Rabu, 13 Januari 2010

Aku, Iqbal dan Konsepsi-Konsepsi Soal Tuhan?

Pergulatan Panjang Menuju Tuhan
Salman Rusydie Anwar*

Bagi sebagian masyarakat yang sudah merasa bahwa pemahaman merekaselama ini tentang konsep “Tuhan” sudah mapan, barangkali judul tulisan di atas terkesan sangat dan terlalu janggal. Bagaimana mungkin mereposisi (memposisikan kembali) keberadaan Tuhan jika selama ini sudah jelas bahwa Tuhan adalah Dzat yang harus diyakini keberadaannya serta sekaligus harus disembah oleh mereka yang meyakininya.
Dalam konteks pergumulan teologis, persepsi (pandangan) manusia mengenai Tuhan telah melahirkan berbagai ketegangan intelektual –dan bahkan tidak jarang menimbulkan berbagai goncangan serta benturan-benturan sosial. Sejarah mencatat bahwa perdebatan panjang mengenai eksistensi Tuhan telah memicu munculnya firqah-firqah di kalangan umat manusia, terutama umat Islam, seperti hal munculnya faham-faham Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Syi’i, Sunni dan sebagainya.
Munculnya aliran-aliran kalam tersebut pada dasarnya dipicu oleh satu faktor yang sangat urgen dan sekaligus sensitif; yaitu tentang masalah Tuhan. Dengan kata lain eksistensi Tuhan telah menjadi objek pemikiran, pengkajian dan penelitian yang dari sana kemudian bermunculan rumusan keilmuan mengenai ketuhanan, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu teologi, ilmu teosofi dan semacamnya.
Pertanyaannya kemudian adalah: dalam konteks kehidupan kita saat ini, pada wilayah apa saja Tuhan itu boleh dipikirkan, dikaji dan diteliti?
Pertanyaan di atas, bagi sebagian orang, mungkin akan membawa pada munculnya berbagai spekulasi teologis atau ketersinggungan keyakinan. Sebab selama ini sudah pakem dipegang adanya sebuah ajaran yang menyatakan bahwa memikirkan Tuhan adalah sesuatu yang terlarang meski di samping itu masih juga terdapat sebuah apologi sufistik yang menyatakan bahwa ‘araftu Robby bi Robby (Tuhan dapat diketahui melalui kesediaan Tuhan memperkenalkan diri-Nya sendiri).
Namun bagaimanapun spekulasi itu, jika keberadaannya masih bersifat pasif, maka selamanya tidak akan memberi tambahan wawasan apa pun selain hanya kepercayaan dan keimanan statis yang ujung-ujungnya akan tetap berpuncak pada kuatnya klaim kebenaran (truth claim) di antara umat. Meski demikian, pertanyaan yang masih tersisa untuk kita jawab sekarang ini adalah; masih perlukah memikirkan Tuhan jika keberadaannya tetap selalu menjadi misteri? Jika harus dipikirkan, bagian mana dari keberadaan Tuhan yang harus dipikirkan: Dzatnya, Sifatnya, Sikapnya, atau apa?
A. Chaliq Muchtar di dalam jurnal Esensia Vol.3, No.2, Juli 2002 pernah menulis sebuah artikel cukup memikat, “Membumikan Tuhan?.” Istilah “membumikan” ini sebenarnya merupakan istilah yang diadaptasi Muchtar dari dua karya tokoh ulama sebelumnya, yaitu Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Membumikan Islam). Menurut pendapat penulis, istilah “Membumikan Tuhan” barangkali mengandung sebuah isyarat, bahwa Tuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang membumi untuk dapat dimengerti.
Hal ini cukup rasional mengingat selama ini persepsi, konsepsi dan keyakinan sebagian umat beragama terhadap eksistensi Tuhan masih terlalu menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Bahkan, perdebatan panjang seputar masalah ketuhanan kerap menyebabkan terjadinya peperangan yang begitu tragis meskipun akhir dari semua perdebatan itu tetap tidak kunjung menemukan kesimpulan yang benar-benar pasti mengenai siapa dan bagaimana Tuhan itu yang sebenarnya. Lain kata, Tuhan akan tetap dipahami sesuai dengan keyakinan masing-masing umat yang menyembahnya.
Salah satu upaya mengakhiri perdebatan dan pertengkaran panjang umat manusia dalam memahami konsep Tuhan barangkali bisa dilakukan dengan “menempatkan” Tuhan sebagai sesuatu yang membumi. Tuhan tidak harus melulu dibayangkan sebagai sesuatu yang jauh melangit. Untuk kepentingan manusia, Tuhan harus diyakini terlibat secara aktif di muka bumi ini dan hal itu hanya dapat terwujud dengan kemampuan manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran-Nya dalam setiap kegiatan dan aktifitas sejarah manusia di atas bumi ini.
Sepanjang sejarah, upaya manusia dalam memahami keberadaan dan kehadiran Tuhan telah melahirkan banyak pemikiran-pemikiran berharga yang perlu kita pelajari. Dalam tulisan ini, penulis hendak menghadirkan pemikiran seorang tokoh filsafat dan sastrawan besar muslim kelahiran India, yaitu Sir Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal (1873-1938) adalah seorang penyair dan filosof muslim yang berasal dari India. Ia dilahirkan di Sialkot, Punjab, pada tanggal 22 Februari 1873. Pendidikan dasar dan menengah didapatkannya di daerah kelahirannya itu. Pada tahun 1895 ia pindah ke Lahore untuk belajar di perguruan tinggi dan pada tahun 1905 ia melanjutkan studinya ke Eropa dan memperoleh gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Munich. Gelar doktor lainnya terutama di bidang kesusasteraan didapatnya dari Universitas Punjab pada tahun 1935. Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dan pada tahun 1930 ia juga pernah dipilih sebagai Presiden sidang tahunan dari Liga Muslimin. Karena pada periode ini, ia mendukung gagasan tentang sebuah negara Islam di wilayah Timur Laut India, maka oleh para pendukung negara Pakistan, ia dianggap sebagai pemimpin mereka.
Secara keseluruhan, konsepsi Iqbal tentang Tuhan terbagi ke dalam tiga pemahaman. Pertama, oleh Iqbal Tuhan diyakini sebagai suatu “Keindahan Abadi yang ada tanpa tergantung pada –dan mendahului- segala sesuatu selain diri-Nya, dan karena itu Tuhan menampakkan diri dalam semuanya.” Selain itu, Iqbal juga menyatakan bahwa Tuhan adalah penyebab gerak segala sesuatu. Sementara seluruh kemaujudan (eksistensi) selain Tuhan, semuanya adalah fana.
Konsep kedua Iqbal mengenai Tuhan lebih bersifat filosofis. Hal ini disebabkan karena dalam membuat konsep tersebut Iqbal mempergunakan filsafatnya tentang pribadi (philosophy of the self) sebagai salah satu metode pemahamannya. Iqbal berpendapat bahwa Tuhan adalah “Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi dan suatu Kemauan Abadi yang Esa.”
Dengan pemahaman ini, Iqbal mengatakan bahwa Tuhan tidak menyatakan atau melibatkan dirinya di dalam dunia yang terinderai atau dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh. Sebab, dunia yang dapat dirasa, dilihat dan disentuh ini sebenarnya merupakan hasil ciptaan dari pribadi terbatas manusia atau merupakan bentukan dari hasrat-hasrat manusia meskipun hal ini tidak berarti bahwa dunia merupakan ciptaan dari manusia.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Tuhan merupakan Pribadi Mutlak dan Ego Tertinggi yang keberadaan-Nya melampaui keberadaan manusia sebagai makhluk yang juga termasuk ‘pribadi’ (namun terbatas/tidak mutlak). Oleh karena itu, berdasarkan konsep ini, usaha manusia untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dapat dilakukan melalui pribadi manusia itu sendiri dengan cara menyerap (memasukkan, menghayati, menghadirkan) Tuhan ke dalam diri pribadi kita, bukan sebaliknya dengan membiarkan pribadi kita terserap ke dalam Tuhan hingga tiada (fana).
Konsep Iqbal ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan (terutama mengenai masalah fana) yang diberikan oleh tokoh-tokoh lain, seperti Al-Hallaj, Rumi, Sa’di dan beberapa ulama sufistik lainnya. Jika para sufistik ini membuat konsep bahwa untuk menemukan Tuhan, maka seseorang harus meleburkan diri ke dalam Tuhan hingga menjadi tiada atau fana, maka Iqbal berkata sebaliknya bahwa Tuhan sebagai Pribadi Mutlaklah yang harus kita masukkan atau kita leburkan ke dalam pribadi kita.
Konsep ketuhanan Iqbal yang ketiga adalah berupa “penggambaran” Iqbal bahwa Tuhan merupakan suatu Ego Maha Kreatif yang terarah secara rasional. Mengenai kreativitas Tuhan, Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan tidaklah seperti kegiatan mencipta dalam sebuah pabrik dimana hasil penciptaan itu berdiri secara independen dan terlepas dari penciptanya.
Adapun kegiatan penciptaan alam oleh Tuhan itu adalah secara terus menerus, tidak pernah berhenti, karena keberadaan alam yang sebenarnya adalah suatu struktur peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan dan ganti berganti yang kesemuanya tergantung dari kegiatan penciptaan Tuhan.
Untuk menegaskan pendapatnya ini, Iqbal menggunakan analogi paham Asy’ari mengenai keberadaan atom. Paham teologi Asy'ari menyatakan bahwa kelanjutan sebuah atom ditentukan oleh terjadinya aksiden-aksiden yang terjadi secara terus menerus di dalam atom itu sendiri. Dalam hal ini Iqbal membenarkan beberapa hal di dalam paham teologi Asy'ari mengenai masalah penciptaan atom ini. Akan tetapi ia mengubah konsep atomisme Asy'ari menjadi suatu paham pluralisme rohaniah. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk atom, sebenarnya adalah suatu ego, dan segala macam ego yang ada di dunia ini adalah merupakan pewedaran atau perwujudan diri dari Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Pencipta.
Demikianlah beberapa konsep mengenai ketuhanan, salah satunya menurut Iqbal. Tentu konsep ini bukan satu-satunya konsep yang paling benar karena memang tidak ada satupun konsep di dunia ini yang benar-benar mampu menjelaskan tentang Tuhan dengan pasti. Namun pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang-Nya tetap menjadi dinamika ilmu pengetahuan yang selalu menarik untuk diminati dan dinikmati. Wallahu A’lam bi al-Showab!



Cilacap, 30 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar