Jumat, 21 Oktober 2011

Sapi-Sapi Kurban

Oleh Salman Rusydie Anwar
Dua ekor sapi di dalam penangkaran. Sedang terlibat pembicaraan. Begitu serius. Tak peduli pada rumput hijau yang baru saja diangsurkan seseorang kepada mereka.
“Sudahlah. Tak usah bersedih terus,” kata yang seekor sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Mengusir nyamuk.
“Padahal aku belum melihat anak-anakku dewasa. Rasanya baru beberapa menit saja kebersamaan kami dengannya. Sekarang kami malah dipaksa berpisah,” kata yang seekor dengan suara pelan. Memendam kesedihan.
“Bukankah dengan cara ini kita bisa menunjukkan bakti kita pada manusia. Pada Tuhan?” kata yang seekor. Mencoba menenangkan.
“Entahlah.”
Keduanya lalu terdiam. Memandang ke luar penangkaran. Di luar, cuaca tampak begitu cerah. Hanya terlihat awan tipis warna putih melapisi hamparan cakrawala. Rumput hijau teronggok di depan keduanya. Masih tak terjamah. Seperti hilang nafsu makan mereka. Memendam sedih yang tak mungkin dipahami manusia.
Keesokan hari kedua sapi dan beberapa ekor kambing yang ditempatkan di penangkaran yang berbeda itu akan disembelih. Untuk kurban. Untuk sebuah ketaatan manusia kepada perintah Tuhan.
“Malam nanti aku ingin tidur dengan tenang,” kata sapi yang dari tadi selalu murung. Kata-katanya berdesir lirih. Menimpakan haru pada sapi yang satunya, yang tampak tegar menghadapi kenyataan. “Kau sendiri kelihatan tenang. Apa memang demikian isi pikiranmu?”
Sapi yang satunya melenguh. Sebentar saja. Barangkali sekadar menghenyakkan pegal dari badannya.
“Sebenarnya aku juga sedih,” jawabnya singkat saja.
“Tapi aku tak melihatmu seperti itu.”
“Itu karena aku menyembunyikannya.”
Sapi yang selalu murung itu menatap temannya yang dari tadi tampak selalu terlihat tegar. Dilihatnya wajah sahabatnya itu. Dengan amat lekat. Seperti mencoba menyelami kesedihan yang selalu ia sembunyikan. Lalu keduanya melihat ke atas. Sesaat setelah mereka mendengar kaok burung bangau yang sedang pulang ke sarang.
“Rupanya hari sudah senja.”
“Itu artinya akhir hidup kita semakin dekat,” kata sapi yang selalu bersedih.
“Makanan kita sejak tadi belum terjamah. Sebaiknya mari kita makan dulu. Jangan terus bersedih. Setidaknya, kita bisa mati tanpa kepikiran tentang rumput yang hijau dan lezat ini,” kata sapi yang tegar. Seperti ingin mengalihkan pembicaraan.
“Maukah kau bercerita apa yang membuatmu sedih?”
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Hanya ingin tahu saja.”
Sapi yang tampak tegar itu menatap sapi di sampingnya. Lalu menarik napas. Tidak terlalu panjang.
“Aku sedih...,” suaranya terbata-bata, “bukan karena... hidupku akan diakhiri. Pun juga bukan karena akan berpisah dengan keluarga. Aku rela disembelih. Apalagi untuk kurban. Karena seperti ucapanku, dengan cara inilah aku bisa menunjukkan baktiku pada Sang Pencipta.”
“Lalu?”
“Aku sedih...karena orang yang berharap sekerat dagingku beberapa tahun ini begitu membludak. Berdesak-desak saat pembagian. Terserimpung. Terinjak-injak kepalanya. Lalu mati. Tanpa sempat mencicipi daging kita ini. Dan yang lebih membuatku sedih, manusia selalu terlambat memperbaiki. Sehingga dari tahun ke tahun musibah kurban terjadi lagi. Aku sedih, karena karunia dan pahala Tuhan yang dijanjikan dalam kurban harus ditebus dengan sesak sengal napas si fakir yang terhimpit, tergencet saat mengambil jatah.”
“Padahal mereka hanya dapat sekerat saja,” sapi yang satu menimpali.
“Begitulah.”
Keduanya sama-sama menarik napas. Kali ini agak begitu panjang. Malam pun turun merambat. Perlahan. Membawa dingin suasana terus mengalir. Melalui pagar-pagar penangkaran yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Sampai tengah malam, kedua sapi itu tidak bisa memejamkan mata. Seperti ada kegelisahan yang begitu sempurna.

Bersambung...,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar