Kamis, 31 Mei 2012

Bangsa yang CUkup Syarat Untuk Hancur

Entah sudah beberapa kali Tuhan bermurah hati mblejeti kebusukan-kebusukan yang diagungkan oleh pemimpin bangsa ini sehingga rakyat dapat dengan mudah mengenal dan mempelajari bagaimana karakter pemimpin mereka. Melalui temuan kasus demi kasus. Lewat terkuaknya aib demi aib serta terungkapnya konspirasi-konspirasi yang amat lancang kepada rakyat, Tuhan seakan ingin turun tangan sendiri dan mengajar langsung kedewasaan rakyat Indonesia agar mereka benar-benar mafhum bahwa bangsa yang mereka tempati sudah benar-benar diambang kehancuran. Tidak ada kemalangan yang lebih besar melebihi adanya inisiatif Tuhan untuk mengurus sendiri problem-problem akut yang dialami suatu masyarakat dalam sebuah negara. Kalau Rasulullah Muhammad SAW masih hidup sampai saat ini, mungkin Tuhan tidak merasa perlu berbuat sampai sejauh itu. Mungkin Ia cukup memberi tahu kepada kekasih-Nya itu bahwa sedang ada pengkhianatan amanah dan selanjutnya ia serahkan bagaimana pemecahannya kepada beliau SAW. Tetapi kemalangan yang terjadi di negeri ini sungguh luar biasa hebatnya. Tuhan sudah merasa sedemikian risih, bahkan mungkin geram dan sakit hati melihat perilaku pemimpin-pemimpin negeri ini yang tidak kunjung jera mengkhianati rakyatnya. Mereka terlalu asyik berdiam di balik gedung kekuasaan yang menyimpan benda-benda hasil rampokan harta rakyat. Penyelewengan, penggelapan kewenangan, pengingkaran amanah dibiarkan terlalu aman di dalam sebuah negeri yang justru melarang-larang rakyatnya untuk tidak beragama dan tidak berketuhanan. Maka tidak usah heran jika kemudian Tuhan kuakkan bisul-bisul dan borok mereka di depan tempat umum. Dikuakkan pun belum tentu membuat mereka jera dan sadar. Sebab mereka terlalu pintar untuk merekayasa sebuah alasan dengan mengatakan bahwa bisul dan borok di tubuh mereka tidak lain adalah tato-tato bergambar kembang dan bunga-bunga. Oleh sebab itu, saya tidak menyesal telah menulis kolom ini dengan judul di atas. Toh kalau mau dipikir-pikir bangsa ini rasanya memang sudah cukup syarat dan kualified untuk memasuki ranah kehancurannya. Seandainya kelak bangsa ini hancur sebelum waktunya, kita tetap harus bersyukur karena kahancuran itu bisa saja merupakan taktik dan cara Allah untuk membangun dan menata kembali negeri ini menjadi lebih baik. Tetapi sebelum kehancuran itu benar-benar terjadi, saya harap kita mau mencari tahu apa saja kualifikasi-kualifikasi yang dimiliki negeri ini sehingga ia pantas dihancurkan. Menurut rabaan saya (mohon maaf, saya masih diliputi kebodohan sehingga hanya mampu meraba-raba sesuatu daripada mengetahuinya secara obyektif), negeri ini sudah memiliki kualifikasi sampai tingkat tertentu yang barangkali menurut Tuhan harus secepatnya dirubah, entah dengan tangan-Nya atau melalui hamba-Nya yang masih soleh. Pertama. Dari sudut pandang politik dan kekuasaan, bangsa ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa menyerahkan sebuah kewenangan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki prefesionalitas keilmuan untuk menjalankan kewenangan itu, akan menuai kehancuran. Idzaa wusida al-amru ilaa ghairii ahlihii fantadzir al-saa’ah- begitu kata Nabi. Maka sungguh menggelikan ketika kita menyaksikan siapa saja yang nampang dalam barisan pemerintahan 2009-2014 yang baru dibentuk itu. Tidak ada kematangan berpikir dalam merumuskan dan menentukan siapa saja yang sebenarnya wajib dan patut diberi mandat. Semuanya hanya didasarkan pada upaya menjaga keamanan dan kekerabatan politis semata. Dengan formasi seperti itu, kita tidak tahu hendak dibawa kemana negeri ini. Menuju kemajuan atau mengulang ketersendatan. Merancang perubahan atau menanti kehancuran. Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa mengelus dada sambil diam-diam mengajukan permintaan kepada Tuhan, “Ya Allah. Berilah pemimpin-pemimpin baru kami ilmu ladunni. Sebuah kecerdasan yang seketika itu langsung tertanam di dalam tempurung kepala mereka sehingga mereka benar-benar paham apa tugas yang harus dijalankan. Jangan biarkan mereka menjadi orang yang baru akan mempelajari tugasnya ketika sudah terlanjur duduk di kursi jabatan. Karena tugas belajar itu ada di bangku sekolah, bangku kuliah dan gedung-gedung akademik. Apa jadinya nasib kami jika wakil-wakil kami baru akan belajar ketika mereka sudah menduduki jabatannya. Cukupkah bagi mereka waktu lima tahun untuk mempelajari siapa kami ini sebenarnya?” Kedua. Dari sisi kebudayaan, bangsa ini juga tidak jauh lebih baik dari pada apa yang sering mereka seminar-festivalkan. Contoh yang paling mudah kita temukan adalah perkembangan-perkembangan dalam dunia informasi. Informasi menjadi saluran utama bagi terjadinya persentuhan budaya di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dan sarana yang paling sering dijadikan sumber informasi oleh mereka adalah kotak ajaib yang kita sebut televisi. Awalnya saya tidak ingin memasukkan televisi sebagai contoh. Tetapi kalau hal itu saya lakukan, maka sama saja saya mengabaikan fakta yang berbicara tentang ketergantungan masyarakat kita kepada benda “mukjizat” itu. Mungkin saya tidak harus berpanjang lebar membicarakan perihal televisi ini. Ia tetap merupakan makhluk Tuhan yang netral dan bebas dari apapun. Persoalan yang sesungguhnya adalah siapa yang berdiam di balik tersiarnya acara demi acara di dalam televisi. Entah bagaimana melukiskannya. Saya benar-benar bingung ketika harus mengungkap sebuah kenyataan bahwa informasi yang disuguhkan kepada rakyat melalui kotak ajaib itu sungguh-sungguh merupakan bualan. Setiap hari, kita dijejali dengan acara demi acara yang tidak sungguh-sungguh mendewasakan mereka. Artis-artis dengan seenaknya menghadirkan diri dan menawarkan untuk dijadikan idola panutan dalam benak dan kesadaran penontonnya. Atas dasar nilai apa rakyat terus-menerus dipaksa untuk memelototi perselingkuhan seorang aktor-aktris. Atas dasar harapan apa rakyat miskin kerap disuguhi kejayaan dan kekayaan yang mereka miliki. Apakah semua itu ditujukan agar mereka tetap hidup di dalam impian dan angan-angan belaka? Apa kualitas nilai budayanya dari semua itu? Dimana letak pencerdasannya? Seperti apa wujud kreatifitasnya sehingga dengan tontonan macam demikian lantas mereka memiliki inspirasi baru untuk kreatif, untuk bangkit dari keterpurukan? Mohon maaf. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk Anda. Melainkan untuk kotak ajaib itu. Siapa tahu ia bisa menjawab semua pertanyaan saya sebagaimana umat yang selalu mendapat jawaban ustadz dari semua pertanyaan mereka. Bukankah para ustadz yang sering nampang di dalam kotak ajaib itu hebat-hebat? Tidak ada pertanyaan umat yang tidak bisa mereka jawab. Mereka hampir mengetahui semua masalah rakyat. Itu sebabnya mereka bisa menjawab masalah-masalah yang ditanyakan kepada mereka. Persoalan apakah jawaban itu bermutu karena memang benar-benar sesuai dengan konteks kebutuhan dan masalah yang dihadapi rakyat-umat, itu soal lain. Atau Wallahu A’lam. Kita diskusikan lagi dalam ruang yang lebih sunyi. Oleh sebab itu, jika rakyat sudah terlalu sering dijejali dengan kepuraa-puraan, selebritas yang tidak kunjung membuat mereka dewasa dan matang pemikirannya sebagai manusia, serta lelucon-lelucon yang menjadikan mereka lupa bahwa usia mereka sangat begitu singkat untuk hanya diisi dengan humor-humor murahan dan tak mendidik, salahkah seandainya Tuhan pemilik mereka merasa begitu cemburu dan tidak terima? Sangat menarik jika ada yang mau serius menjawab pertanyaan ini dan mengangkatnya menjadi salah satu bagian acara televisi yang ditayangkan secara live, dan tentu saja dengan mendatangkan ustadz yang benar-benar konsisten terhadap statusnya. Bukan ustadz yang bisa berceramah pada suatu kesempatan dan bisa berakting menjadi bakul pulsa pada kesempatan yang lain. Hehe! Ketiga. Melalui cara pandang hukum, bangsa ini masih sangat jauh perhatiannya pada keadilan. Hukum tidak benar-benar dipahami sebagai hukum sebab yang berlaku hanyalah proses-prosesnya yang berkepanjangan dan bertele-tele. Proses hukum tentu tidak sama dengan hukum itu sendiri. Proses peradilan tentu tidak pararel dengan keadilan itu sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, di dalam melakukan proses-proses penegakan hukum dan mewujudkan keadilan, ternyata punggawanya banyak melakukan kecurangan. Di tengah jalan, mereka banyak melakukan penyelewengan, pengingkaran, pengkhianatan, pemalsuan serta banyak terjerumus dalam praktek penyuapan. Di dalam iklim seperti itu, yang terluka bukan hanya tubuh-tubuh keadilan melainkan juga rakyat kecil. Mereka dijauhkan dari harapan akan masa depannya untuk memiliki negeri yang dirahmati keadilan. Mereka disakiti kepercayaannya. Dilukai amanahnya. Ditindas kemerdekaannya serta ditusuk-diinjak-diludahi-diberangus-dikuliti dan dibakar kedaulatannya. Melihat rakyat yang sedemikian menderita, maka wajar jika kemudian Tuhan tidak terima dan membuat jadwal penetapan penghancuran bagi bangsa ini. Dan kita tinggal menunggu waktunya saja. Kalau Anda bertanya; bisakah Tuhan menangguhkan rencana-Nya? Mungkin Ia akan menjawab dengan sebuah pertanyaan balasan, “Bisakah pemimpin dan tokoh-tokoh hukum-keadilanmu berubah dan berhenti melakukan kecurangan?” Saya sendiri tidak berani menyampaikan pertanyaan Tuhan ini kepada mereka. Karena tampaknya mereka sudah merasa enjoy dan nyaman dengan situasi seperti itu, sehingga bisa saja pertanyaan tersebut bagaikan sepoi-sepoi angin di pagi hari. Mengusap lembut daun kedua telinga mereka hingga kepada mereka akan benar-benar diperdengarkan sebuah suara yang berbunyi, ”Seperti halnya kau menyakiti-Ku lewat rakyatmu. Maka bersiaplah menerima akibat dari perbuatanmu sendiri,” Lalu kuda-kuda macam apa yang bisa kita persiapkan untuk melawan kesungguhan dalam setiap gertakan-Nya? Entahlah! *Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar