Kamis, 31 Mei 2012

Tak Ada Receh untuk Pengamen

Saya tidak tahu, di hadapan negara yang besar dan kaya raya ini -yang katanya penduduknya menganut kepercayaan kepada Tuhan, yang katanya rakyatnya berpegang teguh pada nilai-nilai adat ketimuran serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan- dimanakah letak nasib para pengamen? Terpaksa harus saya tanyakan nasib para pengamen ini karena secara tidak sengaja saya pernah melihat tempelan selebaran di sebuah pasar yang berisi tulisan NGAMEN GRATIS, dan dipojok kanan bawahnya tertera institusi yang mengeluarkan pengumuman itu: Ttd Polsek Kebumen. Tidak hanya satu selebaran, hampir semua pertokoan, baik kecil maupun besar, di pintu-pintunya tertera tulisan semacam itu. Saya tersenyum kecut melihat tulisan tersebut. Dan saya memiliki dua alasan penting untuk dikemukakan yang menyebabkan lahirnya tulisan ini kemudian: Pertama, mungkin karena terlalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang beradab dan penuh budi pekerti halus, maka hampir di segala bidang dibentuklah eufemisme-eufemisme. Mengusir pengamen diperhalus menjadi NGAMEN GRATIS, mengobrak-abrik pedagang kaki lima dipermak menjadi PENERTIBAN, mengucilkan pengemis dari satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka kerjakan diubah menjadi, BERBAHAYA DAN TIDAK MENDIDIK (lengkap dengan gambarnya yang biasa ditempelkan di perempatan-perempatan jalan besar). Kedua, mungkinkah kita sekarang ini hidup di suatu era dimana egoisme hampir menjadi panglima dari setiap gerak langkah kita. Egoisme yang saya maksudkan bukan hanya mau tahu kepentingan sendiri, akan tetapi pemahamannya telah memuai menjadi semacam keyakinan kolektif bahwa yang kita miliki benar-benar milik kita sendiri. Penganut keyakinan egoisme seperti ini barangkali memiliki prinsip bahwa, “hartaku adalah mutlak hartaku. Karena itu tak ada alasan untuk memberi sekadar uang receh kepada pengamen atau pengemis sekalipun, sebab itu berarti mengurangi jumlah hartaku.” Saya tidak tahu, apa yang bisa kita perbuat untuk menghentikan makin kencangnya laju fenomena semacam ini. Yang jelas, semua orang di pasar itu seakan merasa aman untuk tidak memberi dan membantu orang lain. Legalisasi untuk sebuah kebakhilan yang dikeluarkan institusi negara sekaliber Polsek -dengan kata-katanya NGAMEN GRATIS-, sepertinya membantu masyarakat untuk menikmati ketidakpedulian dan keacuhannya pada kesusahan orang lain. Kalaupun benar yang mengeluarkan maklumat itu adalah Polsek, maka itu artinya institusi negara telah memancing tumbuhnya sikap tidak peduli, tidak mau membantu, tidak mau tolong menolong serta menipiskan rasa kepekaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Mungkin saya paham alasan Polsek mengeluarkan atau bersedia menjadi penanggung jawab atas keluarnya peringatan edaran seperti di atas. Pengamen dapat mengganggu ketentraman dan keindahan sebuah kota. Itulah satu-satunya alasan klasik yang biasa dimiliki oleh pemerintah. Bahkan mungkin alasan seperti itu juga yang diyakini para pedagang sehingga mereka bersedia tokonya ditempeli surat edaran tersebut tanpa rasa sedih sedikitpun. Akan tetapi, apa yang bisa diperbuat oleh pemerintah dan kita semua untuk menentramkan kegelisahan para pengamen atau pengemis yang setiap hari dicekam rasa takut tidak makan? Tak ada jawaban yang pasti. Kita pun lebih memilih bungkam dan tidak mau tahu. Uang receh senilai seratus rupiah ternyata gagal kita perlakukan dengan benar. Kita gagal membaca kemungkinan bahwa dengan uang receh itu kita dapat mentransfer kasih sayang dan kepedulian antar sesama sebelum akhirnya kita mendapat transferan kasih sayang Allah, entah dengan cara dan dalam bentuk apapun. Seorang ibu, yang sempat saya tanyakan tentang masalah pengamen dengan lantang berkata, “Para pengamen itu hanyalah orang-orang yang malas bekerja. Padahal mereka masih muda, masih gagah dan kuat.” Saya maklum jika itu alasan yang membuat ibu-ibu dan bapak-bapak di pasar itu tak mau kehilangan receh seratus rupiahnya. Dan alasan ini sebenarnya bisa saja muncul di dalam benak kita sendiri. Akan tetapi, alasan yang demikian menyiratkan satu hal penting. Bahwa ternyata kita sudah terlalu lama tidak mau belajar kejernihan sehingga yang ada hanyalah buruk sangka demi buruk sangka. Kita lebih senang melempar uang receh tetapi dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan dari pada membiarkannya begitu saja seperti kita membuang upil. Logikanya, memberi dengan uang receh saja gerundelannya sehari semalam. Apalagi memberi sepuluh ribuan. Pasti menggerundel sepanjang tahun. Anomali Nilai-Nilai Sekarang kita sepakati saja bahwa NGAMEN GRATIS dan kata-kata senada lainnya merupakan potret baru dalam kebudayaan masyarakat kita. Ajaran tentang berbagi sepertinya sedang mempersiapkan diri untuk luntur. Seorang pemilik toko dengan jumlah dagangan yang sangat banyak serta dengan pemasukan yang besar memandang kedatangan pengamen dan pengemis layaknya seekor anjing liar penuh borok. Sekeping uang receh terasa seperti satu ons emas murni. Mereka genggam erat-erat sampai suara sumbang para pengamen dan pengemis lamat-lamat pudar dan mereka pergi menahan kecewa. Lalu kepada siapakah mereka harus meminta? Pemerintah. Tidak mungkin. Sebab pemerintah tidak memiliki undang-undang untuk memberdayakan mereka. Yang dimiliki pemerintah adalah undang-undang untuk mengusir dan memberangus mereka. Mungkin kepada pemilik toko atau kita sendiri, yang dimata pengamen atau pengemis diyakini memiliki kelebihan dan kedermawanan untuk memberi. Rasanya kok tidak mungkin juga ya. Apalagi kita terbiasa bersikap tenang-tenang saja sebagaimana para pedagang di salah satu pasar di Kebumen itu. Intinya, kita sekarang ini sedang mengalami anomali nilai-nilai. Perlahan-lahan kita tanggalkan ajaran luhur dan kemudian kita ganti dengan ajaran baru yang kita sangka lebih luhur dari yang pernah kita miliki. Modus penggantian ajaran itu bermacam-macam. Salah satunya ya, dengan bahasa-bahasa eufemisme seperti di atas. Maka saya merasa bangga ketika suatu hari, di sebuah perempatan jalan Jogja, saya didatangi seorang pengemis anak-anak dan saya memberinya selembar uang ribuan. Tiba-tiba, seorang lelaki pengendara motor di samping saya berkata: “Mas, lihat peringatan itu, “katanya sambil menunjuk pada sebuah gambar yang berisi larangan memberi dengan alasan “tidak mendidik”. Saya menjawab dengan pelan, “Kalau mas menganggap perbuatan saya tidak mendidik, sebaiknya bawa anak ini ke rumah mas dan didiklah dia dengan benar. Tetapi kalau mas tidak mau mendidiknya, mas salah besar. Sebab sudah tidak mau mendidik, mas tidak mau memberi pula.” Lampu hijau akhirnya menyala. Dan para pengendara berebutan untuk saling mendahului. Termasuk lelaki itu tadi. Saya tidak tahu, apakah ia marah atau memang sedang buru-buru. 5 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar