Kamis, 31 Mei 2012

KITA PILIH JADI CECAK ATAU BUAYA?

Buka mata Anda. Tataplah hamparan negeri ini yang sejak semula sudah kita sepakati sebagai kawasan gemah ripah loh jinawi, toto tenterem kartaraharja, entah dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Bahkan ketika kita mengalami masalah-masalah kontroversial sekalipun seperti yang akhir-akhir ini kita rasakan. Dan untuk itu, saya memiliki dua catatan untuk kita renungkan dan diskusikan bersama. Pertama Dua otot (institusi KPK dan POLRI) yang merupakan sandaran kekuatan negeri ini saat sekarang sudah saling bersitegang. Masing-masing keduanya mengklaim sebagai pihak yang paling benar dan saling melempar bermacam-macam tudingan kesalahan. Dan kita hanya mampu memohon semoga tangan-tangan keadilan dapat dengan tepat mengangkis siapa yang benar-benar benar, dan mampu mengelus menyadarkan siapa yang benar-benar salah. Namun sebenarnya yang paling inti dari semua itu adalah maraknya penggambaran atau ilustrasi yang hendak menunjukkan bahwa ada pihak yang berhasrat memposisikan diri sebagai superioritas dengan menginferioritaskan pihak lain. Simbol dari ilustrasi yang digunakan pun cukup “estetik” dan sangat nyata menunjukkan bahwa pembuatnya seakan memang paham tentang bahasa-bahasa puitik. Cecak berhasrat menangkap buaya. Cukup puitik, bukan? Tetapi hanya manusia bodoh yang mau percaya bahwa ada cecak yang bisa menangkap buaya. Jangankan level orang dewasa macam kita. Anak kecil yang belum pantas duduk di bangku TK pun rasa-rasanya akan menertawakan kita seandainya kepada mereka dikatakan, ada cecak yang mau menangkap buaya. Jika dikaitkan dengan hukum sunnatullah, seandainya memang ada seekor cecak yang berhasil menangkap buaya maka kejadian itu tidak lain adalah bagian puncak dari tanda-tanda datangnya hari kiamat. Akan tetapi jika istilah cecak dan buaya itu benar-benar kita posisikan sebagai sekadar simbol untuk mewakili dua kepribadian, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa sangat mungkin cecak bisa menangkap buaya. Persoalannya adalah siapa yang harus mewakili dirinya sebagai cecak dan siapa saja yang merasa perlu menjadi buaya? Kalau istilah cecak itu hanya dipautkan pada institusi KPK dan buaya kepada POLRI, maka ruang lingkup keduanya terlalu kecil dan remeh. Dan oknum yang mengeluarkan istilah itu pun nampaknya tidak ingat dan mengerti akan ilmu sejarah. Dengan ilustrasinya itu barangkali si oknum hendak menyangka bahwa KPK merupakan lembaga kecil dibanding dengan POLRI. Ia (KPK) cecak dan POLRI buaya. Tetapi ia lupa bahwa KPK memiliki jalur-jalur yang secara langsung bersentuhan dengan urat nadi kehidupan rakyat. Lembaga itu memutus mata rantai ketidakadilan yang menjadikan hak-hak rakyat tidak bisa sampai kepada mereka. Lembaga itu berusaha memberi “surat tilang” kepada para penggelap uang rakyat dibanding POLRI yang selama ini terbiasa memberi surat tilang kepada rakyat. Dalam konsep demokrasi yang sesungguhnya, kita mengenal bahwa kedaulatan terbesar ada di tangan rakyat, pemilik utama saham kekayaan suatu bangsa adalah rakyat, bahkan Tuhanpun merelakan diri menjadikan suara mereka sebagai suara-Nya juga (fox populie fox die), sehingga dengan sangat gamblang dapat kita tebak bahwa rakyatlah yang paling besar dan paling berkuasa di dalam suatu bangsa. Maka dalam konteks pembicaraan kita, rakyatlah sebenarnya sang “buaya” itu, sang pemilik kekuatan-kekuasaan itu. Dan POLRI itulah sebagian cecaknya. Tetapi iklim demokrasi di negeri ini tidak pernah mau berkembang dengan cara pandang seperti itu. Rakyat selalu di-cecak-kan oleh penguasa maupun aparat yang bermental buaya. Dari waktu ke waktu rakyat selalu harus menelan kekecewaan karena pemimpin-pemimpin mereka kerap menelan nasib kesejahteraan mereka bulat-bulat, laksana buaya yang menelan seekor babi. Hingga sampai pada waktunya dimana Tuhan benar-benar bertindak atas nama suara mereka. Tuhan menggiring rakyat Indonesia untuk memberi dukungan penuh kepada KPK (saya tidak mau mengidentikkan KPK hanya pada Bibit dan Chandra). Tuhan mengerti betul bahwa KPK memiliki hubungan serius dengan kesejahteraan dan hati nurani rakyat. Soal apakah pemimpin-pemimpin KPK dalam menjalankan lembaga ini sesuai dengan amanat nurani rakyat, itu hal lain. Tetapi yang jelas, simpati rakyat kepada KPK dapat mencerminkan apa yang saya maksud. Bahwa secara filosofis, KPK-RAKYAT adalah “buaya” yang berhak menguasai kekayaan tanah perairan Indonesia, dan di luar diri mereka tidak lain adalah cecak belaka. Tetapi kalau sampai hari ini Anda sebagai rakyat Indonesia tetap tidak diberi peluang untuk menjadi “buaya” yang berhak menguasai harta kekayaan Anda sendiri, yang berhak menentukan kedaulatan Anda sendiri, yang berhak merumuskan keadilan untuk sejahteranya hidup Anda sendiri dan bahkan Anda tetap dianggap sebagai cecak oleh sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang bermental buaya, saya harap Anda tetap survive. Tidak terlalu sakit hati dan putus asa. Barangkali keadaan Anda yang demikian itulah yang akan dijadikan alasan oleh Tuhan untuk menempatkan Anda di atas puncak dinding sejarah yang putih bersih seperti halnya tempat cecak, daripada harus berdiam di dalam kubangan lumpur yang penuh bau sebagaimana buaya. Sebagai rakyat yang dianggap cecak, Anda juga patut tetap berbangga karena para pemimpin dan wakil-wakil Anda yang duduk di kursi kekuasaan itu rata-rata mereka hapal dengan sebuah lagu yang mencerminkan bahwa Anda tetap memiliki manfaat besar di dalam kenyamanan rumah tangga kehidupan mereka. Coba saja suruh mereka bernyanyi: Cecak-cecak di dinding. Diam-diam merayap. Datang seekor nyamuk. Hup! Lalu ditangkap. Pasti mereka bisa. Kedua Kalau tiba-tiba Tuhan mendatangi saya dan bertanya: pilih sorga atau tetap tinggal di negeri yang bernama Indonesia, maka tanpa ragu akan saya jawab, “Saya memilih tetap tinggal di Indonesia.” Anda boleh bilang saya ini bodoh dengan jawaban seperti itu. Akan tetapi memang begitulah yang ada di dalam kalbu saya saat ini. Sebab bagaimana mungkin saya tidak akan memilih tetap tinggal di negeri ini sementara ari-ari saya ditanam di dalam kesuburan tanahnya yang setiap detik selalu ditumbuhi dengan gedung-gedung menjulang, dengan angan-angan lembut membuai serta sekaligus juga racun. Saya tidak dapat membayangkan akan bisa hidup tenang di dalam sorga yang segalanya serba transparan hingga sedemikian rupa tingkat transparan itu, sampai-sampai air yang mengalir melewati kerongkongan isteri-isteri kita kelak dapat dengan begitu mudah terlihat oleh mata. Bagaimana kalau seandainya saya mau iseng berbuat affair dengan perempuan-perempuan lain di sana atau mau melakukan sedikit pengingkaran misalnya. Tentu saja akan dengan mudah diketahui, bukan? Itu sebabnya saya tetap memilih tinggal di Indonesia. Indonesia, lebih nyaman dibanding sorga karena pengingkaran dan pengkhianatan macam apapun dapat dengan mudah ditutupi, dibuat kabur dan samar tidak terlihat. Semua kebusukan dan penyelewengan tidak sembarang dikuakkan sebagaimana di sorga. Dan bahkan sangat mungkin pengingkaran itu dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi. Di negeri ini, saya juga dapat dengan mudah menjadi pemimpin, menjadi wakil-wakil amanah rakyat, menjadi pemangku kebijakan di semua lini kehidupan yang ada di dalamnya. Saya tidak perlu mengutarakan apakah profesionalisme keilmuan saya memungkinkan atau tidak untuk mengisi jabatan-jabatan semacam itu. Negeri ini hanya memberi dua syarat untuk menjadi itu semua. Kemauan dan uang. Jika Anda mau dan memiliki uang, maka silahkan maju dan Andapun bakal jadi. Selain itu, belum pernah saya temukan informasi tentang sebuah negeri yang aktualisasi hukum keadilannya lebih rapi dibanding negeri saya Indonesia. Bahkan sorga nampaknya belum merancang hukum yang seperti negeri saya ini terapkan. Jika Anda mau berbuat tidak adil di sini, maka ketidakadilan Anda akan disimpan dengan begitu rapi di bawah rumus-rumus hukum yang ada. Ingatlah, bukankah ketidakadilan itu adalah aib dan setiap aib harus ditutup rapat-rapat. Di negeri ini, saya juga tidak perlu merasa khawatir kalau misalnya mau menipu, berkhianat, berperilaku munafik, mengingkari amanah, menodai kepemimpinan, dan memanipulasi kepercayaan rakyat, karena sistem yang berlaku di dalamnya dapat dengan mudah saya belokkan sesuka hati saya. Syaratnya gampang: kemauan dan uang. Soal uang, tidak sulit bagi saya untuk mendapatkannya. Terlebih jika saya sudah memangku jabatan-jabatan itu. Negeri ini sangat kaya, bahkan lebih kaya dari yang bisa kita bayangkan. Sedemikian besar kekayaan negeri ini hingga mau dikorupsi atau dicuri sebanyak apapun tetap tidak akan menjadikannya kelimpungan. Semua masih tetap bisa tertawa, bergembira, bernyanyi dan mengadakan pesta demi pesta. Dan kalau ada yang ketahuan mencuri, hukum negeri saya sebenarnya cukup mampu untuk menangkap si pencurinya. Akan tetapi, karena yang paling diutamakan di sini adalah rasa belas kasih sayang serta rendah hati maka tidak sedikit diantara pencuri-pencuri itu yang dibiarkan lepas begitu saja. Dan barangkali untuk menggugah rasa kesadaran mereka agar bisa benar-benar bertobat, para pencuri itu juga dibiarkan pergi mengasingkan diri ke negeri-negeri lain. Diikhlaskan lepas dari jerat-jerat hukum. Mereka dibiarkan hijrah dan bertapa di sana sehingga mereka akan tetap merasa aman tak terusik. Indah, bukan? Itulah salah satu sebab yang membuat saya betah dan cinta mati kepada Indonesia sehingga tawaran sorga dari Tuhan pun tetap saya tolak mentah-mentah. Semoga tidak ada yang mau mengikuti kebodohan seperti yang saya lakukan ini. *Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar