Jumat, 21 Oktober 2011

Ahmadiyah dan Buta Mata Kita

Oleh Salman Rusydie Anwar
Ahmadiyah menyimpang. Begitulah kira-kira keyakinan yang dipegang erat oleh sebagian orang, sehingga atas nama keyakinan itu pula mereka merasa perlu untuk menyerang, membakar dan melampiaskan amarah tanpa bisa dikendalikan.
“Melihat penyerangan yang begitu mengerikan, saya tiba-tiba ingat Abu Bakar,” kata seorang pemuda kepada temannya dengan suara lirih di suatu malam yang bergerimis. Ia kemudian bercerita kalau pada suatu waktu Abu Bakar pernah mendengar kebiasaan Rasulullah yang selalu pergi menemui seorang buta di pagi hari. Tak hanya pergi menemui. Beliau juga membawakan semangkuk bubur, segelas air dan menyuapkannya hingga si buta kenyang, paparnya.
Hingga Nabi Agung itu meninggal, kebiasaannya akhinya dilanjutkan oleh sahabat setianya, Abu Bakar. Untuk pertamakalinya, Abu Bakar datang menemui si buta, membawakan bubur dan meletakkannya di depan orang itu.
“Siapakah ini?” tanya si buta. Karena tidak ingin identitasnya diketahui, Abu Bakar menjawab, “Orang yang biasanya membawakan Anda bubur ke sini.”
“Tidak. Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga membawakanku segelas air.” Abu Bakar diam dan pergi. Besok hari dia datang lagi membawakan bubur dan segelas air, lalu meletakkan di depan si buta. Seperti sebelumnya, si buta mengajukan pertanyaan yang sama dan Abu Bakar menjawab dengan jawaban yang juga sama.
“Tidak,” kata si buta, “Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga akan menyuapi dan meminumiku hingga aku kenyang.” Kali ini Abu Bakar kembali pergi dan besok harinya dia datang membawa bubur, segelas air dan kemudian menyuapi serta meminumi si buta hingga kenyang. Setelah selesai, si buta kembali mengajukan pertanyaan:
“Sejak kemarin aku tahu kalau kau bukan orang yang biasanya datang kemari. Sekarang katakan, siapakah dirimu dan kemana perginya orang yang biasanya datang ke sini?”
Abu Bakar tercekat sebelum akhirnya dia menjelaskan, “Saya Abu Bakar. Dan orang yang selalu membawakan Anda bubur, segelas air dan menyuapi Anda hingga kenyang sudah meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Tahukah engkau, kalau dia adalah Muhammad, utusan Allah.”
Kali ini ganti si buta yang tercekat. Tubuhnya gemetar dan air matanya tumpah tak tertahankan. Di tengah sedu-sedannya itu si buta berkata:
“Sungguh mulia Muhammad dan sungguh hinanya diriku. Wahai, Abu Bakar. Jadilah saksi atas perkataanku,” katanya sambil mengucapkan syahadat. Si buta itu ternyata adalah orang Yahudi yang sebelumnya tak hanya mengingkari kerasulan Muhammad, namun juga menyangkal keesaan Allah.
Pemuda itu menutup ceritanya sambil menghapus kedua matanya yang tampak sembab. Tak sanggup dia menahan haru melihat sedemikian mulianya sang Nabi dan sahabatnya memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Kemuliaan itulah yang kemudian menumbuhkan simpati mendalam di hati Yahudi sehingga secara sadar ia pun bergabung dalam jamaahnya.
Si pemuda menarik napas. Sekarang dia berhadapan dengan kenyataan bahwa perbedaan keyakinan tak bisa lagi dijadikan peluang untuk berlomba melakukan sesuatu yang lebih indah dan benar. Keindahan dan kebenaran sepertinya hanya bisa dipahami lewat keseragaman yang pongah, sombong dan tak memberi kesempatan bagi pihak lain untuk mengambil jalannya sendiri tanpa harus dirintangi dan diganggu. Lain dari itu, perbedaan keyakinan sangatlah identik dengan ancaman. Sehingga orang yang berbeda keyakinan, kita anggap sebagai musuh yang tak berhak mendapat pengampunan.
“Dimanakah Abu Bakar?” teriak si pemuda tiba-tiba. “Aku rindu kehadirannya untuk menyuapi orang-orang yang kita anggap sesat dan buta akan kebenaran tanpa harus membuatnya tersedak dan tersengal. Dimanakah Nabi Agung itu berada diantara sekian ribu kepala orang-orang yang meyakini kerasulannya? Kenapa ia tidak hadir dalam kesadaran kita, sehingga apa yang kita perbuat cenderung menyimpang dari yang ia teladankan. Siapakah yang buta sekarang? Kita atau mereka yang kita yakini menyimpang itu?”
Teriakan pemuda memecah sunyi malam. Dan sahabatnya hanya memandang dengan tawa cekikikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar