Oleh Salman Rusydie Anwar
Bagi Anda yang belum memiliki buah hati, barangkali catatan ini penting untuk dijadikan sebagai penyemangat akan pentingnya menjaga kesehatan si buah hati kelak. Sementara bagi yang sudah dikaruniai buah hati, semoga catatan ini dapat menggugah kesadaran Anda untuk membantu (minimal lewat doa) terhadap buah hati seorang kawan saya yang saat ini tergolek tak berdaya di ruang ICCU di salah satu rumah sakit di kota Pemalang.
Sungguh malang nian nasib anak yang satu ini. Di usianya yang masih empat bulan dia sudah mengidap suatu penyakit yang membuat siapa saja yang mendengar nama penyakitnya pasti akan bergidik menahan ngeri; Radang Otak.
Ya Tuhan! Jangankan untuk jenis penyakit yang konon hanya akan berujung pada kematian dan kalaupun sembuh akan menyebabkan yang bersangkutan mengalami kelainan, sekadar buah hati menderita demam, pilek dan penyakit-penyakit yang biasa dialami bayi saja, sebagai orangtua kita pasti akan uring-uringan. Sementara penyakit bayi ini? Oh….,seandainya Anda yang jadi orangtua si bayi itu, sungguh tak terperikan bagaimana nelangsa dan menderitanya perasaan Anda saat itu.
Saya yakin Anda pasti akan blingsatan seandainya takdir penyakit itu ditimpakan kepada Anda, keluarga Anda, orang-orang dekat Anda maupun orang-orang yang teramat sangat Anda cintai. Bayi suci yang oleh orangtuanya diberi nama Jordy Alfarisi ini barangkali tidak dapat menyampaikan rasa sakit yang dialaminya dengan jelas kepada orang-orang di sekitarnya setelah tingkat penyakit yang diidapnya telah membuat dia koma. Koma untuk suatu waktu yang tak dapat dipastikan akan kapan berakhirnya.
Dan yang lebih membuat gigil hati dan perasaan adalah ketika biaya perawatan yang hingga saat ini hampir mencapai seratus juta itu harus ditanggung oleh orangtua Jordy yang pekerjaan utamanya hanyalah sebagai buruh pabrik. Bisa Anda bayangkan, berapa sih gaji seorang buruh kasar pabrik? Jika selama satu bulan dia harus menerima gaji sebesar tiga atau lima ratus ribu misalnya, butuh berapa bulan dia bekerja untuk dapat mengumpulkan duit sebanyak seratus juta? Butuh berapa banting tulang dan berapa ribu liter keringat yang harus dikeluarkan oleh ayah Jordy agar anaknya bisa ditangani?
Di sini kita dipertemukan kembali dengan kenyataan bahwa rasa cinta dan kasih sayang orangtua itu tak mengenal batas harga. Berapapun, asalkan si buah hati dapat diselamatkan, orangtua pasti akan berusaha, bahkan kalau perlu harus bertaruh nyawa. Dan Anda pasti akan berpikir sama seandainya anak Anda mengalami nasib serupa sebagaimana si Jordy kecil ini. Tak ada orangtua -yang benar-benar orangtua- rela membiarkan anaknya menemui kematian akibat penyakit yang diderita betapapun si orangtua itu sendiri sadar bahwa tidak ada pilihan lain untuk mengatasi penyakit itu selain hanya menunggu kepastian Tuhan akan takdir yang telah ditentukan-Nya.
So, apa yang harus kita lakukan? Atau lebih tepatnya apakah kita perlu melakukan sesuatu untuk keluarga Jordy? Kalau pun perlu, seperti apa bentuk bantuan yang dapat kita berikan mengingat selama ini ada banyak sekali jenis-jenis bantuan yang bisa diberikan seseorang kepada orang lain. Mulai dari tenaga, harta atau yang lebih simple dan mudah; doa dan penyemangat.
Saya sendiri bingung bentuk bantuan seperti apa yang harus saya berikan kepada orangtua Jordy saat ia -melalui orang lain- menyampaikan keinginannya untuk pinjam uang kepada saya. Saya tidak memiliki kekayaan berlimpah (dan kalaupun saya kaya belum tentu juga mau membantu), yang sedianya dapat saya sumbangkan sekadar untuk sedikit meringankan beban Jordy, terutama orangtuanya.
Setelah lama saya dilanda kebingungan dan berpikir mencari cara untuk dapat membantu walau tak seberapa, akhirnya datang juga sebuah saran dari istri agar saya menghubungi seorang sahabat senior yang memungkinkan dapat memberi bantuan. Saya ikuti saran istri saya dan syukurlah sahabat senior saya bersedia memberi bantuan. Sepanjang jalan menuju tempat kediaman sahabat saya untuk mengambil bantuan itu, saya teringat kembali pada guru saya yang pernah berkata seperti ini:
“Ketika seseorang datang kepadamu dan meminta bantuanmu, maka sesungguhnya ketika itu Tuhan tidak sedang salah pilih, bahwa engkaulah yang memang diperkenankan dan diijinkan oleh-Nya untuk membantu. Sedapat mungkin jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan langsung oleh-Nya. Kalau ketika itu engkau sendiri tidak berdaya, mohonlah kepada-Nya agar Dia memberikan jalan keluar bagi dirimu. Toh sejatinya Dia yang memilihmu, dan Dia pasti tahu apa yang terbaik untuk kamu lakukan sehingga kamu tetap bisa memberikan bantuan.”
Meski dilanda rasa malu, tidak enak hati dan rasa sungkan yang luar biasa kepada sahabat senior saya itu, saya tetap bersyukur, bahwa sekalipun menjadi perpanjangan tangan dari proses tolong menolong ini setidaknya saya sudah melakukan sesuatu untuk orang lain. Tetapi dalam hati tetap saja ada yang mengganjal, terutama karena saya tidak bisa memberi bantuan sebanyak yang diberikan sahabat senior saya tadi. Untuk sahabat senior saya, terima kasih tiada hingga.
Mengingat hal ini, saya jadi sedikit iri. Sebab saya merasa, Tuhan sebenarnya tidak sedang memilih saya untuk dapat membantu orang lain, tetapi Dia memilih sahabat senior saya tadi. Saya ini dipilih Tuhan sekadar untuk jadi pipa saluran saja. Mungkin Anda akan berkata, “Masih untung yang memilihmu jadi pipa saluran adalah Tuhan, bukan pegawai PDAM itu.”
Hah….tau, ah!
Ini ceritaku. Apa ceritamu?
Kebumen, 29 Oktober 2011
Jumat, 28 Oktober 2011
Rabu, 26 Oktober 2011
Cinta si Tukang Kebun
Oleh Salman Rusydie Anwar
Presiden itu milik rakyat karena rakyatlah yang memilih seseorang menjadi presiden. Saham kepemilikan rakyat atas presiden adalah 100% dan tak ada kekuatan apapun yang dapat mengurangi rasa kepemilikan rakyat atas presidennya kecuali si presiden itu yang berusaha melepaskan diri dengan berbagai cara strategi agar merasa tidak dimiliki oleh rakyat yang telah memilihnya.
Di dunia ini banyak sekali contoh-contoh sejarah yang mempertontonkan keengganan seorang presiden untuk dianggap bahwa dia adalah milik rakyatnya. Sedemikian rupa besarnya rasa keengganan itu sehingga lambat laun ia menjadi kekuatan-kekuatan yang dapat membutakan si presiden itu sendiri.
Sebut saja salah satunya adalah Khadafi. Presiden Libya yang nyentrik ini barangkali di awal-awal kekuasaannya masih sanggup memposisikan diri sebagai “milik rakyatnya”. Tetapi seseorang memang terkadang amat dengan mudah merubah putaran roda sejarahnya sendiri sehingga dari yang awalnya baik menjadi sedikit kurang baik dan pada akhirnya total menjadi tidak baik.
Saya tidak mengatakan bahwa Khadafi itu tidak baik. Tetapi munculnya pemberontakan rakyat Libya terhadap diri Khadafi sendiri menunjukkan bahwa si Singa Tua itu sepertinya sudah tidak lagi menempatkan diri sebagai “milik rakyatnya,” melainkan sekadar milik dirinya sendiri, keluarga, rekan dan mitra-mitra terdekatnya.
Mungkin seperti itu pula yang menimpa presiden ke-2 kita, Soeharto. Presiden yang murah senyum ini di awal-awal berkuasa juga sama dengan Khadafi, mampu menempatkan diri sebagai milik rakyat. Namun kekuatan reformasi pada akhirnya sanggup menunjukkan satu fakta baru bahwa ternyata Pak Harto telah berusaha untuk tidak dimiliki oleh siapapun selain diri, keluarga dan orang-orang dekatnya. Maka tumbanglah ia sebagaimana Khadafi.
Dua peristiwa di atas memberi kita pelajaran besar, bahwa rasa cinta dan rasa memiliki yang tertanam di hati rakyat itu sesungguhnya adalah kekuatan yang begitu menenteramkan dan sekaligus membahayakan. Jika rasa kepemilikan rakyat atas presidennya dengan amat sengaja dihalang-halangi oleh si presiden itu sendiri, maka si presiden itu sebenarnya sedang menabuh genderang kehancuran atas dirinya sendiri.
Kita harus banyak belajar dari berbagai negara di seluruh pelosok jagat raya ini bahwa jika ada seorang presiden yang tidak bersedia untuk dimiliki atau enggan untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap rakyatnya, maka kehancuran akan senantiasa membayang-bayangi perjalanan negara itu.
Beberapa waktu yang lalu, sebagai rakyat kita harus bersyukur bahwa presiden kita diingatkan bahwa ia masih amat dicintai dan merasa dimiliki oleh rakyatnya. Lolosnya seorang tukang kebun dari pasukan pengaman presiden sehingga ia berada amat dekat dengan Pak Presiden sepertinya memberikan satu isyarat bahwa presiden itu milik rakyat dan karenanya ia harus dekat dengan rakyat dan harus mudah didekati oleh rakyat.
Akan sangat arif jika kejadian itu sanggup membuat presiden kita merenungkan beberapa hal misalnya; pertama, lolosnya tukang kebun dari pasukan pengaman presiden yang konon sangat berlapis-lapis itu adalah bukti bahwa sesungguhnya betapa rapuhnya kekuasaan manusia sekalipun ia dilindungi oleh berbagai lapis kekuatan manusia macam apapun. Dan diantara kekuatan-kekuatan yang mampu membuat rapuh bangunan kekuasaan itu salah satunya adalah rakyat kecil.
Kejadian lolosnya I Nyoman Minta, si tukang kebun itu sebenarnya bukan kejadian pertamakali yang dialami presiden. Sebab sebelumnya pernah terjadi kejadian serupa yang melibatkan seorang anak berpakaian pramuka dan seorang wanita tua di Cirebon yang berhasil lolos dari paspampres sehingga keduanya bisa berdekat-dekat dengan presiden.
Kedua, akan sangat panjang urusannya seandainya lolosnya pak kebun kita itu sedikit dimodifikasi maknanya seperti, berapa kekuatan yang dititipkan Tuhan kepada pak kebun tadi sehingga ia dapat dengan mudah melenggang masuk menembus rapatnya pasukan pengaman presiden atau kekuatan apa yang menjadikan pasukan presiden yang gagah-gagah itu bisa lengah padahal seumur hidup mereka berlatih cara mengamankan presiden?
Ah, sudahlah! Ini mungkin terlalu mengada-ngada. Yang penting presiden kita selamat dan ia harus bersyukur karena telah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyaksikan bahwa diantara wangi, necis dan megahnya para tamu VVIP yang hadir di lokasi pembukaan ASEAN Fair itu ternyata ada rakyat sekelas I Nyoman Minta. Artinya, presiden itu harus tahu diri bahwa 100% dia adalah milik rakyat macam tukang kebun itu, bukan orang-orang tamu VVIP saja.
Ranta.....!!!
Kebumen 27 Oktober 2011.
Presiden itu milik rakyat karena rakyatlah yang memilih seseorang menjadi presiden. Saham kepemilikan rakyat atas presiden adalah 100% dan tak ada kekuatan apapun yang dapat mengurangi rasa kepemilikan rakyat atas presidennya kecuali si presiden itu yang berusaha melepaskan diri dengan berbagai cara strategi agar merasa tidak dimiliki oleh rakyat yang telah memilihnya.
Di dunia ini banyak sekali contoh-contoh sejarah yang mempertontonkan keengganan seorang presiden untuk dianggap bahwa dia adalah milik rakyatnya. Sedemikian rupa besarnya rasa keengganan itu sehingga lambat laun ia menjadi kekuatan-kekuatan yang dapat membutakan si presiden itu sendiri.
Sebut saja salah satunya adalah Khadafi. Presiden Libya yang nyentrik ini barangkali di awal-awal kekuasaannya masih sanggup memposisikan diri sebagai “milik rakyatnya”. Tetapi seseorang memang terkadang amat dengan mudah merubah putaran roda sejarahnya sendiri sehingga dari yang awalnya baik menjadi sedikit kurang baik dan pada akhirnya total menjadi tidak baik.
Saya tidak mengatakan bahwa Khadafi itu tidak baik. Tetapi munculnya pemberontakan rakyat Libya terhadap diri Khadafi sendiri menunjukkan bahwa si Singa Tua itu sepertinya sudah tidak lagi menempatkan diri sebagai “milik rakyatnya,” melainkan sekadar milik dirinya sendiri, keluarga, rekan dan mitra-mitra terdekatnya.
Mungkin seperti itu pula yang menimpa presiden ke-2 kita, Soeharto. Presiden yang murah senyum ini di awal-awal berkuasa juga sama dengan Khadafi, mampu menempatkan diri sebagai milik rakyat. Namun kekuatan reformasi pada akhirnya sanggup menunjukkan satu fakta baru bahwa ternyata Pak Harto telah berusaha untuk tidak dimiliki oleh siapapun selain diri, keluarga dan orang-orang dekatnya. Maka tumbanglah ia sebagaimana Khadafi.
Dua peristiwa di atas memberi kita pelajaran besar, bahwa rasa cinta dan rasa memiliki yang tertanam di hati rakyat itu sesungguhnya adalah kekuatan yang begitu menenteramkan dan sekaligus membahayakan. Jika rasa kepemilikan rakyat atas presidennya dengan amat sengaja dihalang-halangi oleh si presiden itu sendiri, maka si presiden itu sebenarnya sedang menabuh genderang kehancuran atas dirinya sendiri.
Kita harus banyak belajar dari berbagai negara di seluruh pelosok jagat raya ini bahwa jika ada seorang presiden yang tidak bersedia untuk dimiliki atau enggan untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap rakyatnya, maka kehancuran akan senantiasa membayang-bayangi perjalanan negara itu.
Beberapa waktu yang lalu, sebagai rakyat kita harus bersyukur bahwa presiden kita diingatkan bahwa ia masih amat dicintai dan merasa dimiliki oleh rakyatnya. Lolosnya seorang tukang kebun dari pasukan pengaman presiden sehingga ia berada amat dekat dengan Pak Presiden sepertinya memberikan satu isyarat bahwa presiden itu milik rakyat dan karenanya ia harus dekat dengan rakyat dan harus mudah didekati oleh rakyat.
Akan sangat arif jika kejadian itu sanggup membuat presiden kita merenungkan beberapa hal misalnya; pertama, lolosnya tukang kebun dari pasukan pengaman presiden yang konon sangat berlapis-lapis itu adalah bukti bahwa sesungguhnya betapa rapuhnya kekuasaan manusia sekalipun ia dilindungi oleh berbagai lapis kekuatan manusia macam apapun. Dan diantara kekuatan-kekuatan yang mampu membuat rapuh bangunan kekuasaan itu salah satunya adalah rakyat kecil.
Kejadian lolosnya I Nyoman Minta, si tukang kebun itu sebenarnya bukan kejadian pertamakali yang dialami presiden. Sebab sebelumnya pernah terjadi kejadian serupa yang melibatkan seorang anak berpakaian pramuka dan seorang wanita tua di Cirebon yang berhasil lolos dari paspampres sehingga keduanya bisa berdekat-dekat dengan presiden.
Kedua, akan sangat panjang urusannya seandainya lolosnya pak kebun kita itu sedikit dimodifikasi maknanya seperti, berapa kekuatan yang dititipkan Tuhan kepada pak kebun tadi sehingga ia dapat dengan mudah melenggang masuk menembus rapatnya pasukan pengaman presiden atau kekuatan apa yang menjadikan pasukan presiden yang gagah-gagah itu bisa lengah padahal seumur hidup mereka berlatih cara mengamankan presiden?
Ah, sudahlah! Ini mungkin terlalu mengada-ngada. Yang penting presiden kita selamat dan ia harus bersyukur karena telah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyaksikan bahwa diantara wangi, necis dan megahnya para tamu VVIP yang hadir di lokasi pembukaan ASEAN Fair itu ternyata ada rakyat sekelas I Nyoman Minta. Artinya, presiden itu harus tahu diri bahwa 100% dia adalah milik rakyat macam tukang kebun itu, bukan orang-orang tamu VVIP saja.
Ranta.....!!!
Kebumen 27 Oktober 2011.
Minggu, 23 Oktober 2011
Dua Cermin Kematian Simoncelli-Khadafi
Oleh Salman Rusydie Anwar
Sungguh miris hatiku mendengar kematian Khadafi dan Simoncelli, yang barangkali kematian keduanya tidak pernah disangka-sangka sebelumnya, baik oleh orang lain maupun oleh yang bersangkutan. Memang aku tidak kenal siapa Simoncelli dan Khadafi selain keduanya adalah dua manusia yang sering menjadi berita oleh profesi mereka sebagai pembalap dan presiden.
Tetapi, betapapun itu Moncelli dan Khadafi adalah dua tokoh tak terjangkau dalam sehari-hari kehidupanku, tidak sebagaimana si Toyo, Tatot, Yayo, Agus, Buzairi, namun kepergiannya sanggup menggedor kesadaranku akan batas usia yang selama ini seringkali aku abaikan dengan amat sengaja.
Yah. Betapa rapuhnya memang manusia itu meski dalam tangannya tergenggam kekuasaan, kekuatan, kepiawaian, popularitas dan juga uang. Moncelli tewas seketika saat kepiawaiannya membalap tak mampu mengimbangi dan menghindar dari laju takdir kematian yang mengejarnya.
Pun juga dengan Khadafi. Dia boleh saja memahami dengan amat mahir bagaimana menyelematkan kursi kekuasaan yang ia duduki selama empat puluh tahun atas negara kaya minyak, Libya. Bahkan sah-sah saja Khadafi membentuk pasukan pengaman terlatih yang akan selalu melindungi dirinya dari berbagai macam ancaman yang membahayakan.
Namun Khadafi memang hanya Khadafi. Kekuasaan yang amat begitu lama ia rengkuh pada akhirnya tetap tidak bisa menguasai nasibnya sendiri. Ia harus takluk oleh nasib kematian yang justru menjemputnya dengan amat tragis. Harta berlimpah yang ia miliki tidak sanggup untuk mengganti sejengkal ketentuan yang digariskan Tuhan bahwa ia harus berakhir di sebuah tempat yang barangkali selama ini sangat ia benci dan jauhi, saluran air kotor, got.
Lalu bagaimana denganku? Dengan cara apa kehidupanku akan berakhir? Tak ada yang bisa memastikan apakah kehidupanku akan berakhir dengan amat nyaman, tenang, tanpa melahirkan sekian ribu kemirisan di hati orang-orang terdekatku?
Kematian memang merupakan salah satu rahasia terbesar yang manusia sejenius Einstein saja tak bakalan mampu memahaminya meski ia otak-atik lagi rumus E=mc²-nya yang kesohor itu. Tuhan memang sengaja merahasiakan peristiwa yang tak seorangpun di dunia ini bakal melewatinya dengan tujuan agar manusia berusaha mempersiapkan dengan lebih baik berdasarkan kesadarannya sendiri.
Namun lagi-lagi, ya itu. Manusia memang memiliki ingatan berjangka pendek untuk urusan kematian yang konon kematian itu sendiri adalah gerbang menuju perjalanan berjangka panjang. Bahkan tampa ambang. Begitu halnya dengan diriku. Kematian menempati urutan ke 9.000.000.000 dalam ingatanku sehingga sehari-hari aku selalu sibuk dengan tawa-tiwi sebagai ekspresi kebanggaan atas harta, jabatan, popularitas yang aku miliki.
Apakah keadaan ini merupakan sebuah masalah bagi hidupku?
Jika pertanyaan ini aku ajukan kepada seorang ustadz, maka sangat mungkin sekali ia akan mengatakan itu sebagai sebuah masalah mengingat Kanjeng Nabi Muhammad sendiri sering mewasiatkan agar kita sering-sering mengingat mati.
“Cara terbaik mengingat kematian adalah dengan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi kejadian yang tak dinyana itu.”
Wow! Kalau begitu berarti caraku mengingat kematian selama ini tidak termasuk cara terbaik. Sebab aku baru ingat mati ketika ada orang meninggal, baik dengan cara mati, kecelakaan atau dibunuh macam Moncelli dan Khadafi itu.
Masalahnya adalah, ketika aku menyaksikan kematian Moncelli dan Khadafi, aku tidak melihat peristiwa itu sebagai sebuah cerminan bahwa mungkin saja suatu ketika aku akan mengalami kematian serupa dengan mereka. Kematian mereka hadir dalam penglihatanku sebagai sebuah tayangan yang menghibur, yang sesudahnya aku akan segera melupakan setelah berganti dengan tayangan-tayangan baru semacam lawak, gosip, musik, kuliner dan entah apalagi.
Dan karenanya aku jadi teringat dengan temuan para ilmuwan di Skotlandia yang menyatakan bahwa seseorang yang menghabiskan waktu di depan televisi dua jam sampai empat jam sehari, maka hal itu akan meningkatkan risiko serangan penyakit jantung dan kematian dini. Aku tertarik dengan istilah “kematian dini” ini karena menurut tafsirku kematian dini itu bisa saja berupa hilangnya kemampuan untuk mengingat mati yang hal ini tidak mungkin terjadi saat seseorang duduk anteng di depan tivi menyaksikan lawakan-lawakan, gosip-gosip, sinetron-sinetron.
Maka kematian dua orang “berprestasi” macam Moncelli dan Khadafi kali ini kembali menyentak kesadaranku bahwa maut itu ternyata amak mudah melibas kepiawaian si Super Sic Moncelli dan sekaligus amat gampang menggusur kekekaran si Singa Tua Khadafi.
Kebumen 24 Oktober 2011
Sungguh miris hatiku mendengar kematian Khadafi dan Simoncelli, yang barangkali kematian keduanya tidak pernah disangka-sangka sebelumnya, baik oleh orang lain maupun oleh yang bersangkutan. Memang aku tidak kenal siapa Simoncelli dan Khadafi selain keduanya adalah dua manusia yang sering menjadi berita oleh profesi mereka sebagai pembalap dan presiden.
Tetapi, betapapun itu Moncelli dan Khadafi adalah dua tokoh tak terjangkau dalam sehari-hari kehidupanku, tidak sebagaimana si Toyo, Tatot, Yayo, Agus, Buzairi, namun kepergiannya sanggup menggedor kesadaranku akan batas usia yang selama ini seringkali aku abaikan dengan amat sengaja.
Yah. Betapa rapuhnya memang manusia itu meski dalam tangannya tergenggam kekuasaan, kekuatan, kepiawaian, popularitas dan juga uang. Moncelli tewas seketika saat kepiawaiannya membalap tak mampu mengimbangi dan menghindar dari laju takdir kematian yang mengejarnya.
Pun juga dengan Khadafi. Dia boleh saja memahami dengan amat mahir bagaimana menyelematkan kursi kekuasaan yang ia duduki selama empat puluh tahun atas negara kaya minyak, Libya. Bahkan sah-sah saja Khadafi membentuk pasukan pengaman terlatih yang akan selalu melindungi dirinya dari berbagai macam ancaman yang membahayakan.
Namun Khadafi memang hanya Khadafi. Kekuasaan yang amat begitu lama ia rengkuh pada akhirnya tetap tidak bisa menguasai nasibnya sendiri. Ia harus takluk oleh nasib kematian yang justru menjemputnya dengan amat tragis. Harta berlimpah yang ia miliki tidak sanggup untuk mengganti sejengkal ketentuan yang digariskan Tuhan bahwa ia harus berakhir di sebuah tempat yang barangkali selama ini sangat ia benci dan jauhi, saluran air kotor, got.
Lalu bagaimana denganku? Dengan cara apa kehidupanku akan berakhir? Tak ada yang bisa memastikan apakah kehidupanku akan berakhir dengan amat nyaman, tenang, tanpa melahirkan sekian ribu kemirisan di hati orang-orang terdekatku?
Kematian memang merupakan salah satu rahasia terbesar yang manusia sejenius Einstein saja tak bakalan mampu memahaminya meski ia otak-atik lagi rumus E=mc²-nya yang kesohor itu. Tuhan memang sengaja merahasiakan peristiwa yang tak seorangpun di dunia ini bakal melewatinya dengan tujuan agar manusia berusaha mempersiapkan dengan lebih baik berdasarkan kesadarannya sendiri.
Namun lagi-lagi, ya itu. Manusia memang memiliki ingatan berjangka pendek untuk urusan kematian yang konon kematian itu sendiri adalah gerbang menuju perjalanan berjangka panjang. Bahkan tampa ambang. Begitu halnya dengan diriku. Kematian menempati urutan ke 9.000.000.000 dalam ingatanku sehingga sehari-hari aku selalu sibuk dengan tawa-tiwi sebagai ekspresi kebanggaan atas harta, jabatan, popularitas yang aku miliki.
Apakah keadaan ini merupakan sebuah masalah bagi hidupku?
Jika pertanyaan ini aku ajukan kepada seorang ustadz, maka sangat mungkin sekali ia akan mengatakan itu sebagai sebuah masalah mengingat Kanjeng Nabi Muhammad sendiri sering mewasiatkan agar kita sering-sering mengingat mati.
“Cara terbaik mengingat kematian adalah dengan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi kejadian yang tak dinyana itu.”
Wow! Kalau begitu berarti caraku mengingat kematian selama ini tidak termasuk cara terbaik. Sebab aku baru ingat mati ketika ada orang meninggal, baik dengan cara mati, kecelakaan atau dibunuh macam Moncelli dan Khadafi itu.
Masalahnya adalah, ketika aku menyaksikan kematian Moncelli dan Khadafi, aku tidak melihat peristiwa itu sebagai sebuah cerminan bahwa mungkin saja suatu ketika aku akan mengalami kematian serupa dengan mereka. Kematian mereka hadir dalam penglihatanku sebagai sebuah tayangan yang menghibur, yang sesudahnya aku akan segera melupakan setelah berganti dengan tayangan-tayangan baru semacam lawak, gosip, musik, kuliner dan entah apalagi.
Dan karenanya aku jadi teringat dengan temuan para ilmuwan di Skotlandia yang menyatakan bahwa seseorang yang menghabiskan waktu di depan televisi dua jam sampai empat jam sehari, maka hal itu akan meningkatkan risiko serangan penyakit jantung dan kematian dini. Aku tertarik dengan istilah “kematian dini” ini karena menurut tafsirku kematian dini itu bisa saja berupa hilangnya kemampuan untuk mengingat mati yang hal ini tidak mungkin terjadi saat seseorang duduk anteng di depan tivi menyaksikan lawakan-lawakan, gosip-gosip, sinetron-sinetron.
Maka kematian dua orang “berprestasi” macam Moncelli dan Khadafi kali ini kembali menyentak kesadaranku bahwa maut itu ternyata amak mudah melibas kepiawaian si Super Sic Moncelli dan sekaligus amat gampang menggusur kekekaran si Singa Tua Khadafi.
Kebumen 24 Oktober 2011
Jumat, 21 Oktober 2011
Cara Mudah Dapat Beasiswa...?
Oleh Salman Rusydie Anwar
Anda ingin mendapatkan beasiswa dengan mudah? Gampang benar caranya. Tidak diperlukan persyaratan yang berat, apalagi dengan berbagai macam kualifikasi dalam hal apapun. Yang dibutuhkan hanya “kreativitas.” Kreatifitas itupun tidak memerlukan ketekunan dan pendalaman, melainkan sekadar aktivitas spontanitas dan sifatnya sangat instan.
Tentu Anda masih ingat dengan fenomena Shinta dan Jojo dengan Keong Racunnya. Dan baru-baru ini ada Briptu Norman dengan goyang Indianya. Keduanya adalah bukti nyata bahwa meraih beasiswa itu amat sangat mudah. Yang dibutuhkan –kalau ikut jejak mereka- hanyalah berakting di depan kamera rekam lalu sebarkan ke dunia maya.
Perangkat yang diperlukan pun cukup mudah didapatkan. Anda hanya tinggal pergi ke warnet atau manfaatkan laptop yang tersedia perangkat rekamnya, lalu beraksi dan sebarkanlah. Insya Allah dalam waktu dekat kampus tempat dimana Anda belajar akan segera mengontak Anda untuk diberikan beasiswa.
Mudah bukan? Memang sangat mudah. Dan kita patut bersyukur bahwa beberapa institusi di negeri ini amat sangat dermawan perangainya. Mereka dengan cukup gampang menggelontorkan dana bantuan kepada siapa saja yang dengan secara tiba-tiba menjadi terkenal oleh tingkahnya. Apakah kreativitas mereka benar-benar berkualitas sehingga layak menerima beasiswa? Tak perlu mengajukan prasyarat-prasyarat macam itu lah kau. Sebab ini negara tidak sepenuhnya mempersoalkan masalah kualitas. Memang cukup banyak manusia-manusia Indonesia yang memiliki potensi luar biasa, sehingga mereka benar-benar pantas menerima beasiswa. Tapi sayangnya mereka tidak terkenal dan tidak ada upaya untuk menterkenalkan dirinya di hadapan publik. Jadilah mereka makhluk yang kesepian.
Perlu kau tahu juga bahwa, sesuatu akan dengan sendirinya dianggap berkualitas kalau sudah terkenal. Makanya para parpol banyak menggandeng para artis terkenal, karena terkenal itu sama dengan berkualitas, pintar dan diperlukan. Jadi, kalau Anda ingin menjadi sosok yang setiap gerak geriknya dijadikan panutan, dipuja, dan setiap ucapan Anda diekspos agar masyarakat menjadikannya sebagai pedoman, jadilah orang terkenal. Dan untuk menjadi terkenal itu sangat gampang caranya.
Ikuti saja Jojo dan Shinta, lalu Norman. Maka Anda akan mendapat tanggapan luar biasa dari semua kalangan. Bahkan sangat mungkin Anda akan disebut-sebut sebagai icon baru manusia kreatif di negeri ini. Nah, tunggu apa lagi. Raih kesempatan mendapatkan beasiswa dengan cara mudah. Sebentar lagi video saya juga akan segera beredar. Saya akan duet dengan Shinta dan Jojo untuk menyanyikan lagu baru dengan judul, “Keong Keracunan.”
Anda ingin mendapatkan beasiswa dengan mudah? Gampang benar caranya. Tidak diperlukan persyaratan yang berat, apalagi dengan berbagai macam kualifikasi dalam hal apapun. Yang dibutuhkan hanya “kreativitas.” Kreatifitas itupun tidak memerlukan ketekunan dan pendalaman, melainkan sekadar aktivitas spontanitas dan sifatnya sangat instan.
Tentu Anda masih ingat dengan fenomena Shinta dan Jojo dengan Keong Racunnya. Dan baru-baru ini ada Briptu Norman dengan goyang Indianya. Keduanya adalah bukti nyata bahwa meraih beasiswa itu amat sangat mudah. Yang dibutuhkan –kalau ikut jejak mereka- hanyalah berakting di depan kamera rekam lalu sebarkan ke dunia maya.
Perangkat yang diperlukan pun cukup mudah didapatkan. Anda hanya tinggal pergi ke warnet atau manfaatkan laptop yang tersedia perangkat rekamnya, lalu beraksi dan sebarkanlah. Insya Allah dalam waktu dekat kampus tempat dimana Anda belajar akan segera mengontak Anda untuk diberikan beasiswa.
Mudah bukan? Memang sangat mudah. Dan kita patut bersyukur bahwa beberapa institusi di negeri ini amat sangat dermawan perangainya. Mereka dengan cukup gampang menggelontorkan dana bantuan kepada siapa saja yang dengan secara tiba-tiba menjadi terkenal oleh tingkahnya. Apakah kreativitas mereka benar-benar berkualitas sehingga layak menerima beasiswa? Tak perlu mengajukan prasyarat-prasyarat macam itu lah kau. Sebab ini negara tidak sepenuhnya mempersoalkan masalah kualitas. Memang cukup banyak manusia-manusia Indonesia yang memiliki potensi luar biasa, sehingga mereka benar-benar pantas menerima beasiswa. Tapi sayangnya mereka tidak terkenal dan tidak ada upaya untuk menterkenalkan dirinya di hadapan publik. Jadilah mereka makhluk yang kesepian.
Perlu kau tahu juga bahwa, sesuatu akan dengan sendirinya dianggap berkualitas kalau sudah terkenal. Makanya para parpol banyak menggandeng para artis terkenal, karena terkenal itu sama dengan berkualitas, pintar dan diperlukan. Jadi, kalau Anda ingin menjadi sosok yang setiap gerak geriknya dijadikan panutan, dipuja, dan setiap ucapan Anda diekspos agar masyarakat menjadikannya sebagai pedoman, jadilah orang terkenal. Dan untuk menjadi terkenal itu sangat gampang caranya.
Ikuti saja Jojo dan Shinta, lalu Norman. Maka Anda akan mendapat tanggapan luar biasa dari semua kalangan. Bahkan sangat mungkin Anda akan disebut-sebut sebagai icon baru manusia kreatif di negeri ini. Nah, tunggu apa lagi. Raih kesempatan mendapatkan beasiswa dengan cara mudah. Sebentar lagi video saya juga akan segera beredar. Saya akan duet dengan Shinta dan Jojo untuk menyanyikan lagu baru dengan judul, “Keong Keracunan.”
Surat Terbuka Untuk Tuhan
Oleh Salman Rusydie Anwar
Tuhan, sampai detik ini, selalu saja aku berusaha untuk merumuskan bagaimana hidup yang benar, yang sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak-Mu. Berbagai-bagai metode telah kucoba untuk mengarahkan kereta kehidupanku agar senantiasa berjalan di atas “rel” yang Kau buat. Ala kadarnya berhasil, namun kerapkali juga melenceng.
Hingga di suatu stasiun pencapaian tirakatku, aku temukan sebuah kesadaran baru bahwa, aku tidak mungkin sepenuhnya menjadi orang suci, yang seluruh perilaku-ku sama persis betul dengan kehendak-kehendak-Mu. Dalam tubuh kemanusiaanku, tertanam ketidaksempurnaan akal-pikiran, hati-nurani, jiwa-batin, yang kesemuanya senantiasa terus berdialektika dengan kebenaran dan kesempurnaan-Mu.
Karena aku sendiri tak bisa menegaskan -apalagi meyakini- bahwa aku adalah manusia suci, pejuang tulen kebenaran dan karenanya calon penghuni sorga. Maka dari itu aku senantiasa menahan diri untuk menuding-nuding orang lain yang berbuat salah kepada-Mu sebagai kafir dan menuduh mereka salah, sementara hanya aku dan kelompokkulah yang benar. Dan seandainya harus kuperingati mereka, aku akan pilih cara yang paling lembut dan bijak seperti yang Engkau sendiri perintahkan kepadaku. Aku takut berbuat kasar. Sebab antara kekasaran dan kesombongan sangatlah tipis tabir pembatasnya. Dan kalau kesombongan telah merasuki kesadaranku, maka habislah martabatku di hadapan-Mu.
Tapi hari ini Tuhan, aku melihat sebuah kenyataan baru. Ada ribuan orang yang dengan begitu percaya diri mengatakan sebagai pengawal agama-Mu, pembela ajaran-Mu. Sedemikian sungguh-sungguhnya mereka memegang sikap itu sehingga mereka tak pernah merasa takut apa-apa ketika harus melakukan sebuah tindakan. Mereka tidak takut tindakannya membuat sesama saudara kemanusiaannya terluka. Mereka tidak takut tindakannya memunculkan kecemasan yang menguras air mata. Mereka tidak takut tindakannya melenyapkan rasa aman dari bilik-bilik dada. Mereka tidak takut tindakannya memutuskan tali kasih sayang antar sesama. Dan puncak dari rasa tidak takut mereka adalah hilangnya ketakutan kepada-Mu bahwa semua tindakan itu sangatlah berjauhan dari yang Engkau mau.
Tuhan, sebagai manusia yang tertatih-tatih menjalankan perintah-Mu, ijinkan aku mengajukan beberapa pertanyaan agak janggal kepada-Mu. Apakah Engkau sudah tidak perkasa lagi untuk menjaga dan membela agama yang Kau turunkan sendiri, sehingga harus ada manusia-manusia khusus sebagai pembela agama-Mu? Untuk apa agama-Mu memerlukan pembela? Untuk meninggikan derajat-Mu? Bukankah tanpa pembela Engkau tetap dan akan selalu menjadi yang Maha Tinggi?
Tuhan, aku tahu bahwa ajaran agama-Mu sejatinya semata-mata untuk mengurus masalah-masalah kemanusiaan. Tetapi kali ini, para pembela agama-Mu, justru malah sering merusak kemanusiaan dengan dalih menegakkan kebenaran. Apakah kebenaran memang perlu ditegakkan dengan cara merusak kebenaran yang lain? Lihatlah, Tuhan. Pembela agamamu begitu sering dan senangnya mengamuk, merusak sesuatu, melampiaskan amarah, pamer kekuatan dengan penuh kesombongan. Padahal, Engkau sendiri melarang; janganlah kau berbuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaiki. Janganlah kau berjalan di muka bumi dengan dada yang dibusungkan. Janganlah kau bersikap sombong.
Ah, Tuhan. Di tengah-tengah kebingunganku yang semakin menggunung, aku ingin meyakini sebuah kesimpulan bahwa, sampai hari kiamat, agama-Mu BERBEDA dengan pembelanya. Kesucian agama-Mu, TIDAK SAMA dengan “kesucian” para pembelanya. Kebenaran agama-Mu, JAUH BERBEDA dengan kebenaran para pembelanya.
Jika suatu ketika para “pembela” agama-Mu datang padaku dan menyatakan bahwa seluruh sepak terjang dan tindakan yang mereka lakukan adalah benar dan sesuai betul dengan agama-Mu, maka maafkan aku Tuhan, jika hatiku mengatakan semua itu adalah kebohongan yang diagungkan. Dan seandainya aku tidak takut berdosa kepada-Mu, maka akan kuludahi mulut mereka biar bersih segala kebohongan dari ujung-ujung bibir mereka.
Tuhan, aku ini berasal dari Engkau dan akan kembali juga kepada Engkau. Maka dalam perjalanan kembali kepada-Mu, aku ingin prosesnya berjalan dengan damai, sejahtera, jauh dari teriakan-teriakan penuh amarah yang membuat bising ini telinga.
Amin....
Tuhan, sampai detik ini, selalu saja aku berusaha untuk merumuskan bagaimana hidup yang benar, yang sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak-Mu. Berbagai-bagai metode telah kucoba untuk mengarahkan kereta kehidupanku agar senantiasa berjalan di atas “rel” yang Kau buat. Ala kadarnya berhasil, namun kerapkali juga melenceng.
Hingga di suatu stasiun pencapaian tirakatku, aku temukan sebuah kesadaran baru bahwa, aku tidak mungkin sepenuhnya menjadi orang suci, yang seluruh perilaku-ku sama persis betul dengan kehendak-kehendak-Mu. Dalam tubuh kemanusiaanku, tertanam ketidaksempurnaan akal-pikiran, hati-nurani, jiwa-batin, yang kesemuanya senantiasa terus berdialektika dengan kebenaran dan kesempurnaan-Mu.
Karena aku sendiri tak bisa menegaskan -apalagi meyakini- bahwa aku adalah manusia suci, pejuang tulen kebenaran dan karenanya calon penghuni sorga. Maka dari itu aku senantiasa menahan diri untuk menuding-nuding orang lain yang berbuat salah kepada-Mu sebagai kafir dan menuduh mereka salah, sementara hanya aku dan kelompokkulah yang benar. Dan seandainya harus kuperingati mereka, aku akan pilih cara yang paling lembut dan bijak seperti yang Engkau sendiri perintahkan kepadaku. Aku takut berbuat kasar. Sebab antara kekasaran dan kesombongan sangatlah tipis tabir pembatasnya. Dan kalau kesombongan telah merasuki kesadaranku, maka habislah martabatku di hadapan-Mu.
Tapi hari ini Tuhan, aku melihat sebuah kenyataan baru. Ada ribuan orang yang dengan begitu percaya diri mengatakan sebagai pengawal agama-Mu, pembela ajaran-Mu. Sedemikian sungguh-sungguhnya mereka memegang sikap itu sehingga mereka tak pernah merasa takut apa-apa ketika harus melakukan sebuah tindakan. Mereka tidak takut tindakannya membuat sesama saudara kemanusiaannya terluka. Mereka tidak takut tindakannya memunculkan kecemasan yang menguras air mata. Mereka tidak takut tindakannya melenyapkan rasa aman dari bilik-bilik dada. Mereka tidak takut tindakannya memutuskan tali kasih sayang antar sesama. Dan puncak dari rasa tidak takut mereka adalah hilangnya ketakutan kepada-Mu bahwa semua tindakan itu sangatlah berjauhan dari yang Engkau mau.
Tuhan, sebagai manusia yang tertatih-tatih menjalankan perintah-Mu, ijinkan aku mengajukan beberapa pertanyaan agak janggal kepada-Mu. Apakah Engkau sudah tidak perkasa lagi untuk menjaga dan membela agama yang Kau turunkan sendiri, sehingga harus ada manusia-manusia khusus sebagai pembela agama-Mu? Untuk apa agama-Mu memerlukan pembela? Untuk meninggikan derajat-Mu? Bukankah tanpa pembela Engkau tetap dan akan selalu menjadi yang Maha Tinggi?
Tuhan, aku tahu bahwa ajaran agama-Mu sejatinya semata-mata untuk mengurus masalah-masalah kemanusiaan. Tetapi kali ini, para pembela agama-Mu, justru malah sering merusak kemanusiaan dengan dalih menegakkan kebenaran. Apakah kebenaran memang perlu ditegakkan dengan cara merusak kebenaran yang lain? Lihatlah, Tuhan. Pembela agamamu begitu sering dan senangnya mengamuk, merusak sesuatu, melampiaskan amarah, pamer kekuatan dengan penuh kesombongan. Padahal, Engkau sendiri melarang; janganlah kau berbuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaiki. Janganlah kau berjalan di muka bumi dengan dada yang dibusungkan. Janganlah kau bersikap sombong.
Ah, Tuhan. Di tengah-tengah kebingunganku yang semakin menggunung, aku ingin meyakini sebuah kesimpulan bahwa, sampai hari kiamat, agama-Mu BERBEDA dengan pembelanya. Kesucian agama-Mu, TIDAK SAMA dengan “kesucian” para pembelanya. Kebenaran agama-Mu, JAUH BERBEDA dengan kebenaran para pembelanya.
Jika suatu ketika para “pembela” agama-Mu datang padaku dan menyatakan bahwa seluruh sepak terjang dan tindakan yang mereka lakukan adalah benar dan sesuai betul dengan agama-Mu, maka maafkan aku Tuhan, jika hatiku mengatakan semua itu adalah kebohongan yang diagungkan. Dan seandainya aku tidak takut berdosa kepada-Mu, maka akan kuludahi mulut mereka biar bersih segala kebohongan dari ujung-ujung bibir mereka.
Tuhan, aku ini berasal dari Engkau dan akan kembali juga kepada Engkau. Maka dalam perjalanan kembali kepada-Mu, aku ingin prosesnya berjalan dengan damai, sejahtera, jauh dari teriakan-teriakan penuh amarah yang membuat bising ini telinga.
Amin....
Ahmadiyah dan Buta Mata Kita
Oleh Salman Rusydie Anwar
Ahmadiyah menyimpang. Begitulah kira-kira keyakinan yang dipegang erat oleh sebagian orang, sehingga atas nama keyakinan itu pula mereka merasa perlu untuk menyerang, membakar dan melampiaskan amarah tanpa bisa dikendalikan.
“Melihat penyerangan yang begitu mengerikan, saya tiba-tiba ingat Abu Bakar,” kata seorang pemuda kepada temannya dengan suara lirih di suatu malam yang bergerimis. Ia kemudian bercerita kalau pada suatu waktu Abu Bakar pernah mendengar kebiasaan Rasulullah yang selalu pergi menemui seorang buta di pagi hari. Tak hanya pergi menemui. Beliau juga membawakan semangkuk bubur, segelas air dan menyuapkannya hingga si buta kenyang, paparnya.
Hingga Nabi Agung itu meninggal, kebiasaannya akhinya dilanjutkan oleh sahabat setianya, Abu Bakar. Untuk pertamakalinya, Abu Bakar datang menemui si buta, membawakan bubur dan meletakkannya di depan orang itu.
“Siapakah ini?” tanya si buta. Karena tidak ingin identitasnya diketahui, Abu Bakar menjawab, “Orang yang biasanya membawakan Anda bubur ke sini.”
“Tidak. Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga membawakanku segelas air.” Abu Bakar diam dan pergi. Besok hari dia datang lagi membawakan bubur dan segelas air, lalu meletakkan di depan si buta. Seperti sebelumnya, si buta mengajukan pertanyaan yang sama dan Abu Bakar menjawab dengan jawaban yang juga sama.
“Tidak,” kata si buta, “Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga akan menyuapi dan meminumiku hingga aku kenyang.” Kali ini Abu Bakar kembali pergi dan besok harinya dia datang membawa bubur, segelas air dan kemudian menyuapi serta meminumi si buta hingga kenyang. Setelah selesai, si buta kembali mengajukan pertanyaan:
“Sejak kemarin aku tahu kalau kau bukan orang yang biasanya datang kemari. Sekarang katakan, siapakah dirimu dan kemana perginya orang yang biasanya datang ke sini?”
Abu Bakar tercekat sebelum akhirnya dia menjelaskan, “Saya Abu Bakar. Dan orang yang selalu membawakan Anda bubur, segelas air dan menyuapi Anda hingga kenyang sudah meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Tahukah engkau, kalau dia adalah Muhammad, utusan Allah.”
Kali ini ganti si buta yang tercekat. Tubuhnya gemetar dan air matanya tumpah tak tertahankan. Di tengah sedu-sedannya itu si buta berkata:
“Sungguh mulia Muhammad dan sungguh hinanya diriku. Wahai, Abu Bakar. Jadilah saksi atas perkataanku,” katanya sambil mengucapkan syahadat. Si buta itu ternyata adalah orang Yahudi yang sebelumnya tak hanya mengingkari kerasulan Muhammad, namun juga menyangkal keesaan Allah.
Pemuda itu menutup ceritanya sambil menghapus kedua matanya yang tampak sembab. Tak sanggup dia menahan haru melihat sedemikian mulianya sang Nabi dan sahabatnya memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Kemuliaan itulah yang kemudian menumbuhkan simpati mendalam di hati Yahudi sehingga secara sadar ia pun bergabung dalam jamaahnya.
Si pemuda menarik napas. Sekarang dia berhadapan dengan kenyataan bahwa perbedaan keyakinan tak bisa lagi dijadikan peluang untuk berlomba melakukan sesuatu yang lebih indah dan benar. Keindahan dan kebenaran sepertinya hanya bisa dipahami lewat keseragaman yang pongah, sombong dan tak memberi kesempatan bagi pihak lain untuk mengambil jalannya sendiri tanpa harus dirintangi dan diganggu. Lain dari itu, perbedaan keyakinan sangatlah identik dengan ancaman. Sehingga orang yang berbeda keyakinan, kita anggap sebagai musuh yang tak berhak mendapat pengampunan.
“Dimanakah Abu Bakar?” teriak si pemuda tiba-tiba. “Aku rindu kehadirannya untuk menyuapi orang-orang yang kita anggap sesat dan buta akan kebenaran tanpa harus membuatnya tersedak dan tersengal. Dimanakah Nabi Agung itu berada diantara sekian ribu kepala orang-orang yang meyakini kerasulannya? Kenapa ia tidak hadir dalam kesadaran kita, sehingga apa yang kita perbuat cenderung menyimpang dari yang ia teladankan. Siapakah yang buta sekarang? Kita atau mereka yang kita yakini menyimpang itu?”
Teriakan pemuda memecah sunyi malam. Dan sahabatnya hanya memandang dengan tawa cekikikian.
Ahmadiyah menyimpang. Begitulah kira-kira keyakinan yang dipegang erat oleh sebagian orang, sehingga atas nama keyakinan itu pula mereka merasa perlu untuk menyerang, membakar dan melampiaskan amarah tanpa bisa dikendalikan.
“Melihat penyerangan yang begitu mengerikan, saya tiba-tiba ingat Abu Bakar,” kata seorang pemuda kepada temannya dengan suara lirih di suatu malam yang bergerimis. Ia kemudian bercerita kalau pada suatu waktu Abu Bakar pernah mendengar kebiasaan Rasulullah yang selalu pergi menemui seorang buta di pagi hari. Tak hanya pergi menemui. Beliau juga membawakan semangkuk bubur, segelas air dan menyuapkannya hingga si buta kenyang, paparnya.
Hingga Nabi Agung itu meninggal, kebiasaannya akhinya dilanjutkan oleh sahabat setianya, Abu Bakar. Untuk pertamakalinya, Abu Bakar datang menemui si buta, membawakan bubur dan meletakkannya di depan orang itu.
“Siapakah ini?” tanya si buta. Karena tidak ingin identitasnya diketahui, Abu Bakar menjawab, “Orang yang biasanya membawakan Anda bubur ke sini.”
“Tidak. Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga membawakanku segelas air.” Abu Bakar diam dan pergi. Besok hari dia datang lagi membawakan bubur dan segelas air, lalu meletakkan di depan si buta. Seperti sebelumnya, si buta mengajukan pertanyaan yang sama dan Abu Bakar menjawab dengan jawaban yang juga sama.
“Tidak,” kata si buta, “Kau pasti bukan dia. Sebab biasanya dia juga akan menyuapi dan meminumiku hingga aku kenyang.” Kali ini Abu Bakar kembali pergi dan besok harinya dia datang membawa bubur, segelas air dan kemudian menyuapi serta meminumi si buta hingga kenyang. Setelah selesai, si buta kembali mengajukan pertanyaan:
“Sejak kemarin aku tahu kalau kau bukan orang yang biasanya datang kemari. Sekarang katakan, siapakah dirimu dan kemana perginya orang yang biasanya datang ke sini?”
Abu Bakar tercekat sebelum akhirnya dia menjelaskan, “Saya Abu Bakar. Dan orang yang selalu membawakan Anda bubur, segelas air dan menyuapi Anda hingga kenyang sudah meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Tahukah engkau, kalau dia adalah Muhammad, utusan Allah.”
Kali ini ganti si buta yang tercekat. Tubuhnya gemetar dan air matanya tumpah tak tertahankan. Di tengah sedu-sedannya itu si buta berkata:
“Sungguh mulia Muhammad dan sungguh hinanya diriku. Wahai, Abu Bakar. Jadilah saksi atas perkataanku,” katanya sambil mengucapkan syahadat. Si buta itu ternyata adalah orang Yahudi yang sebelumnya tak hanya mengingkari kerasulan Muhammad, namun juga menyangkal keesaan Allah.
Pemuda itu menutup ceritanya sambil menghapus kedua matanya yang tampak sembab. Tak sanggup dia menahan haru melihat sedemikian mulianya sang Nabi dan sahabatnya memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Kemuliaan itulah yang kemudian menumbuhkan simpati mendalam di hati Yahudi sehingga secara sadar ia pun bergabung dalam jamaahnya.
Si pemuda menarik napas. Sekarang dia berhadapan dengan kenyataan bahwa perbedaan keyakinan tak bisa lagi dijadikan peluang untuk berlomba melakukan sesuatu yang lebih indah dan benar. Keindahan dan kebenaran sepertinya hanya bisa dipahami lewat keseragaman yang pongah, sombong dan tak memberi kesempatan bagi pihak lain untuk mengambil jalannya sendiri tanpa harus dirintangi dan diganggu. Lain dari itu, perbedaan keyakinan sangatlah identik dengan ancaman. Sehingga orang yang berbeda keyakinan, kita anggap sebagai musuh yang tak berhak mendapat pengampunan.
“Dimanakah Abu Bakar?” teriak si pemuda tiba-tiba. “Aku rindu kehadirannya untuk menyuapi orang-orang yang kita anggap sesat dan buta akan kebenaran tanpa harus membuatnya tersedak dan tersengal. Dimanakah Nabi Agung itu berada diantara sekian ribu kepala orang-orang yang meyakini kerasulannya? Kenapa ia tidak hadir dalam kesadaran kita, sehingga apa yang kita perbuat cenderung menyimpang dari yang ia teladankan. Siapakah yang buta sekarang? Kita atau mereka yang kita yakini menyimpang itu?”
Teriakan pemuda memecah sunyi malam. Dan sahabatnya hanya memandang dengan tawa cekikikian.
Terdesak
Oleh Salman Rusydie Anwar
Suatu senja di pinggir sebuah sungai di dalam hutan, seorang anak melepas mainan perahunya yang terbuat dari daun-daunan ke dalam air. Kedua matanya berbinar penuh bangga, seakan perahu itu hidup dan berubah menjadi perahu sungguhan.
“Perahu ini akan berjalan sampai ke seberang,” katanya sambil menunjuk ke balik hutan yang jauh, “dia akan menemukan tempatnya sendiri dengan benar.”
Malam hari, di dalam gubuk kayunya, anak kecil itu bercerita kepada kakeknya. Satu-satunya orang yang menjadi temannya setiap hari.
“Besok aku akan pergi menyusul perahuku. Dimana saja aku menemukannya, disitulah aku akan membuat tempat tinggal. Kira-kira sampai dimanakah perahu itu, Kek?”
Si kakek terdiam. Dia kemudian teringat dengan cerita pembangunan yang pernah disampaikan oleh sahabat-sahabatnya. Ya, pembangunan. Sebuah upaya manusia untuk menjadi makhluk yang maju dan bermartabat. Atas nama pembangunan, manusia telah melakukan banyak hal, baik yang benar-benar menguntungkan sekaligus dengan yang nyata-nyata merugikan.
Di mata si kakek waktu itu, pembangunan ibarat sebuah raksasa yang tak pernah terbayangkan besar dan buasnya oleh manusia. Ia melahap apa saja: sumber mata air, pohon-pohon, hutan-hutan, dan juga kesempatan hidup bagi berjenis-jenis makhluk hidup lain yang sebelumnya memberi warna bagi dunia. Tak hanya itu, dalam benak si kakek, pembangunan juga sering mengeluarkan kotoran-kotorannya dengan sembarangan, seperti kencing dan berak di aliran sungai yang membelah hutan. Ia juga suka membuang benda-benda sehabis di pakai di sungai itu, sehingga si kakek kesulitan mendapatkan air bersih.
Maka ketika cucunya mengulang kembali pertanyaan tentang perahu mainannya yang dilepas di sungai sore tadi, si kakek dengan lirih menjawab:
“Perahumu akan sampai di seberang, di tempat pembangunan berada. Tapi kau tak perlu ke sana, Buyung. Sebab cepat atau lambat pembangunan akan sampai juga disini. Mereka bisa membuat tempat tinggal disini. Mengganti perahu daunmu dengan perahu plastik. Mengganti air sungaimu dengan air-air limbah.”
Anak itu termangu-mangu mendengar penjelasan kakeknya. Dia mengangguk sambil tersenyum setelah si kakek selesai bercerita. Malam semakin larut. Di luar, terdengar serigala melolong-lolong panjang.
Suatu senja di pinggir sebuah sungai di dalam hutan, seorang anak melepas mainan perahunya yang terbuat dari daun-daunan ke dalam air. Kedua matanya berbinar penuh bangga, seakan perahu itu hidup dan berubah menjadi perahu sungguhan.
“Perahu ini akan berjalan sampai ke seberang,” katanya sambil menunjuk ke balik hutan yang jauh, “dia akan menemukan tempatnya sendiri dengan benar.”
Malam hari, di dalam gubuk kayunya, anak kecil itu bercerita kepada kakeknya. Satu-satunya orang yang menjadi temannya setiap hari.
“Besok aku akan pergi menyusul perahuku. Dimana saja aku menemukannya, disitulah aku akan membuat tempat tinggal. Kira-kira sampai dimanakah perahu itu, Kek?”
Si kakek terdiam. Dia kemudian teringat dengan cerita pembangunan yang pernah disampaikan oleh sahabat-sahabatnya. Ya, pembangunan. Sebuah upaya manusia untuk menjadi makhluk yang maju dan bermartabat. Atas nama pembangunan, manusia telah melakukan banyak hal, baik yang benar-benar menguntungkan sekaligus dengan yang nyata-nyata merugikan.
Di mata si kakek waktu itu, pembangunan ibarat sebuah raksasa yang tak pernah terbayangkan besar dan buasnya oleh manusia. Ia melahap apa saja: sumber mata air, pohon-pohon, hutan-hutan, dan juga kesempatan hidup bagi berjenis-jenis makhluk hidup lain yang sebelumnya memberi warna bagi dunia. Tak hanya itu, dalam benak si kakek, pembangunan juga sering mengeluarkan kotoran-kotorannya dengan sembarangan, seperti kencing dan berak di aliran sungai yang membelah hutan. Ia juga suka membuang benda-benda sehabis di pakai di sungai itu, sehingga si kakek kesulitan mendapatkan air bersih.
Maka ketika cucunya mengulang kembali pertanyaan tentang perahu mainannya yang dilepas di sungai sore tadi, si kakek dengan lirih menjawab:
“Perahumu akan sampai di seberang, di tempat pembangunan berada. Tapi kau tak perlu ke sana, Buyung. Sebab cepat atau lambat pembangunan akan sampai juga disini. Mereka bisa membuat tempat tinggal disini. Mengganti perahu daunmu dengan perahu plastik. Mengganti air sungaimu dengan air-air limbah.”
Anak itu termangu-mangu mendengar penjelasan kakeknya. Dia mengangguk sambil tersenyum setelah si kakek selesai bercerita. Malam semakin larut. Di luar, terdengar serigala melolong-lolong panjang.
Empati Untuk Sumiyati
Oleh Salman Rusydie Anwar
Sejarah “kekuasaan” hampir selalu memiliki prinsip yang sama; selalu menindas mereka yang lemah. Sedang kekuasaan itu sendiri tak melulu harus berwujud negara-pemerintahan, melainkan dapat mengambil bentuk dalam konteks apa saja, dimana saja.
Maka ketika perempuan Sumi yang remuk karena disiksa majikannya itu hampir sekarat, dia pun sadar bahwa dirinya adalah pihak yang lemah, yang sedang mengarung di pusaran kekuasaan rumah majikannya.
Lalu untuk apa perempuan Sumi dan ribuan perempaun lainnya itu memberanikan diri memasuki siklus kekuasaan yang begitu pongah? Yang tidak bersedia mengakui bahwa yang lemah harus segera dipapah?
Saya bayangkan Sumiyati menjawab begini, “Semua itu demi menghidupi keluarga, saya berani merantau ke negeri ini. Negeri para Nabi yang diberkati. Namun ternyata, tak banyak yang tersisa dari kemuliaan mereka di sini. Jika para Nabi terdahulu sanggup menempatkan kami pada singgasana kehormatan karena kelemah-papaan yang kami sandang, tetapi hari ini kemuliaan mereka sepertinya hanya tinggal sebuah kenangan.”
Begitu pahit memang. TKW kita digerushabis di negeri orang. Diinjak-injak kepala mereka. Ditendang-tendang rusuk mereka. Dibanting-banting tubuh mereka. Dan yang lebih menyakitkan, begitu luka dan memarnya hati mereka saat harus kembali dan menemukan bahwa ternyata negerinya sendiri tak sanggup memberi dia pekerjaan sehingga tidak membuatnya pergi ke negeri orang.
Dan pada suatu malam, seorang bocah bertanya pada Ibunya yang seorang peri:
“Apakah negeri kita miskin, Ibu?”
“Tidak anakku. Bahkan lebih kaya dari yang engkau kira,” jawab Ibunya sambil membelai-belai kepala bocah itu.
“Tapi kenapa perempuan itu pergi ke sana kalau negeri kita sendiri cukup kaya untuk memberinya kerja dan upah?”
Ibunya terdiam. Ditatapnya kedua bola mata anaknya dalam-dalam. Begitu bening. Begitu suci. Dua bola mata itu tak pantas menyaksikan berbagai ketimpangan yang terjadi di negerinya sendiri. Begitu pikir si Ibu sambil meletakkan anaknya di atas tempat tidur.
“Kenapa Ibu tidak menjawab pertanyaanku.”
“Tunggu sebentar, anakku,” kata si Ibu sambil bergegas pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu. Tak lama kemudian si Ibu mendatangi anaknya kembali.
“Ibu sudah punya jawabannya?”
Si Ibu mengangguk sambil tersenyum. Lalu diceritakanlah kisah tentang suatu negeri yang kesuburannya mengundang hasrat banyak orang untuk berkuasa. Berganti-ganti mereka yang datang. Semuanya dengan satu tujuan yang sama; mengeruk kekayaan alam. Sampai akhirnya, perlawananpun dilakukan. Rakyat bersatu menerjang penjajahan. Harta nyawa dikorbankan hingga kemerdekaanpun diraih dengan gemilang.
“Lalu. Apakah semua kekayaan itu habis untuk membiayai perang, Ibu?”
Sang Ibu menggeleng. “Ibu sendiri tidak tahu kemana perginya kekayaan itu setelah negeri ini bebas dari penjajahan, Nak. Yang Ibu tahu, semakin banyak saja perempuan-perempuan macam Sumi yang pergi ke negeri orang. Mereka pergi seperti seorang petarung yang gagah berani, namun kembali bagai penjajah yang kalah.”
“Ibu kan seorang peri. Ayunkan tongkat sakti ibu untuk mengembalikan kekayaan itu. Agar tidak lagi ada orang-orang macam Sumi dikemudian hari.”
Si Ibu peri mengeluarkan tongkatnya. Begitu penuh dengan debu dan jelaga. Hitam dan ada bagian-bagian yang tak lagi utuh.
“Bahkan tongkat sakti ibupun tak ada artinya. Lihatlah ini,” katanya sambil mengangkat tongkat sakti itu di depan anaknya. “tongkat sakti ibu sudah tidak utuh lagi. Ada bagian-bagian yang sudah habis dikerat dan sepertinya ini hanya bisa dilakukan oleh tikus-tikus.”
Bocah itu terdiam. Seperti sedang berpikir. Di dalam tempurung kepalanya kemudian terbayang akan kesaktian si tikus yang sanggup mengerat tongkat sakti ibunya tanpa sedikitpun mengalami celaka. Bocah itu tersenyum. Lalu berguman. Begitu lirih:
“Andai aku seekor tikus. Pasti lebih sakti dari tongkat ajaib ibu.”
Sejarah “kekuasaan” hampir selalu memiliki prinsip yang sama; selalu menindas mereka yang lemah. Sedang kekuasaan itu sendiri tak melulu harus berwujud negara-pemerintahan, melainkan dapat mengambil bentuk dalam konteks apa saja, dimana saja.
Maka ketika perempuan Sumi yang remuk karena disiksa majikannya itu hampir sekarat, dia pun sadar bahwa dirinya adalah pihak yang lemah, yang sedang mengarung di pusaran kekuasaan rumah majikannya.
Lalu untuk apa perempuan Sumi dan ribuan perempaun lainnya itu memberanikan diri memasuki siklus kekuasaan yang begitu pongah? Yang tidak bersedia mengakui bahwa yang lemah harus segera dipapah?
Saya bayangkan Sumiyati menjawab begini, “Semua itu demi menghidupi keluarga, saya berani merantau ke negeri ini. Negeri para Nabi yang diberkati. Namun ternyata, tak banyak yang tersisa dari kemuliaan mereka di sini. Jika para Nabi terdahulu sanggup menempatkan kami pada singgasana kehormatan karena kelemah-papaan yang kami sandang, tetapi hari ini kemuliaan mereka sepertinya hanya tinggal sebuah kenangan.”
Begitu pahit memang. TKW kita digerushabis di negeri orang. Diinjak-injak kepala mereka. Ditendang-tendang rusuk mereka. Dibanting-banting tubuh mereka. Dan yang lebih menyakitkan, begitu luka dan memarnya hati mereka saat harus kembali dan menemukan bahwa ternyata negerinya sendiri tak sanggup memberi dia pekerjaan sehingga tidak membuatnya pergi ke negeri orang.
Dan pada suatu malam, seorang bocah bertanya pada Ibunya yang seorang peri:
“Apakah negeri kita miskin, Ibu?”
“Tidak anakku. Bahkan lebih kaya dari yang engkau kira,” jawab Ibunya sambil membelai-belai kepala bocah itu.
“Tapi kenapa perempuan itu pergi ke sana kalau negeri kita sendiri cukup kaya untuk memberinya kerja dan upah?”
Ibunya terdiam. Ditatapnya kedua bola mata anaknya dalam-dalam. Begitu bening. Begitu suci. Dua bola mata itu tak pantas menyaksikan berbagai ketimpangan yang terjadi di negerinya sendiri. Begitu pikir si Ibu sambil meletakkan anaknya di atas tempat tidur.
“Kenapa Ibu tidak menjawab pertanyaanku.”
“Tunggu sebentar, anakku,” kata si Ibu sambil bergegas pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu. Tak lama kemudian si Ibu mendatangi anaknya kembali.
“Ibu sudah punya jawabannya?”
Si Ibu mengangguk sambil tersenyum. Lalu diceritakanlah kisah tentang suatu negeri yang kesuburannya mengundang hasrat banyak orang untuk berkuasa. Berganti-ganti mereka yang datang. Semuanya dengan satu tujuan yang sama; mengeruk kekayaan alam. Sampai akhirnya, perlawananpun dilakukan. Rakyat bersatu menerjang penjajahan. Harta nyawa dikorbankan hingga kemerdekaanpun diraih dengan gemilang.
“Lalu. Apakah semua kekayaan itu habis untuk membiayai perang, Ibu?”
Sang Ibu menggeleng. “Ibu sendiri tidak tahu kemana perginya kekayaan itu setelah negeri ini bebas dari penjajahan, Nak. Yang Ibu tahu, semakin banyak saja perempuan-perempuan macam Sumi yang pergi ke negeri orang. Mereka pergi seperti seorang petarung yang gagah berani, namun kembali bagai penjajah yang kalah.”
“Ibu kan seorang peri. Ayunkan tongkat sakti ibu untuk mengembalikan kekayaan itu. Agar tidak lagi ada orang-orang macam Sumi dikemudian hari.”
Si Ibu peri mengeluarkan tongkatnya. Begitu penuh dengan debu dan jelaga. Hitam dan ada bagian-bagian yang tak lagi utuh.
“Bahkan tongkat sakti ibupun tak ada artinya. Lihatlah ini,” katanya sambil mengangkat tongkat sakti itu di depan anaknya. “tongkat sakti ibu sudah tidak utuh lagi. Ada bagian-bagian yang sudah habis dikerat dan sepertinya ini hanya bisa dilakukan oleh tikus-tikus.”
Bocah itu terdiam. Seperti sedang berpikir. Di dalam tempurung kepalanya kemudian terbayang akan kesaktian si tikus yang sanggup mengerat tongkat sakti ibunya tanpa sedikitpun mengalami celaka. Bocah itu tersenyum. Lalu berguman. Begitu lirih:
“Andai aku seekor tikus. Pasti lebih sakti dari tongkat ajaib ibu.”
Sapi-Sapi Kurban
Oleh Salman Rusydie Anwar
Dua ekor sapi di dalam penangkaran. Sedang terlibat pembicaraan. Begitu serius. Tak peduli pada rumput hijau yang baru saja diangsurkan seseorang kepada mereka.
“Sudahlah. Tak usah bersedih terus,” kata yang seekor sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Mengusir nyamuk.
“Padahal aku belum melihat anak-anakku dewasa. Rasanya baru beberapa menit saja kebersamaan kami dengannya. Sekarang kami malah dipaksa berpisah,” kata yang seekor dengan suara pelan. Memendam kesedihan.
“Bukankah dengan cara ini kita bisa menunjukkan bakti kita pada manusia. Pada Tuhan?” kata yang seekor. Mencoba menenangkan.
“Entahlah.”
Keduanya lalu terdiam. Memandang ke luar penangkaran. Di luar, cuaca tampak begitu cerah. Hanya terlihat awan tipis warna putih melapisi hamparan cakrawala. Rumput hijau teronggok di depan keduanya. Masih tak terjamah. Seperti hilang nafsu makan mereka. Memendam sedih yang tak mungkin dipahami manusia.
Keesokan hari kedua sapi dan beberapa ekor kambing yang ditempatkan di penangkaran yang berbeda itu akan disembelih. Untuk kurban. Untuk sebuah ketaatan manusia kepada perintah Tuhan.
“Malam nanti aku ingin tidur dengan tenang,” kata sapi yang dari tadi selalu murung. Kata-katanya berdesir lirih. Menimpakan haru pada sapi yang satunya, yang tampak tegar menghadapi kenyataan. “Kau sendiri kelihatan tenang. Apa memang demikian isi pikiranmu?”
Sapi yang satunya melenguh. Sebentar saja. Barangkali sekadar menghenyakkan pegal dari badannya.
“Sebenarnya aku juga sedih,” jawabnya singkat saja.
“Tapi aku tak melihatmu seperti itu.”
“Itu karena aku menyembunyikannya.”
Sapi yang selalu murung itu menatap temannya yang dari tadi tampak selalu terlihat tegar. Dilihatnya wajah sahabatnya itu. Dengan amat lekat. Seperti mencoba menyelami kesedihan yang selalu ia sembunyikan. Lalu keduanya melihat ke atas. Sesaat setelah mereka mendengar kaok burung bangau yang sedang pulang ke sarang.
“Rupanya hari sudah senja.”
“Itu artinya akhir hidup kita semakin dekat,” kata sapi yang selalu bersedih.
“Makanan kita sejak tadi belum terjamah. Sebaiknya mari kita makan dulu. Jangan terus bersedih. Setidaknya, kita bisa mati tanpa kepikiran tentang rumput yang hijau dan lezat ini,” kata sapi yang tegar. Seperti ingin mengalihkan pembicaraan.
“Maukah kau bercerita apa yang membuatmu sedih?”
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Hanya ingin tahu saja.”
Sapi yang tampak tegar itu menatap sapi di sampingnya. Lalu menarik napas. Tidak terlalu panjang.
“Aku sedih...,” suaranya terbata-bata, “bukan karena... hidupku akan diakhiri. Pun juga bukan karena akan berpisah dengan keluarga. Aku rela disembelih. Apalagi untuk kurban. Karena seperti ucapanku, dengan cara inilah aku bisa menunjukkan baktiku pada Sang Pencipta.”
“Lalu?”
“Aku sedih...karena orang yang berharap sekerat dagingku beberapa tahun ini begitu membludak. Berdesak-desak saat pembagian. Terserimpung. Terinjak-injak kepalanya. Lalu mati. Tanpa sempat mencicipi daging kita ini. Dan yang lebih membuatku sedih, manusia selalu terlambat memperbaiki. Sehingga dari tahun ke tahun musibah kurban terjadi lagi. Aku sedih, karena karunia dan pahala Tuhan yang dijanjikan dalam kurban harus ditebus dengan sesak sengal napas si fakir yang terhimpit, tergencet saat mengambil jatah.”
“Padahal mereka hanya dapat sekerat saja,” sapi yang satu menimpali.
“Begitulah.”
Keduanya sama-sama menarik napas. Kali ini agak begitu panjang. Malam pun turun merambat. Perlahan. Membawa dingin suasana terus mengalir. Melalui pagar-pagar penangkaran yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Sampai tengah malam, kedua sapi itu tidak bisa memejamkan mata. Seperti ada kegelisahan yang begitu sempurna.
Bersambung...,
Dua ekor sapi di dalam penangkaran. Sedang terlibat pembicaraan. Begitu serius. Tak peduli pada rumput hijau yang baru saja diangsurkan seseorang kepada mereka.
“Sudahlah. Tak usah bersedih terus,” kata yang seekor sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Mengusir nyamuk.
“Padahal aku belum melihat anak-anakku dewasa. Rasanya baru beberapa menit saja kebersamaan kami dengannya. Sekarang kami malah dipaksa berpisah,” kata yang seekor dengan suara pelan. Memendam kesedihan.
“Bukankah dengan cara ini kita bisa menunjukkan bakti kita pada manusia. Pada Tuhan?” kata yang seekor. Mencoba menenangkan.
“Entahlah.”
Keduanya lalu terdiam. Memandang ke luar penangkaran. Di luar, cuaca tampak begitu cerah. Hanya terlihat awan tipis warna putih melapisi hamparan cakrawala. Rumput hijau teronggok di depan keduanya. Masih tak terjamah. Seperti hilang nafsu makan mereka. Memendam sedih yang tak mungkin dipahami manusia.
Keesokan hari kedua sapi dan beberapa ekor kambing yang ditempatkan di penangkaran yang berbeda itu akan disembelih. Untuk kurban. Untuk sebuah ketaatan manusia kepada perintah Tuhan.
“Malam nanti aku ingin tidur dengan tenang,” kata sapi yang dari tadi selalu murung. Kata-katanya berdesir lirih. Menimpakan haru pada sapi yang satunya, yang tampak tegar menghadapi kenyataan. “Kau sendiri kelihatan tenang. Apa memang demikian isi pikiranmu?”
Sapi yang satunya melenguh. Sebentar saja. Barangkali sekadar menghenyakkan pegal dari badannya.
“Sebenarnya aku juga sedih,” jawabnya singkat saja.
“Tapi aku tak melihatmu seperti itu.”
“Itu karena aku menyembunyikannya.”
Sapi yang selalu murung itu menatap temannya yang dari tadi tampak selalu terlihat tegar. Dilihatnya wajah sahabatnya itu. Dengan amat lekat. Seperti mencoba menyelami kesedihan yang selalu ia sembunyikan. Lalu keduanya melihat ke atas. Sesaat setelah mereka mendengar kaok burung bangau yang sedang pulang ke sarang.
“Rupanya hari sudah senja.”
“Itu artinya akhir hidup kita semakin dekat,” kata sapi yang selalu bersedih.
“Makanan kita sejak tadi belum terjamah. Sebaiknya mari kita makan dulu. Jangan terus bersedih. Setidaknya, kita bisa mati tanpa kepikiran tentang rumput yang hijau dan lezat ini,” kata sapi yang tegar. Seperti ingin mengalihkan pembicaraan.
“Maukah kau bercerita apa yang membuatmu sedih?”
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Hanya ingin tahu saja.”
Sapi yang tampak tegar itu menatap sapi di sampingnya. Lalu menarik napas. Tidak terlalu panjang.
“Aku sedih...,” suaranya terbata-bata, “bukan karena... hidupku akan diakhiri. Pun juga bukan karena akan berpisah dengan keluarga. Aku rela disembelih. Apalagi untuk kurban. Karena seperti ucapanku, dengan cara inilah aku bisa menunjukkan baktiku pada Sang Pencipta.”
“Lalu?”
“Aku sedih...karena orang yang berharap sekerat dagingku beberapa tahun ini begitu membludak. Berdesak-desak saat pembagian. Terserimpung. Terinjak-injak kepalanya. Lalu mati. Tanpa sempat mencicipi daging kita ini. Dan yang lebih membuatku sedih, manusia selalu terlambat memperbaiki. Sehingga dari tahun ke tahun musibah kurban terjadi lagi. Aku sedih, karena karunia dan pahala Tuhan yang dijanjikan dalam kurban harus ditebus dengan sesak sengal napas si fakir yang terhimpit, tergencet saat mengambil jatah.”
“Padahal mereka hanya dapat sekerat saja,” sapi yang satu menimpali.
“Begitulah.”
Keduanya sama-sama menarik napas. Kali ini agak begitu panjang. Malam pun turun merambat. Perlahan. Membawa dingin suasana terus mengalir. Melalui pagar-pagar penangkaran yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Sampai tengah malam, kedua sapi itu tidak bisa memejamkan mata. Seperti ada kegelisahan yang begitu sempurna.
Bersambung...,
Dan Gayuspun Kabur
Oleh Salman Rusydie Anwar
“Gayus kabur dengan tertib dari dalam tahanan. Sompret benar si akal bulus itu.”
Martejo menghempaskan tubuhnya di atas tikar lapuk malam itu. Diantara sekitar tujuh orang yang biasa hadir ke rumah Marju’e tiap malam Minggu, baru Martejo yang datang. Sendirian. Dengan sarung diselempangkan di leher. Setiap malam minggu, rumah Marju’e memang kelihatan ramai dengan adanya orang-orang yang berasal dari kalangan petani, abang becak, kuli bangunan, tukang parkir, petugas kebersihan jalan, pembuat bata. Dan Marju’e sendiri memiliki pekerjaan tak kalah tragis; pemulung. Mereka berkumpul sekadar main gaple, ngobrol-ngobrol dan pijat secara bergantian. Bhinneka Tunggal Ikalah modelnya.
Anehnya, mereka berkumpul sesama orang yang memiliki awalan nama M. Ada Martejo si tukang bata, Masrawi si petani, Marju’e si pemulung, Murahwi si petugas kebersihan jalan, Misnawan si tukang becak, Maryono si kuli bangunan, dan Marham si tukang parkir. Itu sebabnya mereka menamakan kumpulan mereka dengan nama “M 150”, mirip nama sebuah minuman suplemen. Angka 150 itu sebenarnya penjelasan dari berdirinya perkumpulan tersebut yang didirikan pada tanggal 1 bulan 5 tahun 2000.
“Yang lain pada belum datang?” tanya Martejo.
“Murahwi tak mungkin datang. Tadi dia ijin. Katanya ada pertemuan di balai kota.”
“Pertemuan apaan?”
“Jalanan kan makin kumuh dan kotor dengan sampah. Mungkin ada semacam pengarahan dari kepala dinas kebersihan kota.”
“Sompret. Kepala dinasnya saja suruh nyapu.”
“Dari tadi somprat-sompret terus. Lagi mangkel?”
“Mangkel sama Gayus dan aparat Brimob. Gampang sekali mereka disogok.”
Marju’e sontak tertawa ngakak mendengar alasan kemangkelan sahabat karibnya sejak kecil itu. “Hei, bung. Seandainya sembilan puluh sembilan persen warga negara ini dihuni oleh tukang bata macam kau yang sama-sama mangkel atas kasus itu, keadaan tak akan berubah seinci pun. Negara tak akan terpengaruh.”
Martejo hampir protes. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bel yang berkleneng-kleneng nyaring di depan halaman. Tampak Misnawan datang menjinjing sebuah bungkusan.
“Kubawakan tujuh bungkus kopi untuk kalian yang terhormat,” katanya sambil bersalaman.
“Mantap. Akhirnya, setelah sepuluh tahun kita buat perkumpulan ini, baru sekaranglah hatimu terbuka untuk bersedekah,” tukas Marju’e.
“Sompret.”
“Loh, kok sompret juga. Mangkel sama Gayus juga?” tanya Marju’e sambil bergegas ke dalam untuk mengambil gelas.
“Ah. Tak ada Gayas-Gayusan. Yang penting rejeki mbecak hari ini lumayan,” jawab Misnawan yang langsung rebahan di samping Martejo sambil bercerita kalau siang tadi dia dapat order ngangkut-ngangkut barang.
“Coba kau jadi petugas Brimob yang jaga kamar tahanannya Gayus, pasti kaya kau dalam waktu semalam,” kata Martejo
“Alaah. Gayus lagi, Gayus lagi. Bikin hilang nafsu makan kalau mikirin dia. Kau tukang bata berlagak kayak pengacaranya saja. Kenapa kau ini?”
Sambil menuangkan kopi ke dalam gelas, Marju’e menjelaskan kenapa Martejo berbicara Gayus.
“Oohh, itu masalahnya to, Kang. Tak usah ikut ribut soal dia. Sudah ada yang mengatur.”
“Sompret kowe. Bukan itu masalahnya. Tapi mikir dong, masak tahanan bisa keluar masuk seenak udel-nya.”
“Dia kan uangnya banyak to, Jo. Jadi tak ada masalah jika dia mau begitu. Tinggal buat kesepakatan dengan petugas rutannya. Beres. Lagi pula kata kau dia kabur dengan tertib. Itu cocok. Polisi kan tugasnya menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat,” Marju’e menengahi.
“Kabur dengan tertib. Yang aku dengar dia bisa keluar masuk rutan. Bukan kabur,” sela Misnawan.
“Kabur dengan tertib itu menurut istilah Martejo. Artinya, ya sama dengan yang kau dengar itu.”
Misnawan menyalakan rokok. Asap mengepul menerobos serat-serat malam yang semakin dingin. Martejo mengedarkan pandang ke tengah halaman. Mencari-cari barangkali ada lagi yang bakal datang. Namun hanya sunyi yang terpancang di sana. Sedang Marju’e sudah berkali-kali mulutnya menguap. Ngantuk setelah seharian hanya mendapat sedikit barang bekas. Padahal dia sudah berjalan kurang lebih sepuluh kilo jauhnya. Setelah agak lama sama-sama terdiam, akhirnya Martejo buka suara:
“Besok, anakku si Suyono akan aku masukkan ke sekolah brimob. Biar dia bisa jaga rutan tempatnya Gayus. Biar dia kecipratan berkahnya si Tambunan itu.”
Misnawan dan Marju’e yang mendengar omongan Martejo secara spontan sama-sama berucap:
“Sompret kowe...”
Setelah itu mereka tertawa ngakak bersama. Tawa yang bebas. Sebebas mereka bermimpi dan berkhayal. Setiap hari. Setiap waktu.
“Gayus kabur dengan tertib dari dalam tahanan. Sompret benar si akal bulus itu.”
Martejo menghempaskan tubuhnya di atas tikar lapuk malam itu. Diantara sekitar tujuh orang yang biasa hadir ke rumah Marju’e tiap malam Minggu, baru Martejo yang datang. Sendirian. Dengan sarung diselempangkan di leher. Setiap malam minggu, rumah Marju’e memang kelihatan ramai dengan adanya orang-orang yang berasal dari kalangan petani, abang becak, kuli bangunan, tukang parkir, petugas kebersihan jalan, pembuat bata. Dan Marju’e sendiri memiliki pekerjaan tak kalah tragis; pemulung. Mereka berkumpul sekadar main gaple, ngobrol-ngobrol dan pijat secara bergantian. Bhinneka Tunggal Ikalah modelnya.
Anehnya, mereka berkumpul sesama orang yang memiliki awalan nama M. Ada Martejo si tukang bata, Masrawi si petani, Marju’e si pemulung, Murahwi si petugas kebersihan jalan, Misnawan si tukang becak, Maryono si kuli bangunan, dan Marham si tukang parkir. Itu sebabnya mereka menamakan kumpulan mereka dengan nama “M 150”, mirip nama sebuah minuman suplemen. Angka 150 itu sebenarnya penjelasan dari berdirinya perkumpulan tersebut yang didirikan pada tanggal 1 bulan 5 tahun 2000.
“Yang lain pada belum datang?” tanya Martejo.
“Murahwi tak mungkin datang. Tadi dia ijin. Katanya ada pertemuan di balai kota.”
“Pertemuan apaan?”
“Jalanan kan makin kumuh dan kotor dengan sampah. Mungkin ada semacam pengarahan dari kepala dinas kebersihan kota.”
“Sompret. Kepala dinasnya saja suruh nyapu.”
“Dari tadi somprat-sompret terus. Lagi mangkel?”
“Mangkel sama Gayus dan aparat Brimob. Gampang sekali mereka disogok.”
Marju’e sontak tertawa ngakak mendengar alasan kemangkelan sahabat karibnya sejak kecil itu. “Hei, bung. Seandainya sembilan puluh sembilan persen warga negara ini dihuni oleh tukang bata macam kau yang sama-sama mangkel atas kasus itu, keadaan tak akan berubah seinci pun. Negara tak akan terpengaruh.”
Martejo hampir protes. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bel yang berkleneng-kleneng nyaring di depan halaman. Tampak Misnawan datang menjinjing sebuah bungkusan.
“Kubawakan tujuh bungkus kopi untuk kalian yang terhormat,” katanya sambil bersalaman.
“Mantap. Akhirnya, setelah sepuluh tahun kita buat perkumpulan ini, baru sekaranglah hatimu terbuka untuk bersedekah,” tukas Marju’e.
“Sompret.”
“Loh, kok sompret juga. Mangkel sama Gayus juga?” tanya Marju’e sambil bergegas ke dalam untuk mengambil gelas.
“Ah. Tak ada Gayas-Gayusan. Yang penting rejeki mbecak hari ini lumayan,” jawab Misnawan yang langsung rebahan di samping Martejo sambil bercerita kalau siang tadi dia dapat order ngangkut-ngangkut barang.
“Coba kau jadi petugas Brimob yang jaga kamar tahanannya Gayus, pasti kaya kau dalam waktu semalam,” kata Martejo
“Alaah. Gayus lagi, Gayus lagi. Bikin hilang nafsu makan kalau mikirin dia. Kau tukang bata berlagak kayak pengacaranya saja. Kenapa kau ini?”
Sambil menuangkan kopi ke dalam gelas, Marju’e menjelaskan kenapa Martejo berbicara Gayus.
“Oohh, itu masalahnya to, Kang. Tak usah ikut ribut soal dia. Sudah ada yang mengatur.”
“Sompret kowe. Bukan itu masalahnya. Tapi mikir dong, masak tahanan bisa keluar masuk seenak udel-nya.”
“Dia kan uangnya banyak to, Jo. Jadi tak ada masalah jika dia mau begitu. Tinggal buat kesepakatan dengan petugas rutannya. Beres. Lagi pula kata kau dia kabur dengan tertib. Itu cocok. Polisi kan tugasnya menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat,” Marju’e menengahi.
“Kabur dengan tertib. Yang aku dengar dia bisa keluar masuk rutan. Bukan kabur,” sela Misnawan.
“Kabur dengan tertib itu menurut istilah Martejo. Artinya, ya sama dengan yang kau dengar itu.”
Misnawan menyalakan rokok. Asap mengepul menerobos serat-serat malam yang semakin dingin. Martejo mengedarkan pandang ke tengah halaman. Mencari-cari barangkali ada lagi yang bakal datang. Namun hanya sunyi yang terpancang di sana. Sedang Marju’e sudah berkali-kali mulutnya menguap. Ngantuk setelah seharian hanya mendapat sedikit barang bekas. Padahal dia sudah berjalan kurang lebih sepuluh kilo jauhnya. Setelah agak lama sama-sama terdiam, akhirnya Martejo buka suara:
“Besok, anakku si Suyono akan aku masukkan ke sekolah brimob. Biar dia bisa jaga rutan tempatnya Gayus. Biar dia kecipratan berkahnya si Tambunan itu.”
Misnawan dan Marju’e yang mendengar omongan Martejo secara spontan sama-sama berucap:
“Sompret kowe...”
Setelah itu mereka tertawa ngakak bersama. Tawa yang bebas. Sebebas mereka bermimpi dan berkhayal. Setiap hari. Setiap waktu.
Bakso
Salman Rusydie Anwar
Nur Kasiman hanya pedagang bakso biasa. Padanya, tak terlihat hal-hal yang membuat dirinya tampak istimewa. Setiap hari seusai dhuhur dia bersiap membuka warung baksonya. Untuk hari Minggu dia ikutan libur kerja. Sebagai pedagang bakso dengan warung lapak apa adanya, Mas Nur –begitu ia akrab disapa- tentu tak memiliki pemasukan tetap, apalagi dengan jumlah yang sangat besar.
“Cukup untuk mencukupi kebutuhan sekeluarga. Dan itu alhamdulillah,” katanya.
Dan begitulah Mas Nur menjalani sejarah hidupnya. Sudah tujuh tahun dia membuka usaha berjualan bakso tanpa pernah berpikir apakah kelak dia akan menjadi kaya dengan usahanya itu atau sekadar biasa-biasa saja atau bahkan mungkin jatuh terpuruk dan menjadi papa. Baginya yang terpenting adalah bekerja. Tanpa agenda. Tanpa rencana. Mungkin kehidupan ini dipahaminya seperti sebuah aliran air di sebuah kali. Mengalir begitu saja. Datar. Tanpa riak dan...yah, begitu-begitu saja.
Mohon prinsip Mas Nur ini jangan diutarakan kepada para konsultan, motivator-motivator atau penasehat hidup dengan label apapun. Bukan maksud saya agar Mas Nur tetap hidup begitu saja dan apa adanya. Tetapi antara Mas Nur dengan mereka terdapat kesenjangan sejarah yang sangat sukar dipertemukan garis tepinya. Mas Nur telah menemukan daya survive-nya dengan cara dan hidupnya sendiri yang kemudian ia pegang dan yakini erat-erat. Sehingga untuk mengubahnya barangkali diperlukan seminar dua tahun penuh berturut-turut. Wow....
Namun Mas Nur ternyata bukan sekadar “Mas Nur” yang pedagang bakso. Di samping itu dia juga mengandung banyak makna untuk diraba; dia kepala keluarga, ayah dari ketiga anaknya, kakak dari adiknya, cucu dari neneknya, anak dari kedua orangtuanya, seorang warga dari bangsa yang didiaminya dan yang tak kalah penting dia adalah manusia.
Sebagai manusia, Mas Nur telah membuktikan fungsi kehadirannya di dunia ini yang tidak lain adalah untuk BEKERJA. Manusia diciptakan memang untuk bekerja, yang sayangnya kata “bekerja” ini telah diarahkan maknanya hanya pada usaha mencari uang, harta. Padahal bekerja itu meliputi tidur, mandi, bera’, kencing, bersetubuh, shalat, berdoa dan sebagainya. Bahkan bayi yang baru lahirpun oleh Allah sudah diberi kemampuan untuk bekerja seperti menangis, kencing, buang air besar dan tidur.
Hal yang menarik dari Mas Nur disini adalah keberadaannya sebagai warga dari bangsa yang didiaminya. Suatu hari saya pernah mampir ke warung baksonya dan kebetulan beliau sedang membaca berita dari sebuah koran bekas.
“Repot tenan, dadhi wong Indonesia,” ujarnya.
Saya bertanya, “Memang ada apa? Kenapa harus repot?”
“Setiap hari harus selalu siap kaget.”
“Loh, kok bisa?”
“Sebentar-sebentar ada berita bencana, hati jadi menangis lagi lihat para korban menderita. Lalu ada tahanan yang bisa keluyuran, ada pejabat baru korup, banjir, gosip artis, demo, tawuran. Wes, poko’e kabeh bikin mumet ndas. Hilang akal kita, bagaimana sih caranya jadi rakyat yang menyenangkan disini.”
Bagi saya ucapan Mas Nur luar biasa. Dia mencoba mengapresiasi kejadian demi kejadian yang dialami bangsanya dengan daya nalarnya yang sederhana, ringan, sedikit gurih, manis namun juga ada dikit-dikit pedasnya. Jika dirasa-rasa, sama persis dengan cita rasa bakso yang dijualnya.
Ah, dari pada mumet kayak Mas Nur, mending hayo kita makan bakso bareng-bareng. Pasti seru.
Nur Kasiman hanya pedagang bakso biasa. Padanya, tak terlihat hal-hal yang membuat dirinya tampak istimewa. Setiap hari seusai dhuhur dia bersiap membuka warung baksonya. Untuk hari Minggu dia ikutan libur kerja. Sebagai pedagang bakso dengan warung lapak apa adanya, Mas Nur –begitu ia akrab disapa- tentu tak memiliki pemasukan tetap, apalagi dengan jumlah yang sangat besar.
“Cukup untuk mencukupi kebutuhan sekeluarga. Dan itu alhamdulillah,” katanya.
Dan begitulah Mas Nur menjalani sejarah hidupnya. Sudah tujuh tahun dia membuka usaha berjualan bakso tanpa pernah berpikir apakah kelak dia akan menjadi kaya dengan usahanya itu atau sekadar biasa-biasa saja atau bahkan mungkin jatuh terpuruk dan menjadi papa. Baginya yang terpenting adalah bekerja. Tanpa agenda. Tanpa rencana. Mungkin kehidupan ini dipahaminya seperti sebuah aliran air di sebuah kali. Mengalir begitu saja. Datar. Tanpa riak dan...yah, begitu-begitu saja.
Mohon prinsip Mas Nur ini jangan diutarakan kepada para konsultan, motivator-motivator atau penasehat hidup dengan label apapun. Bukan maksud saya agar Mas Nur tetap hidup begitu saja dan apa adanya. Tetapi antara Mas Nur dengan mereka terdapat kesenjangan sejarah yang sangat sukar dipertemukan garis tepinya. Mas Nur telah menemukan daya survive-nya dengan cara dan hidupnya sendiri yang kemudian ia pegang dan yakini erat-erat. Sehingga untuk mengubahnya barangkali diperlukan seminar dua tahun penuh berturut-turut. Wow....
Namun Mas Nur ternyata bukan sekadar “Mas Nur” yang pedagang bakso. Di samping itu dia juga mengandung banyak makna untuk diraba; dia kepala keluarga, ayah dari ketiga anaknya, kakak dari adiknya, cucu dari neneknya, anak dari kedua orangtuanya, seorang warga dari bangsa yang didiaminya dan yang tak kalah penting dia adalah manusia.
Sebagai manusia, Mas Nur telah membuktikan fungsi kehadirannya di dunia ini yang tidak lain adalah untuk BEKERJA. Manusia diciptakan memang untuk bekerja, yang sayangnya kata “bekerja” ini telah diarahkan maknanya hanya pada usaha mencari uang, harta. Padahal bekerja itu meliputi tidur, mandi, bera’, kencing, bersetubuh, shalat, berdoa dan sebagainya. Bahkan bayi yang baru lahirpun oleh Allah sudah diberi kemampuan untuk bekerja seperti menangis, kencing, buang air besar dan tidur.
Hal yang menarik dari Mas Nur disini adalah keberadaannya sebagai warga dari bangsa yang didiaminya. Suatu hari saya pernah mampir ke warung baksonya dan kebetulan beliau sedang membaca berita dari sebuah koran bekas.
“Repot tenan, dadhi wong Indonesia,” ujarnya.
Saya bertanya, “Memang ada apa? Kenapa harus repot?”
“Setiap hari harus selalu siap kaget.”
“Loh, kok bisa?”
“Sebentar-sebentar ada berita bencana, hati jadi menangis lagi lihat para korban menderita. Lalu ada tahanan yang bisa keluyuran, ada pejabat baru korup, banjir, gosip artis, demo, tawuran. Wes, poko’e kabeh bikin mumet ndas. Hilang akal kita, bagaimana sih caranya jadi rakyat yang menyenangkan disini.”
Bagi saya ucapan Mas Nur luar biasa. Dia mencoba mengapresiasi kejadian demi kejadian yang dialami bangsanya dengan daya nalarnya yang sederhana, ringan, sedikit gurih, manis namun juga ada dikit-dikit pedasnya. Jika dirasa-rasa, sama persis dengan cita rasa bakso yang dijualnya.
Ah, dari pada mumet kayak Mas Nur, mending hayo kita makan bakso bareng-bareng. Pasti seru.
Langganan:
Postingan (Atom)