Rabu, 13 Januari 2010

Sajak Seorang Pelarian dari Porong

Sajak Seorang Pelarian dari Porong

dengan memanggul nasib hari depan yang terus berkabung
ia berlari, menghindari uap busuk tanah kelahiran sendiri
tak dihiraukan kerikil-kerikil tajam
yang mengalirkan ngilu dari telapak kaki
hingga jantungnya
jalan-jalan begitu lengang
menyembunyikan kicau burung yang pernah ada bersama masa lalunya di sana
sesekali ia menatap langit
berharap tuhan dapat dijumpainya di antara gugusan awan yang putih
namun rasa malu menyergapnya tiba-tiba
bukankah sudah lama ia tak menyembah
lantaran altarnya tenggelam bersama lumpur tetanah?
waktu melempar teka-teki bagi seonggok kepalanya yang limbung
dan ia kerap tak menemukan jawab
sampai kapan keadaan terus memaksanya melihat kehancuran demi kehancuran
sejengkal tanah yang pernah ia banggakan telah musnah
menguapkan kenangan dan mimpi-mimpi yang masih belum lengkap ia anyam
ah, rasa putus asa seperti tak mau menghindar dari depan matanya
ia lihat orang-orang di sekitar pun sudah mulai terbiasa dengan nyeri
dengan darah, yang terus mengucur menaburkan bau amis bagi nasib masa depannya
ia pun lupa tentang nama kekasih yang lama dirindukan
setiap orang-orang yang dicintainya telah pergi
mengungsikan sedikit harapan di antara rasa cemas yang terus menguntit sampai tepi-tepi jalan

Porong 12 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar