Kamis, 31 Mei 2012

Hukum Keadilan; Pesta Pora Para Pemangsa!

Dengan penuh nekat, saya mencoba mengutip pernyataan Thorstein Veblen sebagaimana dikutip Albert Einstein dalam salah satu artikelnya yang berjudul Why Socialism? untuk ikut nimbrung berbicara mengenai temuan aparat penegak keadilan berkenaan dengan adanya fasilitas mewah yang diberikan untuk beberapa tahanan elite di Rumah Tahanan Jakarta beberapa hari yang lalu. Veblen mengeluarkan sebuah istilah yang saya rasa cocok untuk menyebut perilaku beberapa aparat penegak hukum di negeri kita tercinta ini. Dia menyebut tentang istilah “fase pemangsa” dalam setiap perkembangan sejarah manusia. Jika di dalam sejarah kehidupan manusia memang benar-benar ada situasi tertentu yang dapat menyebabkan manusia memasuki “fasenya (sebagai) pemangsa”, maka ada tiga pertanyaan yang harus kita kemukakan untuk itu. Pertama, apa bentuk situasi yang memungkinkan seseorang bisa benar-benar menjadi pemangsa. Kedua, siapa saja atau biasanya dari kalangan mana saja manusia yang memiliki tipologi sebagai pemangsa. Ketiga siapa saja yang biasanya sering dijadikan objek mangsaan oleh manusia-manusia pemangsa itu? Meski istilah “fase pemangsa” yang dikemukakan Veblen waktu itu lebih diorientasikan untuk mencermati perilaku ekonomi bangsa Eropa, akan tetapi di negeri kita tampaknya istilah tersebut akan lebih cocok digunakan untuk menyebut perilaku hukum. Sebab, tidak mungkin menggunakan istilah itu untuk masalah ekonomi karena persoalan ekonomi negeri kita ini masih berada pada taraf Wallahu A’lam, atau hanya Tuhan yang Tahu apakah kita kelak secara ekonomi kita akan benar-benar menjadi Macan Asia atau mangsanya Macan Asia. Tetapi kalau untuk hukum, kayaknya sangat mungkin. Karena di dalam persoalan yang satu ini sudah tidak ada lagi taraf-taraf Wallahu A’lam. Artinya, Tuhan sudah benar-benar tahu bagaimana sesungguhnya hukum keadilan ditegakkan di negara kita ini. Bahkan sangat mungkin tidak hanya Tuhan yang tahu. Malaikat, jin, setan, kuntilanak, demit dan kalong wewe sudah mafhum soal hukum Indonesia sampai ke akar-akarnya. Dalam persoalan hukum, sejak dulu bangsa kita sepertinya memang terbiasa menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan para aparat penegaknya berubah total dari manusia penyantun-penegak keadilan menjadi manusia pemangsa yang menelan pencari keadilan itu. Salah satu caranya dimulai dari unit-unit yang paling kecil. Sebut saja dalam aparat kelurahan. Kalau Anda hendak membuat KTP, maka terlebih dahulu kuatkan kesabaran hati Anda untuk mendengar macam-macam instruksi penuh ribet. “Maaf, Mas. Anda harus menghubungi ini dulu. Lalu ke itu. Sesudahnya ke sono. Terus ke situ. Baru kemudian ke sini. Dan terakhir Anda harus melunasi pembiayaan sebesar ini. Dan tunggu dua bulan, baru KTP Anda bisa diambil. Tapi kalau mau lebih cepat biayanya harus sebesar ini dan KTP sudah bisa diambil besok pagi. Habis subuh pun tidak apa-apa.” Saya tidak tahu, apa tanggapan Anda mengenai situasi-situasi macam itu yang membuat Anda rela dimangsa oleh mereka demi selembar surat KTP. Logikanya, jika pada unit negara yang terkecil saja urusannya sampai berbelit-belit seperti itu, entah bagaimana jadinya jika ada ketentuan bahwa setiap KTP harus ditanda tangani oleh Bupati, Gubernur atau bahkan Presiden. Mungkin Anda lebih memilih masuk surga cepat-cepat dari pada dilempar kesana-kemari hanya untuk ngurus KTP. Entah mungkin karena terbiasa hidup di dalam situasi semacam itu, orang-orang yang ditugasi rakyat untuk mengurus segala kepentingan dan keperluannya tiba-tiba saja berlagak layaknya seorang jenderal yang sedang menghadapi prajurit bawahannya. Mereka berani dan seenaknya tunjuk sana-sini kepada rakyat yang telah memilih dan menggajinya hingga seakan-akan negara ini merupakan warisan nenek moyangnya. Padahal, jabatan mereka baru setingkat sekretaris desa, namun sikapnya seakan melebihi sekretaris negara Adi Kuasa. Maka di sinilah letak problem yang sesungguhnya. Aparat hukum kita tidak benar-benar meletakkan diri dan posisinya sebagai pengayom rakyat yang harus memperlakukan mereka dengan adil. Mereka justru lebih senang memposisikan diri mereka sebagai pemangsa kedaulatan rakyat. Ada kebanggaan tersendiri ketika rakyat begitu patuh pada instruksi-instruksinya sehingga dia dapat menghayalkan diri menjadi seorang raja yang sedang memberi titah. Dan ironisnya, lagi-lagi rakyat yang harus dijadikan mangsa oleh mereka. Rakyat tidak hanya dimangsa hartanya lewat kewajiban membayar pajak, yang kelak pajak ini justru digunakan untuk menggaji mereka. Tetapi rakyat juga dimangsa kedaulatannya sebagai entitas utama dalam negara. Rakyat yang seharusnya menjadi raja, malah dirubah menjadi jongos karena praktek pemangsaan itu. Rakyat yang sejatinya dilayani, malah disuruh melayani karena berlakunya tradisi pemangsaan itu. Akibatnya, muncullah ketimpangan-ketimpangan lintas sektoral yang pemecahannya barangkali baru bisa dilakukan setelah terjadinya kiamat, yang menurut orang-orang Suku Maya akan terjadi pada tahun 2012 nanti. Namun rakyat ternyata berbeda-beda. Ada rakyat yang berkulit hitam, kurus, bemata cekung dengan tulang pipi bertonjolan layaknya penderita busung lapar. Dan ada juga rakyat yang berkulit putih, gemuk, berwajah mulus dan terawat seperti halnya para artis-artis Hollywood. Karena rakyat berbeda-beda, maka tentu saja perlakuan hukum untuk mereka harus berbeda-beda pula. Sebab, perbedaan itu kan harus selalu menjadi rahmat. Dan tidak akan ada rahmat kalau tidak menghargai perbedaan. Idiom ini ternyata sangat dipegang kuat-kuat oleh aparat penegak hukum dan keadilan di negeri ini. Kalau ada dua orang yang melakukan kejahatan dan lalu keduanya ditahan, maka hukum untuk keduanya baru bisa diputuskan kalau sudah diketahui perbedaan diantara keduanya. Standar yang digunakan untuk bisa mengetahui perbedaan diantara dua pelaku kejahatan itu antara lain: (1) siapa diantara keduanya yang termasuk orang terpandang, (2) siapa diantara keduanya yang memiliki kekayaan lebih, (3) siapa diantara keduanya yang paling berani memberi “rahmat” berupa insentif khusus kepada para penegak hukum agar mereka bisa mendapatkan tempat dan perlakukan istimewa selama berada dalam penahanan. Jika sudah diketahui kelebihan-kelebihan salah satu dari kedua tahanan itu, maka para aparat pun hanya tinggal berkata, “Bayarlah dengan harga istimewa. Maka kau akan mendapatkan fasilitas yang serupa.” Veblen barangkali benar dalam satu sisi tentang adanya “fase pemangsa” pada diri manusia, baik ia sebagai pelaku ekonomi atau sebagai pelaku hukum. Tetapi tentu saja dia akan salah jika mau menyebut penegak hukum di Indonesia sebagai “pemangsa” klien-kliennya. Sebab penegak hukum kita tidak kenal dengan istilah pemangsa, melainkan sekadar tukar-menukar “rahmat” bersama para klien-kliennya. Nah, tau sendiri kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar