Jumat, 21 Oktober 2011

Bakso

Salman Rusydie Anwar

Nur Kasiman hanya pedagang bakso biasa. Padanya, tak terlihat hal-hal yang membuat dirinya tampak istimewa. Setiap hari seusai dhuhur dia bersiap membuka warung baksonya. Untuk hari Minggu dia ikutan libur kerja. Sebagai pedagang bakso dengan warung lapak apa adanya, Mas Nur –begitu ia akrab disapa- tentu tak memiliki pemasukan tetap, apalagi dengan jumlah yang sangat besar.
“Cukup untuk mencukupi kebutuhan sekeluarga. Dan itu alhamdulillah,” katanya.
Dan begitulah Mas Nur menjalani sejarah hidupnya. Sudah tujuh tahun dia membuka usaha berjualan bakso tanpa pernah berpikir apakah kelak dia akan menjadi kaya dengan usahanya itu atau sekadar biasa-biasa saja atau bahkan mungkin jatuh terpuruk dan menjadi papa. Baginya yang terpenting adalah bekerja. Tanpa agenda. Tanpa rencana. Mungkin kehidupan ini dipahaminya seperti sebuah aliran air di sebuah kali. Mengalir begitu saja. Datar. Tanpa riak dan...yah, begitu-begitu saja.
Mohon prinsip Mas Nur ini jangan diutarakan kepada para konsultan, motivator-motivator atau penasehat hidup dengan label apapun. Bukan maksud saya agar Mas Nur tetap hidup begitu saja dan apa adanya. Tetapi antara Mas Nur dengan mereka terdapat kesenjangan sejarah yang sangat sukar dipertemukan garis tepinya. Mas Nur telah menemukan daya survive-nya dengan cara dan hidupnya sendiri yang kemudian ia pegang dan yakini erat-erat. Sehingga untuk mengubahnya barangkali diperlukan seminar dua tahun penuh berturut-turut. Wow....
Namun Mas Nur ternyata bukan sekadar “Mas Nur” yang pedagang bakso. Di samping itu dia juga mengandung banyak makna untuk diraba; dia kepala keluarga, ayah dari ketiga anaknya, kakak dari adiknya, cucu dari neneknya, anak dari kedua orangtuanya, seorang warga dari bangsa yang didiaminya dan yang tak kalah penting dia adalah manusia.
Sebagai manusia, Mas Nur telah membuktikan fungsi kehadirannya di dunia ini yang tidak lain adalah untuk BEKERJA. Manusia diciptakan memang untuk bekerja, yang sayangnya kata “bekerja” ini telah diarahkan maknanya hanya pada usaha mencari uang, harta. Padahal bekerja itu meliputi tidur, mandi, bera’, kencing, bersetubuh, shalat, berdoa dan sebagainya. Bahkan bayi yang baru lahirpun oleh Allah sudah diberi kemampuan untuk bekerja seperti menangis, kencing, buang air besar dan tidur.
Hal yang menarik dari Mas Nur disini adalah keberadaannya sebagai warga dari bangsa yang didiaminya. Suatu hari saya pernah mampir ke warung baksonya dan kebetulan beliau sedang membaca berita dari sebuah koran bekas.
“Repot tenan, dadhi wong Indonesia,” ujarnya.
Saya bertanya, “Memang ada apa? Kenapa harus repot?”
“Setiap hari harus selalu siap kaget.”
“Loh, kok bisa?”
“Sebentar-sebentar ada berita bencana, hati jadi menangis lagi lihat para korban menderita. Lalu ada tahanan yang bisa keluyuran, ada pejabat baru korup, banjir, gosip artis, demo, tawuran. Wes, poko’e kabeh bikin mumet ndas. Hilang akal kita, bagaimana sih caranya jadi rakyat yang menyenangkan disini.”
Bagi saya ucapan Mas Nur luar biasa. Dia mencoba mengapresiasi kejadian demi kejadian yang dialami bangsanya dengan daya nalarnya yang sederhana, ringan, sedikit gurih, manis namun juga ada dikit-dikit pedasnya. Jika dirasa-rasa, sama persis dengan cita rasa bakso yang dijualnya.
Ah, dari pada mumet kayak Mas Nur, mending hayo kita makan bakso bareng-bareng. Pasti seru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar