Jumat, 21 Oktober 2011

Dan Gayuspun Kabur

Oleh Salman Rusydie Anwar
“Gayus kabur dengan tertib dari dalam tahanan. Sompret benar si akal bulus itu.”
Martejo menghempaskan tubuhnya di atas tikar lapuk malam itu. Diantara sekitar tujuh orang yang biasa hadir ke rumah Marju’e tiap malam Minggu, baru Martejo yang datang. Sendirian. Dengan sarung diselempangkan di leher. Setiap malam minggu, rumah Marju’e memang kelihatan ramai dengan adanya orang-orang yang berasal dari kalangan petani, abang becak, kuli bangunan, tukang parkir, petugas kebersihan jalan, pembuat bata. Dan Marju’e sendiri memiliki pekerjaan tak kalah tragis; pemulung. Mereka berkumpul sekadar main gaple, ngobrol-ngobrol dan pijat secara bergantian. Bhinneka Tunggal Ikalah modelnya.
Anehnya, mereka berkumpul sesama orang yang memiliki awalan nama M. Ada Martejo si tukang bata, Masrawi si petani, Marju’e si pemulung, Murahwi si petugas kebersihan jalan, Misnawan si tukang becak, Maryono si kuli bangunan, dan Marham si tukang parkir. Itu sebabnya mereka menamakan kumpulan mereka dengan nama “M 150”, mirip nama sebuah minuman suplemen. Angka 150 itu sebenarnya penjelasan dari berdirinya perkumpulan tersebut yang didirikan pada tanggal 1 bulan 5 tahun 2000.
“Yang lain pada belum datang?” tanya Martejo.
“Murahwi tak mungkin datang. Tadi dia ijin. Katanya ada pertemuan di balai kota.”
“Pertemuan apaan?”
“Jalanan kan makin kumuh dan kotor dengan sampah. Mungkin ada semacam pengarahan dari kepala dinas kebersihan kota.”
“Sompret. Kepala dinasnya saja suruh nyapu.”
“Dari tadi somprat-sompret terus. Lagi mangkel?”
“Mangkel sama Gayus dan aparat Brimob. Gampang sekali mereka disogok.”
Marju’e sontak tertawa ngakak mendengar alasan kemangkelan sahabat karibnya sejak kecil itu. “Hei, bung. Seandainya sembilan puluh sembilan persen warga negara ini dihuni oleh tukang bata macam kau yang sama-sama mangkel atas kasus itu, keadaan tak akan berubah seinci pun. Negara tak akan terpengaruh.”
Martejo hampir protes. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bel yang berkleneng-kleneng nyaring di depan halaman. Tampak Misnawan datang menjinjing sebuah bungkusan.
“Kubawakan tujuh bungkus kopi untuk kalian yang terhormat,” katanya sambil bersalaman.
“Mantap. Akhirnya, setelah sepuluh tahun kita buat perkumpulan ini, baru sekaranglah hatimu terbuka untuk bersedekah,” tukas Marju’e.
“Sompret.”
“Loh, kok sompret juga. Mangkel sama Gayus juga?” tanya Marju’e sambil bergegas ke dalam untuk mengambil gelas.
“Ah. Tak ada Gayas-Gayusan. Yang penting rejeki mbecak hari ini lumayan,” jawab Misnawan yang langsung rebahan di samping Martejo sambil bercerita kalau siang tadi dia dapat order ngangkut-ngangkut barang.
“Coba kau jadi petugas Brimob yang jaga kamar tahanannya Gayus, pasti kaya kau dalam waktu semalam,” kata Martejo
“Alaah. Gayus lagi, Gayus lagi. Bikin hilang nafsu makan kalau mikirin dia. Kau tukang bata berlagak kayak pengacaranya saja. Kenapa kau ini?”
Sambil menuangkan kopi ke dalam gelas, Marju’e menjelaskan kenapa Martejo berbicara Gayus.
“Oohh, itu masalahnya to, Kang. Tak usah ikut ribut soal dia. Sudah ada yang mengatur.”
“Sompret kowe. Bukan itu masalahnya. Tapi mikir dong, masak tahanan bisa keluar masuk seenak udel-nya.”
“Dia kan uangnya banyak to, Jo. Jadi tak ada masalah jika dia mau begitu. Tinggal buat kesepakatan dengan petugas rutannya. Beres. Lagi pula kata kau dia kabur dengan tertib. Itu cocok. Polisi kan tugasnya menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat,” Marju’e menengahi.
“Kabur dengan tertib. Yang aku dengar dia bisa keluar masuk rutan. Bukan kabur,” sela Misnawan.
“Kabur dengan tertib itu menurut istilah Martejo. Artinya, ya sama dengan yang kau dengar itu.”
Misnawan menyalakan rokok. Asap mengepul menerobos serat-serat malam yang semakin dingin. Martejo mengedarkan pandang ke tengah halaman. Mencari-cari barangkali ada lagi yang bakal datang. Namun hanya sunyi yang terpancang di sana. Sedang Marju’e sudah berkali-kali mulutnya menguap. Ngantuk setelah seharian hanya mendapat sedikit barang bekas. Padahal dia sudah berjalan kurang lebih sepuluh kilo jauhnya. Setelah agak lama sama-sama terdiam, akhirnya Martejo buka suara:
“Besok, anakku si Suyono akan aku masukkan ke sekolah brimob. Biar dia bisa jaga rutan tempatnya Gayus. Biar dia kecipratan berkahnya si Tambunan itu.”
Misnawan dan Marju’e yang mendengar omongan Martejo secara spontan sama-sama berucap:
“Sompret kowe...”
Setelah itu mereka tertawa ngakak bersama. Tawa yang bebas. Sebebas mereka bermimpi dan berkhayal. Setiap hari. Setiap waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar