi dan memperjuangkan kemajuan-kemajuan anggota organisasi sekuat tenaga dan kemampuannya. “Rajin-rajinlah bertandang ke tempat saya,” ucapnya ketika itu. “Saya masih memerlukan banyak bantuan. Anda tahu sendiri kan, keadaan saya seperti ini. Dibanding yang lain, saya kalah berkualitas.” Ia begitu serius mengatakan hal itu sehingga saya menjadi semakin kagum saja atas perkataan yang mencerminkan kerendahhatiannya itu. Saya mengerti betul apa muatan di balik kata-kata yang ia ucapkan. Ia merasa kurang berkualitas dibanding anggota organisasi lainnya karena barangkali selama ini ia sering diremehkan, diabaikan, tidak diacuhkan dan disepelekan. Ia menjadi “objek hinaan” yang secara tidak langsung dilakukan oleh anggota organisasisnya lewat tindakan-tindakan mereka seperti yang telah saya sebutkan. Namun anehnya, ia tetap survive. Senyumnya tak berkurang sedikitpun meski hampir tiap hari ia mendapatkan perlakuan-perlakuan seperti di atas. Berkali-kali ia diabaikan, namun berkali-kali pula ia memberikan perhatian. Saya pun menemukan peluang untuk sekadar cawi-cawi ngomong dan tentu saja sekenanya. Kepada orang itu saya katakan bahwa berkualitas-tidaknya seseorang tidak harus terus-terusan diukur dengan kepandaian akal dan nalar. Orang yang bisa ngomong ilmu politik, ekonomi, sosial, budaya dengan cukup memikat bisa saja berkualitas dalam satu sisi, namun pada sisi yang lain ia tidak lebih dari pada si dungu yang tersesat. Ilmu politik, ekonomi, sosial dan budaya pada akhirnya akan dituntut untuk menjadi ilmu yang sanggup mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik. Justru akan menjadi lacur jika ilmu-ilmu itu hanya terkesan begitu mencerahkan ketika diulas di koran namun penulisnya kebingungan mencermati langkahnya sendiri. Yang bisa ia tahu hanyalah kebanggaan-kebanggaan semu bahwa ia sudah resmi dianggap menjadi penulis dengan satu dua tulisan. Jadi kepada orang itu saya katakan bahwa tidak usah malu disebut orang yang tidak berkualitas jika kualitas itu hanya diukur dengan variabel-variabel akal-nalar seperti yang saya sebutkan. Kualitas itu adalah salah satu jenis kebenaran. Dan kebenaran itu sendiri terlalu besar untuk dikuasai oleh hanya satu orang, satu organisasi dan lain sebagainya. Berkualitas itu bisa jadi berupa sikap yang ditunjukkan oleh orang yang saya jumpai itu. Ia jalankan amanah yang dibebankan kepadanya dengan ramah, santun, penuh perhatian dan suka menghibur. Saya juga tegaskan bahwa melaksanakan tugas yang diamanahkan orang lain dengan baik bisa saja menjadi tanda dari berkualitasnya seseorang. Sebab hanya orang berkualitaslah yang mampu memanggul amanah di pundak mereka, kendati di kiri-kanannya banyak yang meremehkan dan menyepelekan. Berusaha menaati ketentuan atau aturan yang sudah nyata memiliki nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menangkap hakikat yang tersirat di balik ketentuan-ketentuan itu. Berusaha tidak menyepelekan dan meremehkan orang lain, meski mereka kelihatan lebih dungu dari diri kita sendiri, adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menerima dan menghargai siapa saja yang mereka jumpai dan hadapi. Tidak sombong dengan kemampuan diri sendiri adalah sebagian dari tanda-tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu mengendalikan dirinya sendiri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Tidak terhitung berapa jumlah kalimat dan pernyataan yang saya keluarkan saat itu. Tapi yang jelas saya harus segera menghentikan pembicaraan karena saya khawatir ucapan dan kata-kata saya tidak lagi berkualitas untuk diperdengarkan. Di akhir pertemuan, saya bertanya pada diri sendiri: “Kualitas manakah yang harus aku pilih? Nalar. Perbuatan. Atau sinergi antara keduanya?” Pertanyaan yang dalam pendengaran Anda jauh lebih tidak berkualitas ini, mungkin hanya pantas dijawab dengan: “Ya, embuh…!” Wahanaku, menyapa Hamasy.

Dua Pemuda Miskin di Sebuah Republik Anjing

Tersebutlah dua orang pemuda miskin yang menempati sebuah gubuk reot di tepi bantaran kali yang hampir dipastikan selalu banjir kalau sedang musim hujan. Dua pemuda itu sudah begitu lama bersahabat. Bahkan mereka sudah lupa, tepatnya kapan mereka bertemu dan berkenalan hingga jadilah keduanya sepasang sahabat yang sangat karib, yang kekaribannya melebihi seorang saudara. “Nasib dan kemiskinanlah yang mempersatukan kami, kawan,” kata pemuda yang satu saat ada temannya sesama pemuda miskin lainnya bertanya. “Ya. Hidup kami sama seperti kalian. Kami tidak memiliki apa pun di negeri yang sangat kaya dengan apa pun ini. Bahkan kami tidak memiliki harapan, sebab harapan-harapan itu terlalu mahal buat kami. Satu-satunya yang kami miliki hanyalah persahabatan ini, persaudaraan ini,” pemuda yang satunya ikut menimpali. Pada suatu hari, langit tiba-tiba menjadi mendung dan tak lama kemudian hujan turun dengan amat deras. Pemuda yang satu pergi menutup pintu gubuknya yang terbuat dari kardus-kardus yang sudah usang. Keduanya lalu meringkuk sambil membungkus tubuh mereka dengan sarung. Sarung yang sebenarnya sudah lusuh dan tipis sehingga tak mampu menahan dingin yang datang menusuk tulang. “Kau tahu, apa yang sering aku impikan jika hujan-hujan begini?” tanya pemuda yang satunya. “Apa?” “Aku memimpikan dapat tidur nyenyak di dalam sebuah kamar besar dengan kasur empuk, berselimut tebal, menonton acara televisi sambil menikmati makanan ringan dan minuman kaleng.” “Tapi itu tidak mungkin, saudaraku.” “Aku tahu, itu memang tidak mungkin. Tapi setidaknya aku sudah memimpikannya. Bukankah kau sering berkata kepadaku bahwa pencapaian-pencapaian besar itu dimulai dari mimpi?” Pemuda yang satu terdiam. Ia ingat bahwa dirinya memang sering mengatakan hal itu kepada sahabatnya yang mulai terlihat kedinginan itu. Mimpi adalah tangga pertama mencapai keberhasilan. Begitu kata-kata yang acapkali ia katakan. Betapa banyak hal-hal besar di dunia ini yang awalnya dimulai dari sebuah impian. Kemajuan teknologi, perubahan peradaban, kesuksesan, kekayaan bahkan kemerdekaan suatu bangsa sekalipun, semuanya berawal dari sebuah mimpi. Namun apakah mimpi sahabatnya itu akan menjadi kenyataan, sebagaimana contoh-contoh yang sering ia kemukakan saat bercerita betapa pentingnya sebuah mimpi? Sampai di sini pemuda yang satu itu merasa bersalah. Ia lupa mengatakan bahwa selain mimpi, seseorang juga perlu berjuang, mengeluarkan pengorbanan, bahkan dengan nyawa sekalipun. Di luar hujan semakin deras. Petir terdengar menyambar-nyambar. Seisi ruangan dalam gubuk itu pun kini telah berisi air sungai yang mulai meluap menggenangi sebagian bantaran yang berdataran rendah, termasuk gubuk yang ditempati kedua pemuda itu. Sambil merebahkan tubuhnya di atas bale-bale yang tak kalah reot, pemuda yang satu berkata: “Kau tahu, seandainya kita terhanyut air sungai ini dan kita berdua tewas karenanya, tak mungkin ada pejabat peduli dan menaruh perhatian terhadap kita.” “Apakah karena kita miskin?” “Tidak.” “Lalu?” “Karena kita sudah lama tidak dijadikan focus utama pembangunan negeri ini.” “Bicaramu seperti pengamat saja, saudaraku,” kata pemuda yang satunya sambil ikut merebahkan tubuhnya di samping sahabatnya, pemuda yang satu itu. “Bukan, tapi seperti bicaranya para penyair.” “Apakah penyair bisa berbicara seperti itu? Setahuku, penyair hanya bicara bunga dan bulan.” “Jangan menghina. Maukah kau kutunjukan sebuah puisi yang aku tulis dua tahun yang silam?” tanpa menunggu jawaban, pemuda yang satu bangkit dan mendekati tas lusuh yang tergantung di dinding gubuk. Dia mengeluarkan sebuah kertas buram yang terlipat dan membawanya ke hadapan pemuda yang satunya. “Bacalah. Biarlah suara angin, gemuruh sungai yang meluap, dan juga kilatan petir menjadi music pengiringnya,” kata pemuda yang satu sambil menyerahkan kertas yang berisikan puisi itu. Pemuda yang satunya menerima kertas itu. Sejenak dia menatap pada sahabatnya, seperti kalau sedang meminta izin sebelum membaca. Kemudian, diantara riuh rendah suara angin dan petir, terdengarlah bait-bait puisi itu dibacakan: Republic Anjing Adalah republic anjing, yang presidennya sibuk berhias sambil mencipta lagu untuk dinyanyikan sebagai hiburan bagi rakyat yang sesungguhnya tak mampu lagi menikmati indahnya sebuah hiburan. Adalah republic anjing, yang wakil presidennya mampu membuat kebijakan dan hukum-hukum disaat hukum itu sendiri mestinya menunjukkan kebijaksanaan atas kasus dirinya sendiri. Adalah republic anjing, yang ketua partainya berani berkata siap berjuang untuk rakyat demi meraih kursi kekuasaan sementara rakyat yang ingin diperjuangkan malah dibenamkan wajahnya ke dalam lumpur kenistaan. Adalah republic anjing, yang para hakimnya mudah dihinakan oleh sejumlah uang yang disediakan untuk membeli keputusan yang salah. Adalah republic anjing, yang para menterinya diangkat berdasarkan harmoni koalisi politik namun tidak pada profesionalisme dan takaran keilmuan yang semestinya. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya lantang berbicara siklus meningkatnya Gross National Produck tanpa tahu soal apakah GNP itu berpengaruh terhadap berjuta mulut menganga dengan lambung tipis karena kelaparan. Adalah republic anjing, yang penguasanya abai atas batas-batas negaranya sehingga baru akan ribut jika ada negara lain yang menginjakkan kaki-kaki mereka di sana. Adalah republic anjing, yang para tukang parkir jalanannya saja berlagak melebihi seorang komandan meliter. Adalah republic anjing, yang para wakil rakyatnya senang dan sering berpelesir dengan dalih studi banding meski pada akhirnya bangsanya sendiri terus-terusan kalah dibanding negara yang dikunjungi. Adalah republic anjing, yang membiarkan para maling dan koruptor tetap aman asalkan hal itu tidak mengganggu jalannya koalisi parpol. Adalah republic anjing, yang para pengusahanya dibiarkan tenang meski tak memenuhi kewajiban pajak yang menumpuk-numpuk. Adalah republic anjing, yang rakyatnya lebih memilih selebriti dari pada orang suci untuk diikuti. Adalah republic anjing, yang para ustadz dan ulamanya sering bertindak tidak jelas antara berdakwah, beraction atau berdagang. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya tidak sanggup membuka mata untuk melihat bahwa diantara rakyatnya banyak yang benar-benar ahli ilmu untuk ditugaskan demi kemajuan negara, sehingga ia senantiasa salah pilih karena yang diangkat ternyata tukang politik yang ahli bohong. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya mengabaikan kesuburan tanah airnya sendiri dengan lebih memilih hasil tanaman negera lain untuk mensejahterakan rakyatnya. Adalah republic anjing, yang memandang hukum bukan pada fakta kesalahannya, melainkan pada kepiawaian mulut pengacara, sehingga maling ayam dan maling sumber daya alam bisa sangat berbeda perlakuannya. Adalah republic anjing, yang pemerintahannya menyerahkan emas murni pada orang lain dan menyerahkan loyang pada rakyatnya sendiri. Adalah republic anjing, yang lembaga surveinya bisa merubah takaran dan hitungan sesuai dengan siapa yang sedang memesan. Adalah republic anjing, yang aparat keamanan rakyatnya sering menimbulkan ketakutan dan rasa tidak aman pada rakyat sendiri. Adalah republic anjing, yang pelaku entertainmentnya seperti kehabisan ide sehingga yang disuguhkan hanya sinetron murahan, sensualitas dan kawin cerai para artis. Adalah republic anjing, yang para penguasanya lebih senang mengusir pedagang kaki lima serta mempersilahkan cukong berkaki sepuluh untuk menggantikannya. Adalah republic anjing, yang para wakil rakyatnya dipilih berdasarkan kemauan yang diperjuangkan, bukan pada syarat kemampuan keilmuan yang diperhitungkan, sehingga siapa saja merasa pantas menjadi wakil rakyat asal ia mau dan memiliki uang. Adalah republic anjing, bangsa yang membuang-buang pahlawan, pejuang dan para ilmuwan dengan lebih memilih bersanding bersama pengkhianat dan pecundang Dan adalah republic anjing, mereka yang merasa nyaman hidup dalam situasi dengan segala semacam kebusukan itu. “Karya puisimu ini luar biasa, saudaraku,” kata pemuda yang satunya setelah selesai membaca. “Kenapa kau tidak jadi penyair saja. Menulis puisi yang banyak.” “Aku takut.” “Takut apa?” “Jangankan aku. Penyair besar sekaliber Si Burung Merak saja tak pernah dihargai. Bahkan saat ia meninggal, tak ada sambutan khusus dari presiden sebagaimana yang beliau lakukan saat meninggalnya si pelantun lagu Tak Gendong itu. Bangsa ini tak cukup jeli untuk melihat siapa yang benar-benar seniman dengan yang sekadar nyeniman.” “Jangan begitu, saudaraku. Setidaknya masih ada aku yang akan menghargai karya-karyamu. Aku bersumpah, akan selalu mendukung prosesmu. Bahkan dengan seluruh hidupku, jiwa ragaku. Teruslah menulis. Ingatkan republic anjing ini dengan karyamu. Aku akan mendermakan seluruh waktu dan hidupku untuk membantumu.” “Kenapa kau mau berbuat begitu?” “Ah, kau ini. Kau tahu aku ini miskin, tapi setidaknya aku memiliki sesuatu yang bisa kudermakan untukmu, sahabat sejatiku. Aku ingin, kelak Tuhan tak banyak tanya dengan apa yang telah aku berikan kepadamu.” “Maksudmu?” “Aku pernah mendengar, seorang sufi bernama Al-Kattani berkata, bahwa pada hari pembalasan, seluruh hamba Allah akan dimintai laporan lengkap mengenai pengeluarannya, kecuali pada apa-apa yang telah mereka berikan pada teman-temannya. Karena Allah akan merasa malu mempertanyakannya.” “Alangkah menyentuhnya ucapan itu,” seru pemuda yang satu, “aku semakin sadar, bahwa persahabatan yang tulus selalu bisa diceritakan sebagai sesuatu yang sangat indah. Tetapi sayangnya tidak banyak orang yang mau bersahabat tulus dengan orang-orang macam kita. Persahabatan terkadang didasari oleh kepentingan, status social dan kekayaan. Maka kita tidak boleh berharap akan ada orang kaya yang mau menjadikan kita sebagai sahabat mereka. Sahabat yang tulus.” “Ya, itulah resikonya kalau kita hidup di republic anjing.” Kedua pemuda itu tersenyum. Di luar, hujan semakin deras dan semakin deras. Kebumen, 11-11-11

Sakaratul Mautmu

Ketika sakaratul maut menghampirinya, ia masih sempat naik mimbar dan mewasiatkan beberapa hal kepada sahabat-sahabat setianya. Namun kondisi fisiknya sudah sedemikian lemah sehingga ia hampir terjerembab saat hendak turun dari mimbar. Beruntung Ali dan Fadhal tangkas memapah tubuhnya. Atas kejadian itu, semua yang hadir tahu betapa sesaat lagi manusia mulia itu akan pergi. Saat dibaringkan kembali, manusia mulia itu menatap satu persatu wajah sahabat-sahabatnya. Abu Bakar yang ditatap, kedua matanya berkaca-kaca. Umar yang gagah tak kuasa menahan gejolak dada. Usman yang dermawan hanya mampu menghela nafas panjang. Ali, hanya tertunduk tak berdaya. Dan Fatimah puterinya, tak mampu menatap wajah sang ayah. Hingga ketika malaikat Izrail menarik ruhnya yang suci dengan sangat lembut, Jibril di langit kedua memalingkan wajah. “Jijikkah engkau melihat keadaanku ini, Jibril. Sehingga engkau memalingkan wajah?” tanya manusia mulia itu. Dengan suara bergetar Jibril menjawab, “Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajalnya.” Ya…Rasulallah…! Andai Allah mengizinkan aku untuk hidup di zaman itu dan menemani hari-hari terakhirmu, mungkin akan terkuras habis seluruh air mata ini.

Sayyidina Ali dan Anak Panah

Sepuluh tahun yang lampau, saat masih duduk manis di bangku sekolah, seorang guru pernah mengisahkan satu peristiwa yang pernah dialami oleh Sayyidina Ali karromallahu wajhah. Konon, betis Ali bin Abi Thalib terkena anak panah. Begitu dalam anak panah itu menancap di betis beliau. Barangkali si pemanah menarik busurnya dengan begitu kuat dan memang dimaksudkan agar menimbulkan derita atau bahkan kematian bagi yang terkena. Tak terkecuali bagi Ali. Raut wajahnya yang teduh menahan rasah sakit yang tiada terkira. Meski tidak sampai meraung-raung, namun beliau tak tahan saat beberapa sahabat dan rekan-rekan terdekatnya membantu menarik anak panah itu agar keluar dari betis beliau. “Tunggu. Aku sungguh tidak tahan lagi menahan sakitnya,” rintih Ali. “Tetapi anak panah ini harus segera dicabut agar lukamu bisa segera diobati,” kata salah seorang sahabat. “Apa tidak ada cara yang lain agar tidak menimbulkan rasa sakit?” tanya Ali. Semua yang hadir di tempat itu saling pandang dan kemudian menggeleng. “Kalau begitu, aku mau shalat dulu,” kata Ali setelah tak seorangpun memberikan usul. “Nanti kalau aku sudah shalat, salah seorang diantara kalian mencabut anak panah ini.” Sayyidina Alipun melakukan shalat dan salah seorang dari rekannya mencabut anak panah itu. Menakjubkan. Pada saat anak panah dicabut, Ali seperti tak merasakan apa-apa dan tetap khusyuk melaksanakan shalatnya hingga usai. Kita tidak tahu, apa yang terjadi dengan Ali saat dia shalat sehingga rasa sakit yang semula tak dapat ditahannya dengan begitu mudah dapat dia lalui. Atau sedemikian rupakah kekhusyukan Ali saat dia shalat sehingga ia dapat dengan mudah melupakan rasa sakitnya? Barangkali kemenyatuan atau kekhusyukan seorang Ali dengan Tuhannya tatkala shalat merupakan puncak kenikmatan yang tiada terkira sehingga ‘rasa sakit’ tak ubahnya seperti makhluk dungu yang tak berdaya di hadapannya. Ranta!!!!!

Siti Maryam Award

Di suatu malam yang lengang dan bergerimis, saya mengisi kejenuhan dengan menonton televisi bersama istri. Saya tidak tahu apa nama acaranya. Maklum, sejak beberapa bulan ini saya berusaha untuk tidak terlalu berketergantungan pada kotak ajaib itu. Selain tidak menemukan acara yang benar-benar mendidik dan mendewasakan, saya juga merasa kerap dikecewakan oleh televisi karena hampir 90% acaranya hanyalah main-main. Di dalam acara yang saya saksikan malam itu, tampak ada seorang perempuan artis yang sedang menjadi bintang tamu. Menurut host acara itu, perempuan tersebut baru saja melahirkan. Dan memang kelihatan kalau ia baru melahirkan. Badannya melar layaknya perempuan yang memang habis melahirkan. Tetapi yang membuat saya tercenung adalah ketika istri saya mengatakan bahwa perempuan itu ternyata melahirkan tanpa jelas diketahui siapa ayahnya. Astaghfirullah. Saya mencoba menahan diri untuk tidak mengutuk, membenci dan meremehkannya walaupun godaan itu teramat besarnya di dalam hati. Lebih jelasnya, saya niatkan kata-kata istighfar itu untuk memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang sekiranya menimpa saya seandainya saya terlanjur mengutuk perempuan itu. Selebihnya, saya juga memohonkan ampunan atas perempuan itu kepada-Nya karena siapa tahu artis tersebut sedang khilaf. Entahlah. Dengan nada berkelakar, saya katakan kepada istri bahwa artis tersebut barangkali ingin menjadi “Siti Maryam” kontemporer yang bisa hamil tanpa harus ada suaminya. Mungkin ia ingin menguji dan membuktikan kembali kekuasaan Allah bahwa Dia benar-benar berkuasa untuk membuat seseorang hamil tanpa perantara suami sekalipun. Namun tak penting benar kelakar itu ditanggapi. Satu hal yang pasti. Saya melihat betapa si artis yang hamil tanpa suami itu kelihatan benar-benar menikmati kelahiran anaknya yang tanpa ayah. Senyumnya terus mengembang menanggapi berbagai gojekan dan pertanyaan si host acara. Jangankan penyesalan, niat untuk menyesal sepertinya tak pernah terbersit di dalam hatinya. Dia terlihat sumringah seperti perempuan pada umumnya yang habis melahirkan namun jelas siapa suaminya. “Bagaimana sampeyan menanggapi masalah itu?” tanya istri saya tiba-tiba. Saya tergeragap. Bukan karena saya tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaannya. Tetapi apa perlunya saya menanggapi masalah kehamilan dan kelahiran si artis itu. Dia bukan saudara dan famili saya. Juga bukan sahabat saya. Sekalipun dia artis, dia juga bukan idola saya dan saya tak pernah merasa menyaksikan aktingnya di depan mata kepala saya sendiri. Secara sosiologis, saya merasa tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadap semua perbuatannya. Silahkan dia mau hamil lagi dan lagi tanpa ada suami, silahkan. Bahkan silahkan saja dia mau berganti kelamin dan kemudian menghamili perempuan lain sesama artis, juga silahkan. Artinya, saya tidak punya koneksi apa-apa dengan dia. Meskipun saya dibayar untuk menjadi idola yang ditugaskan mengelu-elukan dirinya sebagaimana yang terlihat pada penonton yang hadir di acara itu, insya Allah saya tidak akan mau. Dalam hidup ini, saya sudah memiliki idola yang setiap waktu selalu saya rindui paras wajahnya. Bahkan tiap detik saya usahakan untuk menyebut-nyebut namanya: Ya ayyuhalmusytaaquuna ilaa ru’yati jamaalihii, shalluuu ‘alaihi wa sallimuu tasliima Engkau yang menyimpan kerinduan untuk bertatapan wajah dengan keindahan beliau, bershalawatlah kepadanya. Itulah idola saya dalam hidup ini. Jadi, mohon maaf, seandainya dia datang sendiri ke rumah saya dan menawarkan banyak uang dan fasilitas agar saya bersedia menjadi idola yang harus terus memujinya meski dia hamil tanpa suami, insya Allah saya akan terima uangnya dan saya berikan semua kepada beberapa anak asuh saya yang sekarang sedang mati-matian belajar menata bagaimana hidup yang benar. Selebihnya, akan saya lupakan dia. Tetapi sesama hamba Allah, serta demi kemantapan sikap dan ilmu, saya juga merasa perlu memberi tanggapan atas pertanyaan istri saya itu. Pertama-tama yang saya kemukakan kepada istri saya adalah, kita harus segera mendoakan si artis agar ia cepat-cepat menyadari kekeliruannya. Dengan tegas saya katakan bahwa ia jelas-jelas bukan Siti Maryam dan tidak mungkin Allah mengulang mukjizatnya kepada beliau. Bahkan Siti Maryam saja gusar, bercucuran air mata dan mengisolasi diri ketika ia diberi tahu bahwa Allah akan menganugerahkan seorang anak yang kelak akan menjadi manusia mulia, seorang Nabi, “Bagaimana mungkin saya bisa hamil, padahal saya tidak bersuami,” demikian kegusaran Siti Maryam. Lha, tapi si artis ini malah sebaliknya. Ia malah mengumbar-umbar senyumnya di depan kamera. Ia jumpa pers segala, mengabarkan bahwa ia telah melahirkan anak. Anak tanpa ayah. Hmmm…. Kemudian yang kedua, kalau Allah menimpakan dosa berat kepada si artis karena ia telah hamil tanpa suami hingga sekaligus ia melahirkan anak tanpa ayah, maka sejatinya menurut saya, dosa itu juga berlaku bagi penonton yang hadir dalam acara itu. Sebab mereka datang dan dibayar untuk menyaksikan, menyoraki dengan penuh kegembiraan dan mengelu-elukan dengan penuh kekaguman hingga substansi kesalahan dan dosa si artis menjadi lumer dan samar-samar. Bahkan tak terlihat sama sekali, tergilas oleh nuansa hiburannya. Tetapi kita berdoa, agar mereka tidak menyangka bahwa yang dilakukan si artis adalah tindakan yang benar hanya karena mereka dibayar dan masuk tv. Ya, ampun, kata Popeye. Di luar hujan bertambah deras. Saya tak lagi fokus pada acara televisi. Tetapi pada diskusi soal si artis. Namun belum selesai saya mengurai-nguraikan pendapat, istri saya malah memberi informasi tambahan bahwa si artis yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami itu mendapatkan penghargaan dari salah satu lembaga, entah LSM atau apa. “Penghargaan. Penghargaan karena apa?” saya terlonjak. “Penghargaan karena dia tidak menggugurkan kandungannya meski itu hasil hubungan dengan orang yang bukan suaminya.” Wah…wah, kelucuan macam apa lagi ini. Orang yang melahirkan anak tanpa jelas siapa suami atau ayah dari anak tersebut malah mendapatkan penghargaan. Sementara ada seorang istri yang melahirkan anak tetapi kemudian ditinggal oleh suaminya sehingga dia harus banting tulang peras keringat sendiri untuk membiayai anaknya, kok malah “aman-aman” saja dari penghargaan, kok malah tidak menjadi bintang tamu acara televisi, kok malah tidak dikagumi para penonton. “Coba saya banyak uang,” kata saya pada istri, “Saya pasti akan membuat acara penganugerahan “Siti Maryam Award” kepada artis-artis Indonesia yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami. Akan saya kemas agar acara penganugerahan itu bergengsi, mendapatkan banyak sponsor, bahkan kalau perlu harus mendapatkan restu langsung dari Allah, para nabi dan para malaikat.” “Kenapa begitu?” tanya istri “Ya, biar makin banyak lagi artis-artis yang bersedia dibuahi rahimnya oleh laki-laki yang itu jelas-jelas bukan suaminya. Acara itu pasti akan menghasilkan banyak keuntungan. Sebab semua rakyat Indonesia pasti menyukai dan tertarik karenanya. Soalnya mereka kan artis. Mereka mau hamil dua puluh tiga kali tanpa suami pun, masyarakat tetap akan mengidolakannya, penasaran ingin tahu kabarnya dan syukur-syukur mereka mau mengikuti perilakunya.” Di luar, hujan sudah reda. Meninggalkan suasana dingin yang memungkinkan bagi saya berdua untuk lekas-lekas masuk kamar tidur dan melakukan sebuah upaya regenerasi sejarah. Hmm…

Tak Ada Receh untuk Pengamen

Saya tidak tahu, di hadapan negara yang besar dan kaya raya ini -yang katanya penduduknya menganut kepercayaan kepada Tuhan, yang katanya rakyatnya berpegang teguh pada nilai-nilai adat ketimuran serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan- dimanakah letak nasib para pengamen? Terpaksa harus saya tanyakan nasib para pengamen ini karena secara tidak sengaja saya pernah melihat tempelan selebaran di sebuah pasar yang berisi tulisan NGAMEN GRATIS, dan dipojok kanan bawahnya tertera institusi yang mengeluarkan pengumuman itu: Ttd Polsek Kebumen. Tidak hanya satu selebaran, hampir semua pertokoan, baik kecil maupun besar, di pintu-pintunya tertera tulisan semacam itu. Saya tersenyum kecut melihat tulisan tersebut. Dan saya memiliki dua alasan penting untuk dikemukakan yang menyebabkan lahirnya tulisan ini kemudian: Pertama, mungkin karena terlalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang beradab dan penuh budi pekerti halus, maka hampir di segala bidang dibentuklah eufemisme-eufemisme. Mengusir pengamen diperhalus menjadi NGAMEN GRATIS, mengobrak-abrik pedagang kaki lima dipermak menjadi PENERTIBAN, mengucilkan pengemis dari satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka kerjakan diubah menjadi, BERBAHAYA DAN TIDAK MENDIDIK (lengkap dengan gambarnya yang biasa ditempelkan di perempatan-perempatan jalan besar). Kedua, mungkinkah kita sekarang ini hidup di suatu era dimana egoisme hampir menjadi panglima dari setiap gerak langkah kita. Egoisme yang saya maksudkan bukan hanya mau tahu kepentingan sendiri, akan tetapi pemahamannya telah memuai menjadi semacam keyakinan kolektif bahwa yang kita miliki benar-benar milik kita sendiri. Penganut keyakinan egoisme seperti ini barangkali memiliki prinsip bahwa, “hartaku adalah mutlak hartaku. Karena itu tak ada alasan untuk memberi sekadar uang receh kepada pengamen atau pengemis sekalipun, sebab itu berarti mengurangi jumlah hartaku.” Saya tidak tahu, apa yang bisa kita perbuat untuk menghentikan makin kencangnya laju fenomena semacam ini. Yang jelas, semua orang di pasar itu seakan merasa aman untuk tidak memberi dan membantu orang lain. Legalisasi untuk sebuah kebakhilan yang dikeluarkan institusi negara sekaliber Polsek -dengan kata-katanya NGAMEN GRATIS-, sepertinya membantu masyarakat untuk menikmati ketidakpedulian dan keacuhannya pada kesusahan orang lain. Kalaupun benar yang mengeluarkan maklumat itu adalah Polsek, maka itu artinya institusi negara telah memancing tumbuhnya sikap tidak peduli, tidak mau membantu, tidak mau tolong menolong serta menipiskan rasa kepekaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Mungkin saya paham alasan Polsek mengeluarkan atau bersedia menjadi penanggung jawab atas keluarnya peringatan edaran seperti di atas. Pengamen dapat mengganggu ketentraman dan keindahan sebuah kota. Itulah satu-satunya alasan klasik yang biasa dimiliki oleh pemerintah. Bahkan mungkin alasan seperti itu juga yang diyakini para pedagang sehingga mereka bersedia tokonya ditempeli surat edaran tersebut tanpa rasa sedih sedikitpun. Akan tetapi, apa yang bisa diperbuat oleh pemerintah dan kita semua untuk menentramkan kegelisahan para pengamen atau pengemis yang setiap hari dicekam rasa takut tidak makan? Tak ada jawaban yang pasti. Kita pun lebih memilih bungkam dan tidak mau tahu. Uang receh senilai seratus rupiah ternyata gagal kita perlakukan dengan benar. Kita gagal membaca kemungkinan bahwa dengan uang receh itu kita dapat mentransfer kasih sayang dan kepedulian antar sesama sebelum akhirnya kita mendapat transferan kasih sayang Allah, entah dengan cara dan dalam bentuk apapun. Seorang ibu, yang sempat saya tanyakan tentang masalah pengamen dengan lantang berkata, “Para pengamen itu hanyalah orang-orang yang malas bekerja. Padahal mereka masih muda, masih gagah dan kuat.” Saya maklum jika itu alasan yang membuat ibu-ibu dan bapak-bapak di pasar itu tak mau kehilangan receh seratus rupiahnya. Dan alasan ini sebenarnya bisa saja muncul di dalam benak kita sendiri. Akan tetapi, alasan yang demikian menyiratkan satu hal penting. Bahwa ternyata kita sudah terlalu lama tidak mau belajar kejernihan sehingga yang ada hanyalah buruk sangka demi buruk sangka. Kita lebih senang melempar uang receh tetapi dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan dari pada membiarkannya begitu saja seperti kita membuang upil. Logikanya, memberi dengan uang receh saja gerundelannya sehari semalam. Apalagi memberi sepuluh ribuan. Pasti menggerundel sepanjang tahun. Anomali Nilai-Nilai Sekarang kita sepakati saja bahwa NGAMEN GRATIS dan kata-kata senada lainnya merupakan potret baru dalam kebudayaan masyarakat kita. Ajaran tentang berbagi sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk luntur. Seorang pemilik toko dengan jumlah dagangan yang sangat banyak serta dengan pemasukan yang besar memandang kedatangan pengamen dan pengemis layaknya seekor anjing liar penuh borok. Sekeping uang receh terasa seperti satu ons emas murni. Mereka genggam erat-erat sampai suara sumbang para pengamen dan pengemis lamat-lamat pudar dan mereka pergi menahan kecewa. Lalu kepada siapakah mereka harus meminta? Pemerintah. Tidak mungkin. Sebab pemerintah tidak memiliki undang-undang untuk memberdayakan mereka. Yang dimiliki pemerintah adalah undang-undang untuk mengusir dan memberangus mereka. Mungkin kepada pemilik toko atau kita sendiri, yang dimata pengamen atau pengemis diyakini memiliki kelebihan dan kedermawanan untuk memberi. Rasanya kok tidak mungkin juga ya. Apalagi kita terbiasa bersikap tenang-tenang saja sebagaimana para pedagang di salah satu pasar di Kebumen itu. Intinya, kita sekarang ini sedang mengalami anomali nilai-nilai. Perlahan-lahan kita tanggalkan ajaran luhur dan kemudian kita ganti dengan ajaran baru yang kita sangka lebih luhur dari yang pernah kita miliki. Modus penggantian ajaran itu bermacam-macam. Salah satunya ya, dengan bahasa-bahasa eufemisme seperti di atas. Maka saya merasa bangga ketika suatu hari, di sebuah perempatan jalan Jogja, saya didatangi seorang pengemis anak-anak dan saya memberinya selembar uang ribuan. Tiba-tiba, seorang lelaki pengendara motor di samping saya berkata: “Mas, lihat peringatan itu, “katanya sambil menunjuk pada sebuah gambar yang berisi larangan memberi dengan alasan “tidak mendidik”. Saya menjawab dengan pelan, “Kalau mas menganggap perbuatan saya tidak mendidik, sebaiknya bawa anak ini ke rumah mas dan didiklah dia dengan benar. Tetapi kalau mas tidak mau mendidiknya, mas salah besar. Sebab sudah tidak mau mendidik, mas tidak mau memberi pula.” Lampu hijau akhirnya menyala. Dan para pengendara berebutan untuk saling mendahului. Termasuk lelaki itu tadi. Saya tidak tahu, apakah ia marah atau memang sedang buru-buru. 5 Maret 2010.

Terkepung

Seorang perempuan tua bergerak menyusuri malam di tengah gemuruhnya ibu kota. Tak ada yang tahu kemana tujuan yang hendak dicapainya. Namun sesekali terlontar dari bibirnya yang gemetar sebuah kalimat yang kira-kira berbunyi seperti ini: “Tuhan, bantu aku melepaskan diri dari kepungan poster-poster itu.” Sambil terus bergumam, ia pandangi keadaan di sekitar tempat ia berhenti untuk sejenak bernapas. Bermacam-macam poster dan gambar-gambar seseorang terpampang di sana-sini lengkap dengan nama, senyum manis, permohonan dan tentu saja sebuah janji. Kami siap berjuang untuk Anda. Jangan salah memasrahkan amanah, hanya kami yang bisa mewujudkan apa yang Anda amanahkan. Jangan tergoda rayuan, hanya kami satu-satunya orang jujur yang masih tersisa…dan tentu masih banyak lagi yang ia baca di sana. Melihat semua itu, ia hanya bisa menarik napas. Semakin ia perhatikan poster-poster yang ada di sekitarnya semakin besar ketakutan yang dideritanya. Ia menyadari pada era apa hidupnya sekarang ini dilalui. Sebuah era dimana harapan-harapan tentang masa depan tidak lebih dari sebuah iklan dan poster. Dan segala macam janji hanya akan berakhir tragis tanpa sebuah bukti dan bakti. Perempuan itu menyeret kembali langkahnya, menjauh dari lingkaran poster-poster yang membuatnya tak tahan berdiri. Namun ia sama sekali tak bisa menjauh dari sesuatu yang ditakutinya. Semakin ia melangkah, semakin dijumpainya poster-poster lain yang lebih mengerikan, yang lebih sangar karena di sana juga terpampang wajah-wajah keras dengan telunjuk yang menuding-nuding. Persis di depan gambar seseorang yang berdiri tegap dengan jas, baju berdasi, senyum manis dan tangannya yang menuding-nuding, perempuan itu berhenti dan menatapnya cukup lama. “Apa yang membuatmu berdiri di hadapanku dengan lagak seperti itu, tuan?” imajinasi telah memaksanya untuk membangun dialog di tengah-tengah kerisauan dan ketakutan yang ia rasakan. “Tidak ada. Selain keinginan berjuang untuk orang-orang macam Anda.” “Bagaimana saya bisa yakin bahwa Anda berjuang untuk orang macam saya, tuan?” “Lihat baik-baik apa yang ada di depanmu ini!” “Aku tak melihat apa-apa selain sebuah poster yang berisi gambar seseorang dengan senyum manis, pakaian nicis dan juga telunjuk yang menuding penuh percaya diri.” “Itulah gambaran sosok-sosok yang akan berjuang untuk orang-orang macam Anda. Itulah saya. Camkan apa yang saya janjikan pada kalimat-kalimat yang sudah Anda lihat sekarang ini.” “Tapi tahukah engkau tuan, apa yang paling aku takuti di duni ini?” “Jelas kematian.” “Benar, tuan. Kematian. Tetapi bukan sembarang kematian, melainkan kematian yang disebabkan oleh semua kata-kata yang tuan ucapkan sejak tadi. Kata-kata yang hanya tertinggal dalam selapis kertas poster dan tak pernah datang mengunjungi kamar kehidupan orang macam saya.” Tiba-tiba angin malam menyarangkan dingin dan gigil pada sumsum tulangnya yang renta. Membuyarkan imajinasi serta percakapannya yang hanya berputar-putar di sekitar kepalanya. Dan perempuan itu akhirnya kembali melangkah. Melewati semakin banyak lagi poster-poster dengan gambar-gambar yang ia rasa sudah tidak lagi tersenyum, melainkan menyeringai. Kalimat-kalimat yang ia baca seperti melahirkan lolongan-lolongan penuh cekam. Dan ia terus saja melangkah. Dengan cepat dan semakin cepat sambil tak lupa memanjatkan doa-doanya. “Tuhan, selamatkan aku. Selamatkan aku. Selamatkan aku!”

Tuhan Memilihku Jadi Pipa Saluran

Bagi Anda yang belum memiliki buah hati, barangkali catatan ini penting untuk dijadikan sebagai penyemangat akan pentingnya menjaga kesehatan si buah hati kelak. Sementara bagi yang sudah dikaruniai buah hati, semoga catatan ini dapat menggugah kesadaran Anda untuk membantu (minimal lewat doa) terhadap buah hati seorang kawan saya yang saat ini tergolek tak berdaya di ruang ICCU di salah satu rumah sakit di kota Pemalang. Sungguh malang nian nasib anak yang satu ini. Di usianya yang masih empat bulan dia sudah mengidap suatu penyakit yang membuat siapa saja yang mendengar nama penyakitnya pasti akan bergidik menahan ngeri; Radang Otak. Ya Tuhan! Jangankan untuk jenis penyakit yang konon hanya akan berujung pada kematian dan kalaupun sembuh akan menyebabkan yang bersangkutan mengalami kelainan, sekadar buah hati menderita demam, pilek dan penyakit-penyakit yang biasa dialami bayi saja, sebagai orangtua kita pasti akan uring-uringan. Sementara penyakit bayi ini? Oh….,seandainya Anda yang jadi orangtua si bayi itu, sungguh tak terperikan bagaimana nelangsa dan menderitanya perasaan Anda saat itu. Saya yakin Anda pasti akan blingsatan seandainya takdir penyakit itu ditimpakan kepada Anda, keluarga Anda, orang-orang dekat Anda maupun orang-orang yang teramat sangat Anda cintai. Bayi suci yang oleh orangtuanya diberi nama Jordy Alfarisi ini barangkali tidak dapat menyampaikan rasa sakit yang dialaminya dengan jelas kepada orang-orang di sekitarnya setelah tingkat penyakit yang diidapnya telah membuat dia koma. Koma untuk suatu waktu yang tak dapat dipastikan akan kapan berakhirnya. Dan yang lebih membuat gigil hati dan perasaan adalah ketika biaya perawatan yang hingga saat ini hampir mencapai seratus juta itu harus ditanggung oleh orangtua Jordy yang pekerjaan utamanya hanyalah sebagai buruh pabrik. Bisa Anda bayangkan, berapa sih gaji seorang buruh kasar pabrik? Jika selama satu bulan dia harus menerima gaji sebesar tiga atau lima ratus ribu misalnya, butuh berapa bulan dia bekerja untuk dapat mengumpulkan duit sebanyak seratus juta? Butuh berapa banting tulang dan berapa ribu liter keringat yang harus dikeluarkan oleh ayah Jordy agar anaknya bisa ditangani? Di sini kita dipertemukan kembali dengan kenyataan bahwa rasa cinta dan kasih sayang orangtua itu tak mengenal batas harga. Berapapun, asalkan si buah hati dapat diselamatkan, orangtua pasti akan berusaha, bahkan kalau perlu harus bertaruh nyawa. Dan Anda pasti akan berpikir sama seandainya anak Anda mengalami nasib serupa sebagaimana si Jordy kecil ini. Tak ada orangtua -yang benar-benar orangtua- rela membiarkan anaknya menemui kematian akibat penyakit yang diderita betapapun si orangtua itu sendiri sadar bahwa tidak ada pilihan lain untuk mengatasi penyakit itu selain hanya menunggu kepastian Tuhan akan takdir yang telah ditentukan-Nya. So, apa yang harus kita lakukan? Atau lebih tepatnya apakah kita perlu melakukan sesuatu untuk keluarga Jordy? Kalau pun perlu, seperti apa bentuk bantuan yang dapat kita berikan mengingat selama ini ada banyak sekali jenis-jenis bantuan yang bisa diberikan seseorang kepada orang lain. Mulai dari tenaga, harta atau yang lebih simple dan mudah; doa dan penyemangat. Saya sendiri bingung bentuk bantuan seperti apa yang harus saya berikan kepada orangtua Jordy saat ia -melalui orang lain- menyampaikan keinginannya untuk pinjam uang kepada saya. Saya tidak memiliki kekayaan berlimpah (dan kalaupun saya kaya belum tentu juga mau membantu), yang sedianya dapat saya sumbangkan sekadar untuk sedikit meringankan beban Jordy, terutama orangtuanya. Setelah lama saya dilanda kebingungan dan berpikir mencari cara untuk dapat membantu walau tak seberapa, akhirnya datang juga sebuah saran dari istri agar saya menghubungi seorang sahabat senior yang memungkinkan dapat memberi bantuan. Saya ikuti saran istri saya dan syukurlah sahabat senior saya bersedia memberi bantuan. Sepanjang jalan menuju tempat kediaman sahabat saya untuk mengambil bantuan itu, saya teringat kembali pada guru saya yang pernah berkata seperti ini: “Ketika seseorang datang kepadamu dan meminta bantuanmu, maka sesungguhnya ketika itu Tuhan tidak sedang salah pilih, bahwa engkaulah yang memang diperkenankan dan diijinkan oleh-Nya untuk membantu. Sedapat mungkin jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan langsung oleh-Nya. Kalau ketika itu engkau sendiri tidak berdaya, mohonlah kepada-Nya agar Dia memberikan jalan keluar bagi dirimu. Toh sejatinya Dia yang memilihmu, dan Dia pasti tahu apa yang terbaik untuk kamu lakukan sehingga kamu tetap bisa memberikan bantuan.” Meski dilanda rasa malu, tidak enak hati dan rasa sungkan yang luar biasa kepada sahabat senior saya itu, saya tetap bersyukur, bahwa sekalipun menjadi perpanjangan tangan dari proses tolong menolong ini setidaknya saya sudah melakukan sesuatu untuk orang lain. Tetapi dalam hati tetap saja ada yang mengganjal, terutama karena saya tidak bisa memberi bantuan sebanyak yang diberikan sahabat senior saya tadi. Untuk sahabat senior saya, terima kasih tiada hingga. Mengingat hal ini, saya jadi sedikit iri. Sebab saya merasa, Tuhan sebenarnya tidak sedang memilih saya untuk dapat membantu orang lain, tetapi Dia memilih sahabat senior saya tadi. Saya ini dipilih Tuhan sekadar untuk jadi pipa saluran saja. Mungkin Anda akan berkata, “Masih untung yang memilihmu jadi pipa saluran adalah Tuhan, bukan pegawai PDAM itu.” Hah….tau, ah! Ini ceritaku. Apa ceritamu? Kebumen, 29 Oktober 2011

Ukhuwah Setaniyah

Oleh Salman Rusydie Anwar Beberapa penceramah, betapa amat seringnya menyuarakan kata ukhuwah islamiyah. Bahkan istilah ini sedemikian rupa populernya sehingga dalam setiap hal masalah yang dihadapi umat, salah satu solusinya adalah mempererat "ukhuwah Islamiyah." Namun hati ini jadi risau sendiri ketika kemudian muncul kasus pengrusakan, penyerangan dan berbagai tindak kekerasan oleh satu kelompok pada kelompok lain, yang nyata-nyata ke-2 kelompok itu sama-sama menganut agama. Kalau begitu, apakah sudah luntur yang namanya ukhuwah islamiyah? Mungkin para penceramah itu (dan juga kita semua) perlu meninjau kembali apa kandungan makna dari kata-kata ukhuwah islamiyah. Apakah ukhuwah islamiyah harus berarti persaudaraan sesama umat islam, atau malah ada kemungkinan makna lain, seperti persaudaraan yang saling menyelamatkan. Dua makna ini jelas akan sangat berbeda vibrasinya seandainya dihayati dalam laku perbuatan. Pada pemaknaan yang pertama, ukhuwah islamiyah itu cenderung tertutup karena hanya mau mempersaudarai manusia yang seagama saja, dan orang yang tak seagama kita anggap duri yang harus disingkirkan. Sementara pada pemaknaan yang kedua, kita cenderung bersikap apresiatif pada orang lain, betapapun ia menganut agama atau madzhab yang berbeda. Dengan ini kita menjadi lautan yang sanggup menampung apapun, bukan semata bangga menjadi gelas yang hanya tahu volume air yang seteguk itu. Maka sungguh tak menggembirakan jika para penceramah di televisi itu kerap omong-omong soal ukhuwah islamiyah tanpa mempertegas cakupan makna dari kata itu. Akibatnya, apa yang mereka omongkan kurang dipararelkan oleh pemiarsanya di tengah-tengah konstelasi kehidupan yang penghuninya tak hanya umat islam, tapi juga ada jin, genderuwo, wewegombel, atheis dan kroni2nya. Ketika tak bisa pararel, maka kekerasan kolektiflah yang berlaku, hingga tindakan kekerasan bersama yang mereka lakukan bukan hanya tidak mencerminkan ukhuwah islamiyah, namun juga mirip ukhuwah setaniyah, iblisiyah, genderuwowiyah dan monsteriyah. Payah kan???????

KAMPUNG JAGAD DAN MANUSIA ULUL ALBAB

Kalau kita mendengar seseorang menyebut kata “kampung”, mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah sehimpunan rumah-rumah sederhana, yang dihuni oleh orang-orang sederhana, dengan pekerjaan dan penghasilan sederhana serta mungkin juga dengan cita-cita yang amat sangat sederhana. Karena serba sederhana itulah maka istilah “kampung” selama ini cenderung dianggap kolot atau tidak modern. Yang lebih ironis lagi, jika ada seseorang disebut “kampungan”, pasti yang ada di dalam kepala kita adalah pandangan kurang manusiawi tentang orang tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian yang kurang nyaman tentang istilah kampung. Berbeda dengan Bahasa Inggris yang mengartikan “kampung” salah satunya dengan istilah homeland yang berarti tanah air, persada, dan tanah tumpah darah. Ada juga istilah hometown yang berarti kota kediaman dan kota asal, meski ada juga pengertian yang tak kalah kurang nyamannya dengan pengertian kampung yang disajikan dalam Kamus Bahasa Indonesia sebagai kelompok rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah, terkebelakang (belum modern) dan berkaitan dengan kebiasaan di kampung dan kolot. Sementara kata “jagad” memiliki pengertian sebagai dunia. Kata ini merupakan bahasa Jawa yang kerap juga disebut dengan istilah “Jagad Raya”. Jagad raya itu sendiri adalah istilah lain dari alam semesta. Ia (jagad raya) adalah sebuah ruang tempat segenap benda langit berada, termasuk bumi tempat manusia hidup, bermilyar-milyar bintang, planet-planet, komet, meteor, debu, kabut, gas dan sebagainya. Dengan kata lain, jagad adalah sebuah ruang besar dimana segala sesuatu berkumpul membentuk satu kesatuan yang harmonis. Nah, ketika saya pertamakali mendengar istilah “Kampung Jagad”, awalnya saya mengalami kebingungan mengenai pengertian dari dua kalimat tersebut, meski akhirnya saya mencoba mendefinisikannya dengan dua pengertian sebagaimana berikut: Pertama, Kampung Jagad barangkali dapat kita pahami sebagai rumah, tempat, organisasi atau perkumpulan kecil dan sederhana dimana para penghuninya mencoba merangkum dan mempertemukan sekian banyak fakta-fakta yang ada untuk kemudian dipelajari secara bersama-sama. Ini semacam laboratorium kecil yang tugasnya meneliti banyak hal besar. Kedua, Kampung Jagad barangkali juga dapat dipahami sebagai ruang yang dipergunakan untuk mempelajari hal-hal kecil dan sederhana namun memiliki tujuan yang sangat besar terutama karena bersinggungan dengan esensi masa depan kemanusiaan. Oleh sebab itu, yang diutamakan disini bukan seberapa banyak dan hebatnya materi yang dipelajari, melainkan untuk tujuan apa pembelajaran itu dilakukan. Karena lebih berposisi sebagai tempat untuk belajar, maka dalam pemahaman saya Kampung Jagad kurang lebih adalah sarana untuk mengaktifkan tugas kemanusiaan kita, khususnya tugas untuk mempelajari segala sesuatu dari yang remeh temeh hingga yang besar dan mewah. Dan karena ia merupakan “kampung”, maka pesertanya boleh siapa saja, dari kalangan apa saja, serta dengan status social yang bagaimana saja. Artinya, di Kampung Jagad ini semua elemen dapat diterima dan lebur dalam ritme kebersamaan yang hangat sebagaimana halnya kepribadian orang-orang kampung yang selalu ramah dan bersahaja menerima siapapun saja. Manusia Ulul Albab Persoalannya adalah; apa yang harus dipelajari? Apakah yang namanya belajar itu harus selalu dilaksanakan dengan buku panduan khusus, ruangan khusus dan juga harus mendatangkan guru khusus? Jika tugas belajar harus memiliki arti sebagai sekolah, kampus atau pesantren, maka gugurlah makna tentang Kampung Jagad tadi karena apa yang sesungguhnya dapat kita pelajari tak bisa tertampung hanya dalam berlembar-lembar buku. Belum lagi dengan adanya kenyataan bahwa terkadang orang-orang kampung tidak mendapatkan akses belajar yang memadai sebagaimana halnya orang-orang kota. Kembali kepada pengertian “jagad” di atas, maka sesungguhnya alam semesta ini, kehidupan dengan segala dinamikanya ini, tidak lain adalah bahan-bahan pelajaran yang sangat berarti. Dalam surat Ali Imran ayat 190-191, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Sejatinya, manusia itu harus menjadi sosok ulul albab, sosok yang selalu mau belajar dan berpikir tentang apa saja. Tujuan dari belajar itu bukan untuk menjadi apa-apa, melainkan terutama untuk menjadi “hamba” Tuhan yang mampu menyadari bahwa apa yang telah Ia ciptakan tidak ada yang sia-sia. Kehadiran sekolah, buku-buku, guru dan laboratorium hakikatnya adalah salah satu cara yang dibuat untuk mengantarkan seseorang mengenali hakikat keadaan. Akan tetapi bukan tidak mungkin seseorang dapat memahami hakikat keadaan itu meski tanpa harus bersinggungan dengan sekolah, dengan buku dan sebagainya. Nah, Kampung Jagad ini adalah tempat belajar yang sedikit menyimpang dari pemahaman umum masyarakat mengenai makna belajar itu sendiri. Saya mengandaikan bahwa di Kampung Jagad ini sudah tidak ada lagi istilah guru, melainkan yang ada seluruhnya adalah “murid”. Murid atau Muridun adalah bentuk isim fail dari kata Arada yang artinya adalah orang yang menghendaki sesuatu, menyelidiki sesuatu yang dalam konteks pembelajaran dapat kita artikan sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk mempelajari segala sesuatu yang ia lihat dan rasakan. Dan sekali lagi, alam yang luas ini, jagad ini menyimpan sekian banyak pelajaran yang harus kita ketahui. Di dalam jagad ini ada fakta-fakta yang harus kita kenali, ada teks-teks yang harus kita kaji, dan juga ada metateks dan konteks-konteks yang tidak boleh kita lewati. Kalau Anda melihat tayangan Indonesian Idol di televisi, maka yang harus Anda ketahui bukan sekadar fakta bahwa ada acara hiburan berupa penyaringan bakat menyanyi di dalamnya. Tetapi Anda juga harus belajar menyadari dan memahami bahwa Anda sedang dipancing untuk memperhatikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan bagaimana meningkatkan kualitas masa depan hidup Anda. Anda sedang digiring untuk menikmati hiburan sebagai hiburan belaka. Anda diminta memberikan dukungan dengan merelakan diri menyerahkan uang sebesar Rp. 2.200,00 untuk sekali dukungan. Pertanyaannya, selain kesenangan semu, apa yang bakal Anda dapatkan seandainya Anda memberikan uang dukungan via SMS sebesar Rp. 2.200, 00 itu? Apakah idola yang Anda dukung itu suatu ketika akan datang menjumpai Anda dan membantu kesulitan-kesulitan Anda sebagaimana mereka juga merasa kesulitan untuk menang seandainya tidak mendapatkan dukungan? Temukan perbedaannya antara memberikan uang Rp.2.200 kepada dunia hiburan dengan memberikan uang sejumlah itu kepada anak yatim atau fakir miskin misalnya. Di Kampung Jagad, kita belajar mencermati hakikat dan kebenaran dari sebuah realitas sebelum kita buru-buru menganggap benar realitas itu sendiri. Kita belajar mencermati dan mempelajari air sebelum kita memutuskan untuk meminumnya. Dengan belajar kita akan tahu apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya kita lakukan. Dengan belajar kita akan mengerti bagaimana memberikan sebuah keputusan bagi hidup kita sendiri. Maka, marilah kita berusaha menjadi manusia-manusia ulul albab, agar kita tidak disesatkan oleh kesemuan-kesemuan pengetahuan, oleh kesamaran-kesamaran pemahaman sehingga nantinya kita tidak lagi ragu mengatakan mana kebenaran yang mencerahkan masa depan dan seperti apa kekeliruan yang dianggap kebenaran.

KITA PILIH JADI CECAK ATAU BUAYA?

Buka mata Anda. Tataplah hamparan negeri ini yang sejak semula sudah kita sepakati sebagai kawasan gemah ripah loh jinawi, toto tenterem kartaraharja, entah dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Bahkan ketika kita mengalami masalah-masalah kontroversial sekalipun seperti yang akhir-akhir ini kita rasakan. Dan untuk itu, saya memiliki dua catatan untuk kita renungkan dan diskusikan bersama. Pertama Dua otot (institusi KPK dan POLRI) yang merupakan sandaran kekuatan negeri ini saat sekarang sudah saling bersitegang. Masing-masing keduanya mengklaim sebagai pihak yang paling benar dan saling melempar bermacam-macam tudingan kesalahan. Dan kita hanya mampu memohon semoga tangan-tangan keadilan dapat dengan tepat mengangkis siapa yang benar-benar benar, dan mampu mengelus menyadarkan siapa yang benar-benar salah. Namun sebenarnya yang paling inti dari semua itu adalah maraknya penggambaran atau ilustrasi yang hendak menunjukkan bahwa ada pihak yang berhasrat memposisikan diri sebagai superioritas dengan menginferioritaskan pihak lain. Simbol dari ilustrasi yang digunakan pun cukup “estetik” dan sangat nyata menunjukkan bahwa pembuatnya seakan memang paham tentang bahasa-bahasa puitik. Cecak berhasrat menangkap buaya. Cukup puitik, bukan? Tetapi hanya manusia bodoh yang mau percaya bahwa ada cecak yang bisa menangkap buaya. Jangankan level orang dewasa macam kita. Anak kecil yang belum pantas duduk di bangku TK pun rasa-rasanya akan menertawakan kita seandainya kepada mereka dikatakan, ada cecak yang mau menangkap buaya. Jika dikaitkan dengan hukum sunnatullah, seandainya memang ada seekor cecak yang berhasil menangkap buaya maka kejadian itu tidak lain adalah bagian puncak dari tanda-tanda datangnya hari kiamat. Akan tetapi jika istilah cecak dan buaya itu benar-benar kita posisikan sebagai sekadar simbol untuk mewakili dua kepribadian, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa sangat mungkin cecak bisa menangkap buaya. Persoalannya adalah siapa yang harus mewakili dirinya sebagai cecak dan siapa saja yang merasa perlu menjadi buaya? Kalau istilah cecak itu hanya dipautkan pada institusi KPK dan buaya kepada POLRI, maka ruang lingkup keduanya terlalu kecil dan remeh. Dan oknum yang mengeluarkan istilah itu pun nampaknya tidak ingat dan mengerti akan ilmu sejarah. Dengan ilustrasinya itu barangkali si oknum hendak menyangka bahwa KPK merupakan lembaga kecil dibanding dengan POLRI. Ia (KPK) cecak dan POLRI buaya. Tetapi ia lupa bahwa KPK memiliki jalur-jalur yang secara langsung bersentuhan dengan urat nadi kehidupan rakyat. Lembaga itu memutus mata rantai ketidakadilan yang menjadikan hak-hak rakyat tidak bisa sampai kepada mereka. Lembaga itu berusaha memberi “surat tilang” kepada para penggelap uang rakyat dibanding POLRI yang selama ini terbiasa memberi surat tilang kepada rakyat. Dalam konsep demokrasi yang sesungguhnya, kita mengenal bahwa kedaulatan terbesar ada di tangan rakyat, pemilik utama saham kekayaan suatu bangsa adalah rakyat, bahkan Tuhanpun merelakan diri menjadikan suara mereka sebagai suara-Nya juga (fox populie fox die), sehingga dengan sangat gamblang dapat kita tebak bahwa rakyatlah yang paling besar dan paling berkuasa di dalam suatu bangsa. Maka dalam konteks pembicaraan kita, rakyatlah sebenarnya sang “buaya” itu, sang pemilik kekuatan-kekuasaan itu. Dan POLRI itulah sebagian cecaknya. Tetapi iklim demokrasi di negeri ini tidak pernah mau berkembang dengan cara pandang seperti itu. Rakyat selalu di-cecak-kan oleh penguasa maupun aparat yang bermental buaya. Dari waktu ke waktu rakyat selalu harus menelan kekecewaan karena pemimpin-pemimpin mereka kerap menelan nasib kesejahteraan mereka bulat-bulat, laksana buaya yang menelan seekor babi. Hingga sampai pada waktunya dimana Tuhan benar-benar bertindak atas nama suara mereka. Tuhan menggiring rakyat Indonesia untuk memberi dukungan penuh kepada KPK (saya tidak mau mengidentikkan KPK hanya pada Bibit dan Chandra). Tuhan mengerti betul bahwa KPK memiliki hubungan serius dengan kesejahteraan dan hati nurani rakyat. Soal apakah pemimpin-pemimpin KPK dalam menjalankan lembaga ini sesuai dengan amanat nurani rakyat, itu hal lain. Tetapi yang jelas, simpati rakyat kepada KPK dapat mencerminkan apa yang saya maksud. Bahwa secara filosofis, KPK-RAKYAT adalah “buaya” yang berhak menguasai kekayaan tanah perairan Indonesia, dan di luar diri mereka tidak lain adalah cecak belaka. Tetapi kalau sampai hari ini Anda sebagai rakyat Indonesia tetap tidak diberi peluang untuk menjadi “buaya” yang berhak menguasai harta kekayaan Anda sendiri, yang berhak menentukan kedaulatan Anda sendiri, yang berhak merumuskan keadilan untuk sejahteranya hidup Anda sendiri dan bahkan Anda tetap dianggap sebagai cecak oleh sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang bermental buaya, saya harap Anda tetap survive. Tidak terlalu sakit hati dan putus asa. Barangkali keadaan Anda yang demikian itulah yang akan dijadikan alasan oleh Tuhan untuk menempatkan Anda di atas puncak dinding sejarah yang putih bersih seperti halnya tempat cecak, daripada harus berdiam di dalam kubangan lumpur yang penuh bau sebagaimana buaya. Sebagai rakyat yang dianggap cecak, Anda juga patut tetap berbangga karena para pemimpin dan wakil-wakil Anda yang duduk di kursi kekuasaan itu rata-rata mereka hapal dengan sebuah lagu yang mencerminkan bahwa Anda tetap memiliki manfaat besar di dalam kenyamanan rumah tangga kehidupan mereka. Coba saja suruh mereka bernyanyi: Cecak-cecak di dinding. Diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk. Hup! Lalu ditangkap. Pasti mereka bisa. Kedua Kalau tiba-tiba Tuhan mendatangi saya dan bertanya: pilih sorga atau tetap tinggal di negeri yang bernama Indonesia, maka tanpa ragu akan saya jawab, “Saya memilih tetap tinggal di Indonesia.” Anda boleh bilang saya ini bodoh dengan jawaban seperti itu. Akan tetapi memang begitulah yang ada di dalam kalbu saya saat ini. Sebab bagaimana mungkin saya tidak akan memilih tetap tinggal di negeri ini sementara ari-ari saya ditanam di dalam kesuburan tanahnya yang setiap detik selalu ditumbuhi dengan gedung-gedung menjulang, dengan angan-angan lembut membuai serta sekaligus juga racun. Saya tidak dapat membayangkan akan bisa hidup tenang di dalam sorga yang segalanya serba transparan hingga sedemikian rupa tingkat transparan itu, sampai-sampai air yang mengalir melewati kerongkongan isteri-isteri kita kelak dapat dengan begitu mudah terlihat oleh mata. Bagaimana kalau seandainya saya mau iseng berbuat affair dengan perempuan-perempuan lain di sana atau mau melakukan sedikit pengingkaran misalnya. Tentu saja akan dengan mudah diketahui, bukan? Itu sebabnya saya tetap memilih tinggal di Indonesia. Indonesia, lebih nyaman dibanding sorga karena pengingkaran dan pengkhianatan macam apapun dapat dengan mudah ditutupi, dibuat kabur dan samar tidak terlihat. Semua kebusukan dan penyelewengan tidak sembarang dikuakkan sebagaimana di sorga. Dan bahkan sangat mungkin pengingkaran itu dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi. Di negeri ini, saya juga dapat dengan mudah menjadi pemimpin, menjadi wakil-wakil amanah rakyat, menjadi pemangku kebijakan di semua lini kehidupan yang ada di dalamnya. Saya tidak perlu mengutarakan apakah profesionalisme keilmuan saya memungkinkan atau tidak untuk mengisi jabatan-jabatan semacam itu. Negeri ini hanya memberi dua syarat untuk menjadi itu semua. Kemauan dan uang. Jika Anda mau dan memiliki uang, maka silahkan maju dan Andapun bakal jadi. Selain itu, belum pernah saya temukan informasi tentang sebuah negeri yang aktualisasi hukum keadilannya lebih rapi dibanding negeri saya Indonesia. Bahkan sorga nampaknya belum merancang hukum yang seperti negeri saya ini terapkan. Jika Anda mau berbuat tidak adil di sini, maka ketidakadilan Anda akan disimpan dengan begitu rapi di bawah rumus-rumus hukum yang ada. Ingatlah, bukankah ketidakadilan itu adalah aib dan setiap aib harus ditutup rapat-rapat. Di negeri ini, saya juga tidak perlu merasa khawatir kalau misalnya mau menipu, berkhianat, berperilaku munafik, mengingkari amanah, menodai kepemimpinan, dan memanipulasi kepercayaan rakyat, karena sistem yang berlaku di dalamnya dapat dengan mudah saya belokkan sesuka hati saya. Syaratnya gampang: kemauan dan uang. Soal uang, tidak sulit bagi saya untuk mendapatkannya. Terlebih jika saya sudah memangku jabatan-jabatan itu. Negeri ini sangat kaya, bahkan lebih kaya dari yang bisa kita bayangkan. Sedemikian besar kekayaan negeri ini hingga mau dikorupsi atau dicuri sebanyak apapun tetap tidak akan menjadikannya kelimpungan. Semua masih tetap bisa tertawa, bergembira, bernyanyi dan mengadakan pesta demi pesta. Dan kalau ada yang ketahuan mencuri, hukum negeri saya sebenarnya cukup mampu untuk menangkap si pencurinya. Akan tetapi, karena yang paling diutamakan di sini adalah rasa belas kasih sayang serta rendah hati maka tidak sedikit diantara pencuri-pencuri itu yang dibiarkan lepas begitu saja. Dan barangkali untuk menggugah rasa kesadaran mereka agar bisa benar-benar bertobat, para pencuri itu juga dibiarkan pergi mengasingkan diri ke negeri-negeri lain. Diikhlaskan lepas dari jerat-jerat hukum. Mereka dibiarkan hijrah dan bertapa di sana sehingga mereka akan tetap merasa aman tak terusik. Indah, bukan? Itulah salah satu sebab yang membuat saya betah dan cinta mati kepada Indonesia sehingga tawaran sorga dari Tuhan pun tetap saya tolak mentah-mentah. Semoga tidak ada yang mau mengikuti kebodohan seperti yang saya lakukan ini. *Budayawan

Doa Dari Dia

Seseorang yang masih tercatat sebagai santri pondok ini, pada hari Selasa tanggal 29 Desember 2009 tepat jam 12:02:46 mengirimkan doa lewat layanan SMS. Bunyi doa di dalam SMS nya itu persis seperti ini: alhamdulillah…pa kbr sobat?smg engkau slalu d rahmati&d ridhoi Allah swt.amin… Saya tertegun beberapa detik melihat layar ponsel, atau lebih tepatnya memikirkan doa yang datang secara tiba-tiba itu. Kemudian pikiran saya bereaksi cepat dan segera menghadirkan gambaran sosok pengirim doa itu kepada saya. Tak lama berselang lengkap sudah gambaran tentang dirinya dalam pikiran saya waktu itu. Mulai dari bentuk wajahnya, rambutnya, postur dari keseluruhan tubuhnya, nada dan irama suaranya kalau bicara serta (dan ini yang paling menjadi ciri umum) kedekilan dan kesemrautan penampilannya. Pikiran kotor saya bertanya, “Apakah Tuhan akan menerima doa dari manusia macam dia?” Sedikit lama saya merenungkan pertanyaan di atas sebelum akhirnya saya bersedia membalas SMS nya. Dan selama merenung itulah berbagai pemikiran muncul di dalam tempurung kepala saya, yang seandainya saya rinci akan tertuang menjadi beberapa ilustrasi sebagaimana berikut:  Sampai detik ini, sebagian orang masih percaya bahwa doa dapat membantu melepaskan himpitan-himpitan psikologis yang terdiri dari harapan dan kecemasan. Antara harap dan cemas, orang kemudian berdoa agar dalam kemarung hidup yang tak terlalu menentu ini mereka masih bisa untuk berdiri. Sederhananya mereka dapat berkata, “Kalau yang kita harapkan tak ada jaminan bisa diraih. Kalau yang kita cemaskan tak ada jaminan untuk tak terjadi. Maka berdoalah!”  Meski samar, doa, ternyata dapat menyebabkan makin kukuhnya persaudaraan. Selain dapat membebaskan diri dari himpitan psikologis doa juga dapat menyegarkan psikologis, baik doa yang dilakukan sendiri atau lebih-lebih dilakukan orang lain yang secara khusus diperuntukkan untuk kita. Ya, seperti kawan kita di atas itu. Segarnya psikologi itulah yang barangkali dapat mengikis keraguan kita untuk memberi doa balasan pada orang yang telah mendoakan kita. Bukankah ini suatu bentuk perhubungan kemanusiaan yang begitu indah? Mungkin, beberapa cuplikan catatan di atas masih terkesan begitu serampangan dan dangkal. Namun saya sepakat dengan apa yang pernah ditulis Goenawan Muhammad bahwa; “dengan berdoa kita menjadi sadar bahwa kita tidak lebih dari sekadar titik debu.” Debu, ketika masih setitik, akan mudah terpelanting oleh angin. Namun ketika titik-titik debu berkumpul, terus berkumpul hingga kemudian menggumpal dan melakukan proses menuju pengkristalan dirinya, maka ia akan menguat menjadi bongkah batu. Lalu angin manakah yang sanggup membanting batu? Semua yang masih ada di sini maupun yang sudah menjalani kehidupan lanjutan di luar sana perlu memproses ketangguhan sikap hidupnya agar senantiasa kukuh dan tak mudah terbanting sebagaimana batu. Jadi, ayolah saling mendoakan agar kita bisa memadukan ketitikdebuan kita sampai kelak kita menjadi tugu yang dibangun dari lapisan batu-batu ketangguhan hidup kita sendiri. “Ya,nggak. Ya, nggak?”

PPST Ar-Risalah dan Oase Para Thawalib

Matahari begitu garang membakar tubuh ketika kami bersama beberapa penumpang lainnya keluar dari dalam gerbong kereta. Riuh rendah suara penumpang yang hendak melanjutkan perjalanan seakan menambah kegerahan suasana. Apalagi saat itu kondisi kami sedang dalam keadaan berpuasa. Beruntung saat itu mobil yang menjemput kami sudah lebih dulu tiba dan menunggu di areal parkir stasiun kereta api Kediri, sehingga kami tidak perlu memperpanjang kelelahan setelah menempuh perjalanan selama enam jam dari kota Jogja. Kegerahan sedikit terobati sesaat setelah kami merebahkan tubuh di kursi mobil yang dilengkapi dengan Air Conditioner (AC). Kesejukan semakin sempurna kami rasakan ketika mobil yang membawa kami melaju dengan kecepatan sedang, melewati jalanan kota Kediri yang terlihat ramai. Kami menyempatkan diri memandang deretan bangunan demi bangunan yang berjejer rapi sepanjang jalan. Apalagi pada saat melintasi sungai Brantas yang tenang dan luas, salah satu icon kebanggaan masyarakat Kediri selain pabrik rokok Gudang Garamnya yang begitu terkenal. Selang beberapa waktu, akhirnya kami sampai di halaman sebuah rumah yang terletak di pojok simpang tiga, tepatnya di samping pintu gerbang Perumahan Wilis Indah. “Silahkan istirahat dulu di sini, Mas,” kata Mbak Anil, salah seorang yang turut menjemput kami ke stasiun. Hari itu Kediri memang terasa panas, dan satu-satunya keinginan kami waktu itu hanya mandi, shalat dan istirahat. Namun tidak semua keinginan itu kami lakukan. Selesai mandi dan shalat, kami justru menyempatkan diri untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Alangkah terkejutnya ketika mata kami melihat sebuah tulisan yang berbunyi Pondok Pesantren Lirboyo. Lama kami tertegun di depan pintu gerbang pesantren itu. Dan membaca namanya, kami menjadi teringat dengan sebuah puisi yang pernah dilantunkan oleh KH. Musthafa Bisyri, seorang penyair kenamaan asal Rembang, yang secara tidak langsung memperkenalkan nama Lirboyo kepada kami lewat salah satu sajaknya yang berjudul Lirboyo, Kaifal Hal. Pertamakali membaca dan mendengar lirik puisi Gus Mus, begitu ia akrab disapa, yang terbayang di benak kami adalah kemegahan sebuah pesantren, baik dalam segi bangunannya, jumlah santrinya dan charisma kiai-kiai pengasuhnya. Dan apa yang kami bayangkan saat itu rasanya tidak begitu salah dan berlebihan, apalagi ketika kami memasuki salah satu unit pesantren Lirboyo yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafy Terpadu (PPST) Ar-Risalah di bawah kepengasuhan KH. Ma’ruf Zainuddin bersama istri, Ny.Hj. Aina Ainaul Mardhiyyah Anwar. Sekilas, memandang pesantren ini layaknya memandang sebuah bangunan hotel. Ruang-ruang kamar berjejer rapi dengan lantai putih bersih mengkilat. Tampaknya, pesantren yang satu ini mencoba melepaskan diri dari stereotipe pesantren yang sering diasumsikan kumuh dan kotor. Di halaman depan pesantren ini tumbuh beberapa jenis tanaman berukuran besar dan kecil yang membuat suasana bertambah sejuk dan nyaman. Ada pohon mangga, kelapa, dan beberapa tanaman rambat lainnya Belum lagi suara burung yang sengaja dipelihara, semakin menambah tentram suasana. Hari itu, kami datang dan memasuki kompleks PPST Ar-Risalah dengan sebuah tugas yang cukup berat, yakni memberi pelajaran tentang jurnalistik khususnya bidang sastra. Kami katakan tugas tersebut cukup berat karena beberapa alasan. Pertama, seperti yang sering kami rasakan pada saat mengisi acara serupa di tempat-tempat lain, bahwa tidak banyak orang yang memiliki minat besar terhadap dunia tulis menulis. Hal itu dengan sendirinya akan membuat antusiasme peserta diklat menjadi menurun. Kedua, keberadaan jurnalistik terutama di bidang sastra masih begitu jauh tersisih dalam pergaulan. Sastra dianggap hanya menawarkan mimpi, imajinasi dan sama sekali tidak peka terhadap masalah riil kehidupan. Itu sebabnya ia sering dijauhi. Padahal faktanya bisa sama sekali berkebalikan dengan anggapan seperti itu. Dua hal inilah yang membuat kami harus bekerja ekstra keras untuk bisa menumbuhkan antusiasme peserta, baik terhadap program diklat dan terutama pada materi sastra yang kami sampaikan. Sejak dari Jogja sudah kami bayangkan betapa tidak mudahnya menjaga antusiasme peserta diklat jurnalistik, dan karena itu sudah kami persiapkan beberapa langkah antisipasi untuk mengatasi masalah itu. Namun apa yang kami bayangkan ternyata tak berlaku di sana, di PPST Ar-Risalah yang hijau itu. Kami keliru menggambarkan sosok-sosok santri yang biasanya tidak begitu apresiatif terhadap sesuatu yang seakan-akan tak berhubungan dengan agama: jurnalistik. Malah sebaliknya, yang kami hadapi adalah sosok-sosok santri dengan tatapan nyalang penuh semangat, langkah yang bergesa penuh tekad, suara lantang penuh harapan dan dada membusung penuh optimisme. Di dalam sejuknya kawasan Ar-Risalah, kami menghadapi santri-santri yang tak kenal lelah, enerjik dan senantiasa menunjukkan minatnya yang begitu besar terhadap sesuatu. Dan melihat kenyataan itu, kami pun ikut bersemangat. Seluruh kemampuan dan energi, kami kerahkan untuk bisa menyampaikan berbagai materi secara maksimal. Apalagi pada saat materi latihan diberikan, dimana hampir semua santri dapat mengerjakannya dengan hasil yang tidak terlalu mengecewakan. Dari sana akhirnya kami berpikir, bahwa kemegahan bangunan PPST Ar-Risalah seperti mencerminkan semangat santri-santrinya. Kebersihan lingkungannya seakan mencerminkan kemurnian niat para santri di dalamnya. Kesejukan dan kesegaran suasananya seakan merupakan gambaran dari keramahan santri dan pengurus-pengurusnya. Kami tak menyangka, bahwa kami akan sedemikian akrab dengan Ustad Abu Hamid yang berkumis manis misalnya, Ustad Muhammad Ihsan yang kharismatik dan beberapa Ustad serta pengurus lainnya, yang ketika di asrama penginapan saling mengeluarkan lelucon dan ledekan segar. Keramahan, semangat dan antusiasme yang ditunjukkan santri serta pengurus membuat kami merasa betah. Namun sayang, waktu ternyata memang harus dibatasi. Tak terasa kami sudah tiga hari di sana, di PPST Ar-Risalah. Meskipun singkat, kebersamaan kami dengan para santri yang didasari oleh niat untuk sama-sama belajar, seakan menumbuhkan satu kesadaran baru bagi kami, bahwa ternyata dalam kehidupan ini kita memang harus saling melengkapi. Namun bagi kami, alangkah tidak lengkapnya keberadaan kami di Ar-Risalah tanpa harus berbincang, meski sedikit, dengan keluarga pengasuh. Maka di sore yang mendung itu, sebelum kami bertolak ke kota Jogja, kami menyempatkan diri menemui keluarga pengasuh untuk dua kepentingan; silaturrahmi dan pamitan. Rasa senang kembali menyelimuti perasaan kami, karena KH. Ma’ruf Zainuddin dan Ny.Hj. Aina Ainaul Mardhiyyah Anwar, selaku pengasuh, menyambut kami dengan penuh kekeluargaan. Dari keduanya kami mendapatkan ilmu tentang pentingnya optimisme dalam perjuangan, ketegaran dan pengorbanan. Bahkan dari keduanya juga kami dapat mengetahui bahwa perbedaan disiplin ilmu, ketika disatupadukan, akan menghasilkan bangunan pengetahuan yang utuh dan kokoh. Sama seperti menyatunya KH. Ma’ruf Zainuddin yang notabene salaf dengan Ny. Hj. Aina Ainaul Mardliyyah Anwar yang notabene khalaf. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, keduanya menyatu dalam satu bangunan keluarga, dan bersama-sama membangun PPST Ar-Risalah yang mereka cintai. Di akhir tulisan reportase ini, kami ingin menutupnya dengan sebuah pendapat yang dikemukakan Hong Zyi (1880-1942), “Memiliki kemampuan untuk berbuat jahat, tetapi tidak melakukan, itulah kebajikan. Memiliki kemampuan untuk berbuat baik, tetapi tidak melakukan, itulah keburukan.” Semoga kita semua termasuk orang yang memiliki kemampuan berbuat baik, dan benar-benar mampu melakukannya. Amin… (by Salman Rusydie Anwar).

Bangsa yang CUkup Syarat Untuk Hancur

Entah sudah beberapa kali Tuhan bermurah hati mblejeti kebusukan-kebusukan yang diagungkan oleh pemimpin bangsa ini sehingga rakyat dapat dengan mudah mengenal dan mempelajari bagaimana karakter pemimpin mereka. Melalui temuan kasus demi kasus. Lewat terkuaknya aib demi aib serta terungkapnya konspirasi-konspirasi yang amat lancang kepada rakyat, Tuhan seakan ingin turun tangan sendiri dan mengajar langsung kedewasaan rakyat Indonesia agar mereka benar-benar mafhum bahwa bangsa yang mereka tempati sudah benar-benar diambang kehancuran. Tidak ada kemalangan yang lebih besar melebihi adanya inisiatif Tuhan untuk mengurus sendiri problem-problem akut yang dialami suatu masyarakat dalam sebuah negara. Kalau Rasulullah Muhammad SAW masih hidup sampai saat ini, mungkin Tuhan tidak merasa perlu berbuat sampai sejauh itu. Mungkin Ia cukup memberi tahu kepada kekasih-Nya itu bahwa sedang ada pengkhianatan amanah dan selanjutnya ia serahkan bagaimana pemecahannya kepada beliau SAW. Tetapi kemalangan yang terjadi di negeri ini sungguh luar biasa hebatnya. Tuhan sudah merasa sedemikian risih, bahkan mungkin geram dan sakit hati melihat perilaku pemimpin-pemimpin negeri ini yang tidak kunjung jera mengkhianati rakyatnya. Mereka terlalu asyik berdiam di balik gedung kekuasaan yang menyimpan benda-benda hasil rampokan harta rakyat. Penyelewengan, penggelapan kewenangan, pengingkaran amanah dibiarkan terlalu aman di dalam sebuah negeri yang justru melarang-larang rakyatnya untuk tidak beragama dan tidak berketuhanan. Maka tidak usah heran jika kemudian Tuhan kuakkan bisul-bisul dan borok mereka di depan tempat umum. Dikuakkan pun belum tentu membuat mereka jera dan sadar. Sebab mereka terlalu pintar untuk merekayasa sebuah alasan dengan mengatakan bahwa bisul dan borok di tubuh mereka tidak lain adalah tato-tato bergambar kembang dan bunga-bunga. Oleh sebab itu, saya tidak menyesal telah menulis kolom ini dengan judul di atas. Toh kalau mau dipikir-pikir bangsa ini rasanya memang sudah cukup syarat dan kualified untuk memasuki ranah kehancurannya. Seandainya kelak bangsa ini hancur sebelum waktunya, kita tetap harus bersyukur karena kahancuran itu bisa saja merupakan taktik dan cara Allah untuk membangun dan menata kembali negeri ini menjadi lebih baik. Tetapi sebelum kehancuran itu benar-benar terjadi, saya harap kita mau mencari tahu apa saja kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki negeri ini sehingga ia pantas dihancurkan. Menurut rabaan saya (mohon maaf, saya masih diliputi kebodohan sehingga hanya mampu meraba-raba sesuatu daripada mengetahuinya secara obyektif), negeri ini sudah memiliki kualifikasi sampai tingkat tertentu yang barangkali menurut Tuhan harus secepatnya dirubah, entah dengan tangan-Nya atau melalui hamba-Nya yang masih soleh. Pertama. Dari sudut pandang politik dan kekuasaan, bangsa ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa menyerahkan sebuah kewenangan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki prefesionalitas keilmuan untuk menjalankan kewenangan itu, akan menuai kehancuran. Idzaa wusida al-amru ilaa ghairii ahlihii fantadzir al-saa’ah- begitu kata Nabi. Maka sungguh menggelikan ketika kita menyaksikan siapa saja yang nampang dalam barisan pemerintahan 2009-2014 yang baru dibentuk itu. Tidak ada kematangan berpikir dalam merumuskan dan menentukan siapa saja yang sebenarnya wajib dan patut diberi mandat. Semuanya hanya didasarkan pada upaya menjaga keamanan dan kekerabatan politis semata. Dengan formasi seperti itu, kita tidak tahu hendak dibawa kemana negeri ini. Menuju kemajuan atau mengulang ketersendatan. Merancang perubahan atau menanti kehancuran. Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa mengelus dada sambil diam-diam mengajukan permintaan kepada Tuhan, “Ya Allah. Berilah pemimpin-pemimpin baru kami ilmu ladunni. Sebuah kecerdasan yang seketika itu langsung tertanam di dalam tempurung kepala mereka sehingga mereka benar-benar paham apa tugas yang harus dijalankan. Jangan biarkan mereka menjadi orang yang baru akan mempelajari tugasnya ketika sudah terlanjur duduk di kursi jabatan. Karena tugas belajar itu ada di bangku sekolah, bangku kuliah dan gedung-gedung akademik. Apa jadinya nasib kami jika wakil-wakil kami baru akan belajar ketika mereka sudah menduduki jabatannya. Cukupkah bagi mereka waktu lima tahun untuk mempelajari siapa kami ini sebenarnya?” Kedua. Dari sisi kebudayaan, bangsa ini juga tidak jauh lebih baik dari pada apa yang sering mereka seminar-festivalkan. Contoh yang paling mudah kita temukan adalah perkembangan-perkembangan dalam dunia informasi. Informasi menjadi saluran utama bagi terjadinya persentuhan budaya di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dan sarana yang paling sering dijadikan sumber informasi oleh mereka adalah kotak ajaib yang kita sebut televisi. Awalnya saya tidak ingin memasukkan televisi sebagai contoh. Tetapi kalau hal itu saya lakukan, maka sama saja saya mengabaikan fakta yang berbicara tentang ketergantungan masyarakat kita kepada benda “mukjizat” itu. Mungkin saya tidak harus berpanjang lebar membicarakan perihal televisi ini. Ia tetap merupakan makhluk Tuhan yang netral dan bebas dari apapun. Persoalan yang sesungguhnya adalah siapa yang berdiam di balik tersiarnya acara demi acara di dalam televisi. Entah bagaimana melukiskannya. Saya benar-benar bingung ketika harus mengungkap sebuah kenyataan bahwa informasi yang disuguhkan kepada rakyat melalui kotak ajaib itu sungguh-sungguh merupakan bualan. Setiap hari, kita dijejali dengan acara demi acara yang tidak sungguh-sungguh mendewasakan mereka. Artis-artis dengan seenaknya menghadirkan diri dan menawarkan untuk dijadikan idola panutan dalam benak dan kesadaran penontonnya. Atas dasar nilai apa rakyat terus-menerus dipaksa untuk memelototi perselingkuhan seorang aktor-aktris. Atas dasar harapan apa rakyat miskin kerap disuguhi kejayaan dan kekayaan yang mereka miliki. Apakah semua itu ditujukan agar mereka tetap hidup di dalam impian dan angan-angan belaka? Apa kualitas nilai budayanya dari semua itu? Dimana letak pencerdasannya? Seperti apa wujud kreatifitasnya sehingga dengan tontonan macam demikian lantas mereka memiliki inspirasi baru untuk kreatif, untuk bangkit dari keterpurukan? Mohon maaf. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk Anda. Melainkan untuk kotak ajaib itu. Siapa tahu ia bisa menjawab semua pertanyaan saya sebagaimana umat yang selalu mendapat jawaban ustadz dari semua pertanyaan mereka. Bukankah para ustadz yang sering nampang di dalam kotak ajaib itu hebat-hebat? Tidak ada pertanyaan umat yang tidak bisa mereka jawab. Mereka hampir mengetahui semua masalah rakyat. Itu sebabnya mereka bisa menjawab masalah-masalah yang ditanyakan kepada mereka. Persoalan apakah jawaban itu bermutu karena memang benar-benar sesuai dengan konteks kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat-umat, itu soal lain. Atau Wallahu A’lam. Kita diskusikan lagi dalam ruang yang lebih sunyi. Oleh sebab itu, jika rakyat sudah terlalu sering dijejali dengan kepuraa-puraan, selebritas yang tidak kunjung membuat mereka dewasa dan matang pemikirannya sebagai manusia, serta lelucon-lelucon yang menjadikan mereka lupa bahwa usia mereka sangat begitu singkat untuk hanya diisi dengan humor-humor murahan dan tak mendidik, salahkah seandainya Tuhan pemilik mereka merasa begitu cemburu dan tidak terima? Sangat menarik jika ada yang mau serius menjawab pertanyaan ini dan mengangkatnya menjadi salah satu bagian acara televisi yang ditayangkan secara live, dan tentu saja dengan mendatangkan ustadz yang benar-benar konsisten terhadap statusnya. Bukan ustadz yang bisa berceramah pada suatu kesempatan dan bisa berakting menjadi bakul pulsa pada kesempatan yang lain. Hehe! Ketiga. Melalui cara pandang hukum, bangsa ini masih sangat jauh perhatiannya pada keadilan. Hukum tidak benar-benar dipahami sebagai hukum sebab yang berlaku hanyalah proses-prosesnya yang berkepanjangan dan bertele-tele. Proses hukum tentu tidak sama dengan hukum itu sendiri. Proses peradilan tentu tidak pararel dengan keadilan itu sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, di dalam melakukan proses-proses penegakan hukum dan mewujudkan keadilan, ternyata punggawanya banyak melakukan kecurangan. Di tengah jalan, mereka banyak melakukan penyelewengan, pengingkaran, pengkhianatan, pemalsuan serta banyak terjerumus dalam praktek penyuapan. Di dalam iklim seperti itu, yang terluka bukan hanya tubuh-tubuh keadilan melainkan juga rakyat kecil. Mereka dijauhkan dari harapan akan masa depannya untuk memiliki negeri yang dirahmati keadilan. Mereka disakiti kepercayaannya. Dilukai amanahnya. Ditindas kemerdekaannya serta ditusuk-diinjak-diludahi-diberangus-dikuliti dan dibakar kedaulatannya. Melihat rakyat yang sedemikian menderita, maka wajar jika kemudian Tuhan tidak terima dan membuat jadwal penetapan penghancuran bagi bangsa ini. Dan kita tinggal menunggu waktunya saja. Kalau Anda bertanya; bisakah Tuhan menangguhkan rencana-Nya? Mungkin Ia akan menjawab dengan sebuah pertanyaan balasan, “Bisakah pemimpin dan tokoh-tokoh hukum-keadilanmu berubah dan berhenti melakukan kecurangan?” Saya sendiri tidak berani menyampaikan pertanyaan Tuhan ini kepada mereka. Karena tampaknya mereka sudah merasa enjoy dan nyaman dengan situasi seperti itu, sehingga bisa saja pertanyaan tersebut bagaikan sepoi-sepoi angin di pagi hari. Mengusap lembut daun kedua telinga mereka hingga kepada mereka akan benar-benar diperdengarkan sebuah suara yang berbunyi, ”Seperti halnya kau menyakiti-Ku lewat rakyatmu. Maka bersiaplah menerima akibat dari perbuatanmu sendiri,” Lalu kuda-kuda macam apa yang bisa kita persiapkan untuk melawan kesungguhan dalam setiap gertakan-Nya? Entahlah! *Budayawan