Jumat, 15 Januari 2010

Pertobatan Seorang Pengasong Rokok

Pertobatan Seorang Pengasong Rokok
Salman Rusydie Anwar

Saya bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi kesempatan untuk mengawali tahun baru 2010 dengan suatu perbuatan yang saya sangka itu adalah baik. Dalam suatu hari yang tak terduga, tepat dijantung keramaian kota Jogja, dan lebih tepatnya lagi di sebuah mushalla yang ada di salah satu tempat taman bermain, saya dibuat terpukau oleh suara seseorang yang sedang mengaji yang kebetulan dia adalah seorang pengasong rokok eceran.
Saya lihat paras dan penampilannya. Sangat sederhana dan bahkan mungkin lebih dari sekadar sederhana sehingga siapa pun yang pertama kali melihatnya akan langsung menduga bahwa ia adalah lelaki tidak waras yang kebetulan bisa mengaji. Pakaiannya lusuh, rambutnya pendek dan (maaf) cara dia melihat sesuatu seperti orang yang mengalami kelainan mental saja.
Akan tetapi Allah rupanya tidak terima dengan anggapan saya. Dengan strateginya yang sangat lembut, Dia kemudian menumbuhkan sebuah hasrat di kedalaman kalbu saya untuk segera mendekati orang itu. Jika sudah demikian, saya pun tak bisa melawan kehendak-Nya. Saya bangkit dan segera berjalan menuju ke arahnya. Dengan bermaksud membeli dua batang rokok dagangannya saya memiliki kesempatan untuk sekadar berbincang dengan orang itu.
Sebagaimana layaknya basa-basi perkenalan, saya pun tahu tentang nama orang itu, tanah asal kelahirannya, dimana ia tinggal selama di Jogja, bersama siapa dia tinggal dan seterusnya. Tetapi yang membuat saya benar-benar tercengang adalah ketika dia menjelaskan motif kedatangannya ke Jogja dan beberapa peristiwa yang pernah dia alami yang memotifasi dirinya untuk datang ke kota pelajar ini.
Singkat saja saya katakan, bahwa sesungguhnya orang itu datang ke Jogja adalah dalam rangka bertobat setelah tiga tahun lamanya dia terjerumus ke dalam dunia narkoba. Saya heran, bagaimana mungkin dia menjadikan Jogja sebagai tempat bertobat padahal Jogja sendiri tidak begitu steril dari beragam dosa dan kesalahan. Bahkan fluktuasinya setiap hari bisa dibilang dapat terus meningkat. Tetapi itu adalah pilihan hatinya dan saya tidak bisa merubahnya.
Yang lebih membuat saya begitu terkagum-kagum kepada orang itu adalah konsep dan prinsipnya tentang rejeki. Melihat dagangan asongan rokoknya yang hanya beberapa bungkus saja, saya tidak yakin dia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi dia juga menanggung ibu dan neneknya.
“Hampir semua orang berpendapat seperti itu,” katanya tenang, “Tetapi saya tahu kepada siapa saya harus meminta agar kebutuhan hidup saya dapat terpenuhi meski dengan dagangan yang sangat sedikit ini.”
“Maksudmu?” tanya saya.
“Dengar. Di tengah hingar-bingarnya kota Jogja ini, saya tidak pernah larut dengan semua itu sehingga saya lupa memenuhi hak saya kepada Tuhan. Mushalla ini, adalah saksi dimana saya dapat menemui-Nya pada saat orang-orang bergembira dan melupakan-Nya. Saya percaya dengan keyakinan saya kepada-Nya dan Dia juga percaya kepada saya sehingga saya tidak pernah dilupakan untuk dibantu, diberi jalan keluar atas semua masalah rejeki saya.”
Siapapun Anda, pasti tidak akan percaya bahwa kalimat-kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang lelaki pengasong rokok yang kelihatan seperti penderita cacat mental. Tetapi begitulah kenyataannya. Mendengar semua percakapannya yang hangat, Allah tiba-tiba menuntun tangan saya untuk merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar uang yang jumlahnya tidak terbilang besar. Saya menyerahkannya dan dia menerima dengan mimik yang biasa-biasa saja.
Dari bibirnya hanya keluar sebuah kalimat, “Terima kasih. Semoga Anda selamat.”
Lekas-lekas saya meninggalkan tempat yang ramai itu sekadar berusaha untuk menyelamatkan diri agar apa yang saya perbuat terhadap lelaki itu tidak terlihat oleh orang lain. Saya tahu hati saya yang amat sangat rawan untuk tercebur dalam kesombongan dan senang dipuji. Itu sebabnya saya segera meninggalkan orang itu.
Dalam perjalanan pulang, saya masih terbayang-bayang dengan wajahnya. Masih terngiang dengan nada suaranya yang menyiratkan bahwa dia memang benar-benar serius dengan keyakinannya, keimanannya dan juga Tuhannya. Seperti itulah sikap hidup lelaki itu yang saya sendiri tidak pernah mampu menjamin bahwa saya akan dapat memilikinya meski telah saya keruk makna kekotapelajaran Jogja tercinta ini.


Yogyakarta, 01-01-2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar