Jumat, 21 Oktober 2011

Empati Untuk Sumiyati

Oleh Salman Rusydie Anwar
Sejarah “kekuasaan” hampir selalu memiliki prinsip yang sama; selalu menindas mereka yang lemah. Sedang kekuasaan itu sendiri tak melulu harus berwujud negara-pemerintahan, melainkan dapat mengambil bentuk dalam konteks apa saja, dimana saja.
Maka ketika perempuan Sumi yang remuk karena disiksa majikannya itu hampir sekarat, dia pun sadar bahwa dirinya adalah pihak yang lemah, yang sedang mengarung di pusaran kekuasaan rumah majikannya.
Lalu untuk apa perempuan Sumi dan ribuan perempaun lainnya itu memberanikan diri memasuki siklus kekuasaan yang begitu pongah? Yang tidak bersedia mengakui bahwa yang lemah harus segera dipapah?
Saya bayangkan Sumiyati menjawab begini, “Semua itu demi menghidupi keluarga, saya berani merantau ke negeri ini. Negeri para Nabi yang diberkati. Namun ternyata, tak banyak yang tersisa dari kemuliaan mereka di sini. Jika para Nabi terdahulu sanggup menempatkan kami pada singgasana kehormatan karena kelemah-papaan yang kami sandang, tetapi hari ini kemuliaan mereka sepertinya hanya tinggal sebuah kenangan.”
Begitu pahit memang. TKW kita digerushabis di negeri orang. Diinjak-injak kepala mereka. Ditendang-tendang rusuk mereka. Dibanting-banting tubuh mereka. Dan yang lebih menyakitkan, begitu luka dan memarnya hati mereka saat harus kembali dan menemukan bahwa ternyata negerinya sendiri tak sanggup memberi dia pekerjaan sehingga tidak membuatnya pergi ke negeri orang.
Dan pada suatu malam, seorang bocah bertanya pada Ibunya yang seorang peri:
“Apakah negeri kita miskin, Ibu?”
“Tidak anakku. Bahkan lebih kaya dari yang engkau kira,” jawab Ibunya sambil membelai-belai kepala bocah itu.
“Tapi kenapa perempuan itu pergi ke sana kalau negeri kita sendiri cukup kaya untuk memberinya kerja dan upah?”
Ibunya terdiam. Ditatapnya kedua bola mata anaknya dalam-dalam. Begitu bening. Begitu suci. Dua bola mata itu tak pantas menyaksikan berbagai ketimpangan yang terjadi di negerinya sendiri. Begitu pikir si Ibu sambil meletakkan anaknya di atas tempat tidur.
“Kenapa Ibu tidak menjawab pertanyaanku.”
“Tunggu sebentar, anakku,” kata si Ibu sambil bergegas pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu. Tak lama kemudian si Ibu mendatangi anaknya kembali.
“Ibu sudah punya jawabannya?”
Si Ibu mengangguk sambil tersenyum. Lalu diceritakanlah kisah tentang suatu negeri yang kesuburannya mengundang hasrat banyak orang untuk berkuasa. Berganti-ganti mereka yang datang. Semuanya dengan satu tujuan yang sama; mengeruk kekayaan alam. Sampai akhirnya, perlawananpun dilakukan. Rakyat bersatu menerjang penjajahan. Harta nyawa dikorbankan hingga kemerdekaanpun diraih dengan gemilang.
“Lalu. Apakah semua kekayaan itu habis untuk membiayai perang, Ibu?”
Sang Ibu menggeleng. “Ibu sendiri tidak tahu kemana perginya kekayaan itu setelah negeri ini bebas dari penjajahan, Nak. Yang Ibu tahu, semakin banyak saja perempuan-perempuan macam Sumi yang pergi ke negeri orang. Mereka pergi seperti seorang petarung yang gagah berani, namun kembali bagai penjajah yang kalah.”
“Ibu kan seorang peri. Ayunkan tongkat sakti ibu untuk mengembalikan kekayaan itu. Agar tidak lagi ada orang-orang macam Sumi dikemudian hari.”
Si Ibu peri mengeluarkan tongkatnya. Begitu penuh dengan debu dan jelaga. Hitam dan ada bagian-bagian yang tak lagi utuh.
“Bahkan tongkat sakti ibupun tak ada artinya. Lihatlah ini,” katanya sambil mengangkat tongkat sakti itu di depan anaknya. “tongkat sakti ibu sudah tidak utuh lagi. Ada bagian-bagian yang sudah habis dikerat dan sepertinya ini hanya bisa dilakukan oleh tikus-tikus.”
Bocah itu terdiam. Seperti sedang berpikir. Di dalam tempurung kepalanya kemudian terbayang akan kesaktian si tikus yang sanggup mengerat tongkat sakti ibunya tanpa sedikitpun mengalami celaka. Bocah itu tersenyum. Lalu berguman. Begitu lirih:
“Andai aku seekor tikus. Pasti lebih sakti dari tongkat ajaib ibu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar