Kamis, 31 Mei 2012

Terkepung

Seorang perempuan tua bergerak menyusuri malam di tengah gemuruhnya ibu kota. Tak ada yang tahu kemana tujuan yang hendak dicapainya. Namun sesekali terlontar dari bibirnya yang gemetar sebuah kalimat yang kira-kira berbunyi seperti ini: “Tuhan, bantu aku melepaskan diri dari kepungan poster-poster itu.” Sambil terus bergumam, ia pandangi keadaan di sekitar tempat ia berhenti untuk sejenak bernapas. Bermacam-macam poster dan gambar-gambar seseorang terpampang di sana-sini lengkap dengan nama, senyum manis, permohonan dan tentu saja sebuah janji. Kami siap berjuang untuk Anda. Jangan salah memasrahkan amanah, hanya kami yang bisa mewujudkan apa yang Anda amanahkan. Jangan tergoda rayuan, hanya kami satu-satunya orang jujur yang masih tersisa…dan tentu masih banyak lagi yang ia baca di sana. Melihat semua itu, ia hanya bisa menarik napas. Semakin ia perhatikan poster-poster yang ada di sekitarnya semakin besar ketakutan yang dideritanya. Ia menyadari pada era apa hidupnya sekarang ini dilalui. Sebuah era dimana harapan-harapan tentang masa depan tidak lebih dari sebuah iklan dan poster. Dan segala macam janji hanya akan berakhir tragis tanpa sebuah bukti dan bakti. Perempuan itu menyeret kembali langkahnya, menjauh dari lingkaran poster-poster yang membuatnya tak tahan berdiri. Namun ia sama sekali tak bisa menjauh dari sesuatu yang ditakutinya. Semakin ia melangkah, semakin dijumpainya poster-poster lain yang lebih mengerikan, yang lebih sangar karena di sana juga terpampang wajah-wajah keras dengan telunjuk yang menuding-nuding. Persis di depan gambar seseorang yang berdiri tegap dengan jas, baju berdasi, senyum manis dan tangannya yang menuding-nuding, perempuan itu berhenti dan menatapnya cukup lama. “Apa yang membuatmu berdiri di hadapanku dengan lagak seperti itu, tuan?” imajinasi telah memaksanya untuk membangun dialog di tengah-tengah kerisauan dan ketakutan yang ia rasakan. “Tidak ada. Selain keinginan berjuang untuk orang-orang macam Anda.” “Bagaimana saya bisa yakin bahwa Anda berjuang untuk orang macam saya, tuan?” “Lihat baik-baik apa yang ada di depanmu ini!” “Aku tak melihat apa-apa selain sebuah poster yang berisi gambar seseorang dengan senyum manis, pakaian nicis dan juga telunjuk yang menuding penuh percaya diri.” “Itulah gambaran sosok-sosok yang akan berjuang untuk orang-orang macam Anda. Itulah saya. Camkan apa yang saya janjikan pada kalimat-kalimat yang sudah Anda lihat sekarang ini.” “Tapi tahukah engkau tuan, apa yang paling aku takuti di duni ini?” “Jelas kematian.” “Benar, tuan. Kematian. Tetapi bukan sembarang kematian, melainkan kematian yang disebabkan oleh semua kata-kata yang tuan ucapkan sejak tadi. Kata-kata yang hanya tertinggal dalam selapis kertas poster dan tak pernah datang mengunjungi kamar kehidupan orang macam saya.” Tiba-tiba angin malam menyarangkan dingin dan gigil pada sumsum tulangnya yang renta. Membuyarkan imajinasi serta percakapannya yang hanya berputar-putar di sekitar kepalanya. Dan perempuan itu akhirnya kembali melangkah. Melewati semakin banyak lagi poster-poster dengan gambar-gambar yang ia rasa sudah tidak lagi tersenyum, melainkan menyeringai. Kalimat-kalimat yang ia baca seperti melahirkan lolongan-lolongan penuh cekam. Dan ia terus saja melangkah. Dengan cepat dan semakin cepat sambil tak lupa memanjatkan doa-doanya. “Tuhan, selamatkan aku. Selamatkan aku. Selamatkan aku!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar