Rabu, 13 Januari 2010

Ini Soal Perihal Kualitas


Perihal Kualitas

Dalam sebuah pertemuan yang tak terduga, saya berjumpa dengan seseorang yang diam-diam sudah lama saya mengaguminya. Orang yang satu ini super sederhana dalam penampilan namun ia open (telaten) terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Tak hanya itu, ia juga memiliki sifat ngemong, penuh perhatian, suka menghibur orang lain dengan tindakan dan kata-katanya, meski yang terakhir ini kerap disalahartikan sebagai kekonyolan dan karena itu membuat orang lain berani meremehkannya.
Saya tahu kalau orang yang saya jumpai itu memegang peranan penting dalam sebuah “organisasi”. Atau setidaknya ia adalah pengurus dalam sebuah organisasi tertentu yang anggotanya justru terdiri dari manusia-manusia sukar diurus. Tetapi kondisi yang demikian sepertinya tidak mempengaruhi i’tikad baik makhluk Tuhan yang saya temui itu. Ia terus berkonsentrasi kepada tugasnya, menjalankan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk menjadi tanggung jawab beliau, serta tidak jera mengingatkan, memotivasi dan memperjuangkan kemajuan-kemajuan anggota organisasi sekuat tenaga dan kemampuannya.
“Rajin-rajinlah bertandang ke tempat saya,” ucapnya ketika itu. “Saya masih memerlukan banyak bantuan. Anda tahu sendiri kan, keadaan saya seperti ini. Dibanding yang lain, saya kalah berkualitas.”
Ia begitu serius mengatakan hal itu sehingga saya menjadi semakin kagum saja atas perkataan yang mencerminkan kerendahhatiannya itu. Saya mengerti betul apa muatan di balik kata-kata yang ia ucapkan. Ia merasa kurang berkualitas dibanding anggota organisasi lainnya karena barangkali selama ini ia sering diremehkan, diabaikan, tidak diacuhkan dan disepelekan. Ia menjadi “objek hinaan” yang secara tidak langsung dilakukan oleh anggota organisasisnya lewat tindakan-tindakan mereka seperti yang telah saya sebutkan.
Namun anehnya, ia tetap survive. Senyumnya tak berkurang sedikitpun meski hampir tiap hari ia mendapatkan perlakuan-perlakuan seperti di atas. Berkali-kali ia diabaikan, namun berkali-kali pula ia memberikan perhatian. Saya pun menemukan peluang untuk sekadar cawi-cawi ngomong dan tentu saja sekenanya.
Kepada orang itu saya katakan bahwa berkualitas-tidaknya seseorang tidak harus terus-terusan diukur dengan kepandaian akal dan nalar. Orang yang bisa ngomong ilmu politik, ekonomi, sosial, budaya dengan cukup memikat bisa saja berkualitas dalam satu sisi, namun pada sisi yang lain ia tidak lebih dari pada si dungu yang tersesat. Ilmu politik, ekonomi, sosial dan budaya pada akhirnya akan dituntut untuk menjadi ilmu yang sanggup mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik. Justru akan menjadi lacur jika ilmu-ilmu itu hanya terkesan begitu mencerahkan ketika diulas di koran namun penulisnya kebingungan mencermati langkahnya sendiri. Yang bisa ia tahu hanyalah kebanggaan-kebanggaan semu bahwa ia sudah resmi dianggap menjadi penulis dengan satu dua tulisan.
Jadi kepada orang itu saya katakan bahwa tidak usah malu disebut orang yang tidak berkualitas jika kualitas itu hanya diukur dengan variabel-variabel akal-nalar seperti yang saya sebutkan. Kualitas itu adalah salah satu jenis kebenaran. Dan kebenaran itu sendiri terlalu besar untuk dikuasai oleh hanya satu orang, satu organisasi dan lain sebagainya.
Berkualitas itu bisa jadi berupa sikap yang ditunjukkan oleh orang yang saya jumpai itu. Ia jalankan amanah yang dibebankan kepadanya dengan ramah, santun, penuh perhatian dan suka menghibur.
Saya juga tegaskan bahwa melaksanakan tugas yang diamanahkan orang lain dengan baik bisa saja menjadi tanda dari berkualitasnya seseorang. Sebab hanya orang berkualitaslah yang mampu memanggul amanah di pundak mereka, kendati di kiri-kanannya banyak yang meremehkan dan menyepelekan.
Berusaha menaati ketentuan atau aturan yang sudah nyata memiliki nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menangkap hakikat yang tersirat di balik ketentuan-ketentuan itu.
Berusaha tidak menyepelekan dan meremehkan orang lain, meski mereka kelihatan lebih dungu dari diri kita sendiri, adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menerima dan menghargai siapa saja yang mereka jumpai dan hadapi.
Tidak sombong dengan kemampuan diri sendiri adalah sebagian dari tanda-tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu mengendalikan dirinya sendiri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Tidak terhitung berapa jumlah kalimat dan pernyataan yang saya keluarkan saat itu. Tapi yang jelas saya harus segera menghentikan pembicaraan karena saya khawatir ucapan dan kata-kata saya tidak lagi berkualitas untuk diperdengarkan. Di akhir pertemuan, saya bertanya pada diri sendiri:
“Kualitas manakah yang harus aku pilih? Nalar. Perbuatan. Atau sinergi antara keduanya?”
Pertanyaan yang dalam pendengaran Anda jauh lebih tidak berkualitas ini, mungkin hanya pantas dijawab dengan:
“Ya, embuh…!”



Paris, 23 Desember 2009

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar