Jumat, 21 Oktober 2011

Terdesak

Oleh Salman Rusydie Anwar
Suatu senja di pinggir sebuah sungai di dalam hutan, seorang anak melepas mainan perahunya yang terbuat dari daun-daunan ke dalam air. Kedua matanya berbinar penuh bangga, seakan perahu itu hidup dan berubah menjadi perahu sungguhan.
“Perahu ini akan berjalan sampai ke seberang,” katanya sambil menunjuk ke balik hutan yang jauh, “dia akan menemukan tempatnya sendiri dengan benar.”
Malam hari, di dalam gubuk kayunya, anak kecil itu bercerita kepada kakeknya. Satu-satunya orang yang menjadi temannya setiap hari.
“Besok aku akan pergi menyusul perahuku. Dimana saja aku menemukannya, disitulah aku akan membuat tempat tinggal. Kira-kira sampai dimanakah perahu itu, Kek?”
Si kakek terdiam. Dia kemudian teringat dengan cerita pembangunan yang pernah disampaikan oleh sahabat-sahabatnya. Ya, pembangunan. Sebuah upaya manusia untuk menjadi makhluk yang maju dan bermartabat. Atas nama pembangunan, manusia telah melakukan banyak hal, baik yang benar-benar menguntungkan sekaligus dengan yang nyata-nyata merugikan.
Di mata si kakek waktu itu, pembangunan ibarat sebuah raksasa yang tak pernah terbayangkan besar dan buasnya oleh manusia. Ia melahap apa saja: sumber mata air, pohon-pohon, hutan-hutan, dan juga kesempatan hidup bagi berjenis-jenis makhluk hidup lain yang sebelumnya memberi warna bagi dunia. Tak hanya itu, dalam benak si kakek, pembangunan juga sering mengeluarkan kotoran-kotorannya dengan sembarangan, seperti kencing dan berak di aliran sungai yang membelah hutan. Ia juga suka membuang benda-benda sehabis di pakai di sungai itu, sehingga si kakek kesulitan mendapatkan air bersih.
Maka ketika cucunya mengulang kembali pertanyaan tentang perahu mainannya yang dilepas di sungai sore tadi, si kakek dengan lirih menjawab:
“Perahumu akan sampai di seberang, di tempat pembangunan berada. Tapi kau tak perlu ke sana, Buyung. Sebab cepat atau lambat pembangunan akan sampai juga disini. Mereka bisa membuat tempat tinggal disini. Mengganti perahu daunmu dengan perahu plastik. Mengganti air sungaimu dengan air-air limbah.”
Anak itu termangu-mangu mendengar penjelasan kakeknya. Dia mengangguk sambil tersenyum setelah si kakek selesai bercerita. Malam semakin larut. Di luar, terdengar serigala melolong-lolong panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar