Kamis, 31 Mei 2012

Manusia Sempurna

Tak ada manusia yang sempurna. Itulah kesimpulan yang kita yakini selama ini mengenai jati diri manusia. Selalu ada kekurangan pada seseorang. Tanpa terkecuali. Bahkan seorang actor dan artis yang didaulat sebagai manusia “sempurna” sekalipun tetap memiliki kekurangan pada dirinya. Cuma masalahnya kekurangan pada sosok selebritis itu terkadang dianggal sebagai hal yang haram dipublikasikan, baik oleh media maupun oleh keputusan selebriti yang bersangkutan. Sekalipun manusia memiliki kekurangan, namun tidak ada salahnya apabila upaya-upaya untuk menjadi yang “sempurna” itu tetap harus dilakukan. Karena prinsipnya demikian, maka apa yang disebut “sempurna” itu memiliki beragam tafsir. Sesuai konteks dan situasi dimana seseorang berada. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai artis tentu memiliki tafsir kesempurnaan yang berbeda dengan seorang perempuan yang mengurus sebuah perusahaan. Misalnya, seorang artis dituntut untuk selalu murah senyum, berpakaian sesuai trend mode yang berkembang dan menunjukkan ekspresi ceria kapan saja dan dimana saja terutama saat di depan kamera. Ketentuan itu harus dipatuhi agar kesempurnaan sebagai seorang artis dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Namun berbeda dengan perempuan yang mengurus sebuah perusahaan. Perempuan seperti ini mungkin harus berpakaian rapi, energik, lebih banyak bertindak daripada berbicara dan harus berkesan kharismatik. Semua itu perlu dilakukan demi kesempurnaannya sebagai pengelola perusahaan. Meski demikian, beragam tafsir mengenai kesempurnaan di atas sebenarnya mengacu pada satu tujuan pokok, yaitu agar seseorang mampu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab serta memiliki totalitas yang tinggi terhadap profesinya. Karena itu, membaca kisah Tania Gunadi, mojang Bandung berusia 28 tahun yang menjadi artis Hollywodd (Kompas, 22/04), saya mencoba bertanya-tanya; seberapa tinggi sih tanggung jawab masyarakat Indonesia terhadap suatu pekerjaan? Tahun 2000 silam, setelah lulus SMA, Tania Gunadi mendapatkan lotree green card, sebuah kartu identitas yang menunjukkan bahwa seseorang berhak untuk tinggal dan bekerja secara sah di Amerika Serikat termasuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari negara tersebut. Konsekuensinya, seseorang yang mendapatkan green card harus berusaha mempertahankan statusnya berdasarkan kondisi-kondisi tertentu karena status itu bisa saja dicabut apabila yang bersangkutan melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh negara. Nah, salah satu ketentuan yang ditetapkan oleh negara Amerika Serikat adalah masalah kesempurnaan dalam bekerja. Kesempurnaan dalam bekerja ini meliputi kedisiplinan yang tinggi, loyalitas dan tidak melakukan kesalahan kerja sekecil apapun. Intinya, orang yang bekerja di Amerika harus benar-benar teliti, disiplin dan benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap pekerjaan sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal dan sempurna. Bila ketentuan ini dilanggar, maka akan sungguh fatal akibatnya. Tania Gunadi membuktikan ketentuan itu. Awal menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, atas rekomendasi kakaknya yang juga tinggal di Los Angeles, Tania mendapatkan pekerjaan sebagai penerima telepon di Pizza Hut. Suatu hari, karena ia salah menerjemahkan menu pesanan pizza pelanggan, jabatannya sebagai penerima telepon dicabut dan posisinya diturunkan menjadi koki. Namun karena tidak bisa membedakan saus dan sambal, posisi Tania sebagai koki akhirnya kembali diturunkan menjadi pencuci piring. Bekerja sebagai pencuci piring pun harus sempurna. Dan karena dinilai gagal membersihkan piring, Tania akhirnya harus bekerja membersihkan toilet. Mungkin pertanyaan yang tepat setelah membaca kisah Tania di atas bukanlah apakah manusia tidak boleh melakukan kesalahan, melainkan seberapa besar pengaruh dari sebuah kesalahan itu sendiri. Paula J.C berkata, manusia adalah makhluk yang terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinyu serta turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan. Disini, dapat kita pahami bahwa kesalahan adalah indicator penggerogot kesempurnaan. Semakin sering seseorang melakukan kesalahan, maka jalan menuju kesempurnaan akan semakin sukar diraih. Namun kita juga tidak perlu berpikir apakah dengan menghindarkan diri dari melakukan banyak kesalahan lantas kita akan menjadi manusia yang benar-benar sempurna atau tidak. Sebab kesempurnaan itu sejatinya bukanlah hasil yang terdapat di akhir perjalanan, melainkan harus ada di sepanjang proses perjalanan yang dilakukan. Jika seseorang berpikir bahwa kesempurnaan itu laksana piala yang akan diraih di akhir sebuah pertandingan, maka mungkin tidak ada lagi yang bersedia menghargai kesungguhan, kedisiplinan dan totalitas seseorang selama mengikuti perlombaan. Maka fenomena peristiwa sebagaimana dialami Tania di atas sesungguhnya mengajarkan kita satu hal bahwa berproses menjadi sempurna itu jauh lebih penting dari pada kesempurnaan itu sendiri. Persoalannya adalah, kalau di Amerika Serikat seorang pekerja rumah makan saja dituntut untuk menjadi manusia sempurna dalam menjalankan pekerjaannya, lalu bagaimana dengan negara kita? Barangkali jawaban yang paling realistis dari pertanyaan ini adalah negara kita memang perlu belajar banyak dari negara-negara lain yang menerapkan prinsip totalitas dan kedisiplinan tinggi bagi warganya agar mereka menjadi manusia-manusia yang “sempurna.” Namun yang tak kalah penting setelah belajar banyak adalah keberanian menerapkan apa yang sudah dipelajari dalam tindakan yang nyata. Siapa tahu dengan begitu misalnya, negara kita bisa menurunkan gaji atau jabatan dari seorang pejabat yang tidak bisa bekerja dengan benar, sering tidur saat rapat, tidak masuk kantor tanpa ijin dan terutama korupsi. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar