Kamis, 31 Mei 2012

Doa Dari Dia

Seseorang yang masih tercatat sebagai santri pondok ini, pada hari Selasa tanggal 29 Desember 2009 tepat jam 12:02:46 mengirimkan doa lewat layanan SMS. Bunyi doa di dalam SMS nya itu persis seperti ini: alhamdulillah…pa kbr sobat?smg engkau slalu d rahmati&d ridhoi Allah swt.amin… Saya tertegun beberapa detik melihat layar ponsel, atau lebih tepatnya memikirkan doa yang datang secara tiba-tiba itu. Kemudian pikiran saya bereaksi cepat dan segera menghadirkan gambaran sosok pengirim doa itu kepada saya. Tak lama berselang lengkap sudah gambaran tentang dirinya dalam pikiran saya waktu itu. Mulai dari bentuk wajahnya, rambutnya, postur dari keseluruhan tubuhnya, nada dan irama suaranya kalau bicara serta (dan ini yang paling menjadi ciri umum) kedekilan dan kesemrautan penampilannya. Pikiran kotor saya bertanya, “Apakah Tuhan akan menerima doa dari manusia macam dia?” Sedikit lama saya merenungkan pertanyaan di atas sebelum akhirnya saya bersedia membalas SMS nya. Dan selama merenung itulah berbagai pemikiran muncul di dalam tempurung kepala saya, yang seandainya saya rinci akan tertuang menjadi beberapa ilustrasi sebagaimana berikut:  Sampai detik ini, sebagian orang masih percaya bahwa doa dapat membantu melepaskan himpitan-himpitan psikologis yang terdiri dari harapan dan kecemasan. Antara harap dan cemas, orang kemudian berdoa agar dalam kemarung hidup yang tak terlalu menentu ini mereka masih bisa untuk berdiri. Sederhananya mereka dapat berkata, “Kalau yang kita harapkan tak ada jaminan bisa diraih. Kalau yang kita cemaskan tak ada jaminan untuk tak terjadi. Maka berdoalah!”  Meski samar, doa, ternyata dapat menyebabkan makin kukuhnya persaudaraan. Selain dapat membebaskan diri dari himpitan psikologis doa juga dapat menyegarkan psikologis, baik doa yang dilakukan sendiri atau lebih-lebih dilakukan orang lain yang secara khusus diperuntukkan untuk kita. Ya, seperti kawan kita di atas itu. Segarnya psikologi itulah yang barangkali dapat mengikis keraguan kita untuk memberi doa balasan pada orang yang telah mendoakan kita. Bukankah ini suatu bentuk perhubungan kemanusiaan yang begitu indah? Mungkin, beberapa cuplikan catatan di atas masih terkesan begitu serampangan dan dangkal. Namun saya sepakat dengan apa yang pernah ditulis Goenawan Muhammad bahwa; “dengan berdoa kita menjadi sadar bahwa kita tidak lebih dari sekadar titik debu.” Debu, ketika masih setitik, akan mudah terpelanting oleh angin. Namun ketika titik-titik debu berkumpul, terus berkumpul hingga kemudian menggumpal dan melakukan proses menuju pengkristalan dirinya, maka ia akan menguat menjadi bongkah batu. Lalu angin manakah yang sanggup membanting batu? Semua yang masih ada di sini maupun yang sudah menjalani kehidupan lanjutan di luar sana perlu memproses ketangguhan sikap hidupnya agar senantiasa kukuh dan tak mudah terbanting sebagaimana batu. Jadi, ayolah saling mendoakan agar kita bisa memadukan ketitikdebuan kita sampai kelak kita menjadi tugu yang dibangun dari lapisan batu-batu ketangguhan hidup kita sendiri. “Ya,nggak. Ya, nggak?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar