Kamis, 31 Mei 2012
Manusia Sempurna
Tak ada manusia yang sempurna. Itulah kesimpulan yang kita yakini selama ini mengenai jati diri manusia. Selalu ada kekurangan pada seseorang. Tanpa terkecuali. Bahkan seorang actor dan artis yang didaulat sebagai manusia “sempurna” sekalipun tetap memiliki kekurangan pada dirinya. Cuma masalahnya kekurangan pada sosok selebritis itu terkadang dianggal sebagai hal yang haram dipublikasikan, baik oleh media maupun oleh keputusan selebriti yang bersangkutan.
Sekalipun manusia memiliki kekurangan, namun tidak ada salahnya apabila upaya-upaya untuk menjadi yang “sempurna” itu tetap harus dilakukan. Karena prinsipnya demikian, maka apa yang disebut “sempurna” itu memiliki beragam tafsir. Sesuai konteks dan situasi dimana seseorang berada. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai artis tentu memiliki tafsir kesempurnaan yang berbeda dengan seorang perempuan yang mengurus sebuah perusahaan.
Misalnya, seorang artis dituntut untuk selalu murah senyum, berpakaian sesuai trend mode yang berkembang dan menunjukkan ekspresi ceria kapan saja dan dimana saja terutama saat di depan kamera. Ketentuan itu harus dipatuhi agar kesempurnaan sebagai seorang artis dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Namun berbeda dengan perempuan yang mengurus sebuah perusahaan. Perempuan seperti ini mungkin harus berpakaian rapi, energik, lebih banyak bertindak daripada berbicara dan harus berkesan kharismatik. Semua itu perlu dilakukan demi kesempurnaannya sebagai pengelola perusahaan.
Meski demikian, beragam tafsir mengenai kesempurnaan di atas sebenarnya mengacu pada satu tujuan pokok, yaitu agar seseorang mampu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab serta memiliki totalitas yang tinggi terhadap profesinya. Karena itu, membaca kisah Tania Gunadi, mojang Bandung berusia 28 tahun yang menjadi artis Hollywodd (Kompas, 22/04), saya mencoba bertanya-tanya; seberapa tinggi sih tanggung jawab masyarakat Indonesia terhadap suatu pekerjaan?
Tahun 2000 silam, setelah lulus SMA, Tania Gunadi mendapatkan lotree green card, sebuah kartu identitas yang menunjukkan bahwa seseorang berhak untuk tinggal dan bekerja secara sah di Amerika Serikat termasuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari negara tersebut. Konsekuensinya, seseorang yang mendapatkan green card harus berusaha mempertahankan statusnya berdasarkan kondisi-kondisi tertentu karena status itu bisa saja dicabut apabila yang bersangkutan melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh negara.
Nah, salah satu ketentuan yang ditetapkan oleh negara Amerika Serikat adalah masalah kesempurnaan dalam bekerja. Kesempurnaan dalam bekerja ini meliputi kedisiplinan yang tinggi, loyalitas dan tidak melakukan kesalahan kerja sekecil apapun. Intinya, orang yang bekerja di Amerika harus benar-benar teliti, disiplin dan benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap pekerjaan sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal dan sempurna. Bila ketentuan ini dilanggar, maka akan sungguh fatal akibatnya.
Tania Gunadi membuktikan ketentuan itu. Awal menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, atas rekomendasi kakaknya yang juga tinggal di Los Angeles, Tania mendapatkan pekerjaan sebagai penerima telepon di Pizza Hut. Suatu hari, karena ia salah menerjemahkan menu pesanan pizza pelanggan, jabatannya sebagai penerima telepon dicabut dan posisinya diturunkan menjadi koki. Namun karena tidak bisa membedakan saus dan sambal, posisi Tania sebagai koki akhirnya kembali diturunkan menjadi pencuci piring. Bekerja sebagai pencuci piring pun harus sempurna. Dan karena dinilai gagal membersihkan piring, Tania akhirnya harus bekerja membersihkan toilet.
Mungkin pertanyaan yang tepat setelah membaca kisah Tania di atas bukanlah apakah manusia tidak boleh melakukan kesalahan, melainkan seberapa besar pengaruh dari sebuah kesalahan itu sendiri. Paula J.C berkata, manusia adalah makhluk yang terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinyu serta turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan.
Disini, dapat kita pahami bahwa kesalahan adalah indicator penggerogot kesempurnaan. Semakin sering seseorang melakukan kesalahan, maka jalan menuju kesempurnaan akan semakin sukar diraih. Namun kita juga tidak perlu berpikir apakah dengan menghindarkan diri dari melakukan banyak kesalahan lantas kita akan menjadi manusia yang benar-benar sempurna atau tidak. Sebab kesempurnaan itu sejatinya bukanlah hasil yang terdapat di akhir perjalanan, melainkan harus ada di sepanjang proses perjalanan yang dilakukan.
Jika seseorang berpikir bahwa kesempurnaan itu laksana piala yang akan diraih di akhir sebuah pertandingan, maka mungkin tidak ada lagi yang bersedia menghargai kesungguhan, kedisiplinan dan totalitas seseorang selama mengikuti perlombaan. Maka fenomena peristiwa sebagaimana dialami Tania di atas sesungguhnya mengajarkan kita satu hal bahwa berproses menjadi sempurna itu jauh lebih penting dari pada kesempurnaan itu sendiri.
Persoalannya adalah, kalau di Amerika Serikat seorang pekerja rumah makan saja dituntut untuk menjadi manusia sempurna dalam menjalankan pekerjaannya, lalu bagaimana dengan negara kita?
Barangkali jawaban yang paling realistis dari pertanyaan ini adalah negara kita memang perlu belajar banyak dari negara-negara lain yang menerapkan prinsip totalitas dan kedisiplinan tinggi bagi warganya agar mereka menjadi manusia-manusia yang “sempurna.” Namun yang tak kalah penting setelah belajar banyak adalah keberanian menerapkan apa yang sudah dipelajari dalam tindakan yang nyata. Siapa tahu dengan begitu misalnya, negara kita bisa menurunkan gaji atau jabatan dari seorang pejabat yang tidak bisa bekerja dengan benar, sering tidur saat rapat, tidak masuk kantor tanpa ijin dan terutama korupsi. Semoga!
Shahibu Baiti
Ya Rasulallah!
Meski dengan perantara alunan music sederhana ini, aku mencoba belajar merangkum kembali cintaku kepadamu. Selain hanya secuil rasa percaya diri yang rapuh, sebenarnya tak ada kesucian dalam diriku, yang membuatku merasa pantas mengutarakan rasa cinta ini kepadamu.
Prestasi keseharianku adalah dosa dan dosa. Puncak kematangan ilmuku adalah kebodohan yang begitu perih, yang membuat langkahku tak kunjung mendekat pada cintamu. Begitu tinggi jenjang pendidikan yang aku tempuh, namun semuanya semakin menguakkan betapa tebal ketidakmengertianku tentang diriku sendiri.
Ya Rasulallah!
Engkaulah imam para nabi, yang menegakkan tidak hanya agama, melainkan juga cinta. Tuhan menanamkan keistimewaan pada wajahmu, sehingga engkau lebih terang dari purnama. Tuhan meminjamkan kelembutannya pada jiwamu, sehingga engkau tak pernah menanam dendam pada siapa pun saja, termasuk mereka yang memusuhimu.
Ya Rasulallah!
Gemetar hatiku menanti hari perhitungan-Nya, yang tak sebutir debupun dari kesalahanku yang tak akan luput dari pertanyaan-Nya. Sementara sebagai umatmu, aku berada pada barisan terakhir yang mencintaimu. Aku senantiasa menjadi masbuk dari tegaknya shaf-shaf kebenaran yang engkau jalankan. Apakah engkau bersedia menawar nasibku kelak, wahai Nabi? Ketika Tuhan memutuskan untuk melemparku ke dalam gejolak api neraka?
Aku tak memiliki apa-apa, yang dapat kubanggakan sebagai umatmu dan hamba-Nya. Maka di tengah makin nyinyirnya hidup yang kujalani ini, wahai Rasul, ijinkan aku mengutarakan rasa cintaku ini kepadamu. Meski aku sendiri tahu, betapa akan selalu samar suaraku di pendengaranmu walau berkali-kali kuteriakkan namamu. Hari demi hari.
Sekilas Guzzainal
Bagi sebagian masyarakat Jogja, nama Zainal Arifin Thaha barangkali bukanlah sosok yang asing. Beliau adalah pribadi yang dekat dengan siapa saja, baik kalangan mahasiswa, tokoh organisasi, tokoh agama, sastrawan, para penulis dan tentu saja masyarakat pada umumnya. Mungkin karena kedekatannya dengan berbagai elemen itulah pada akhirnya Zainal Arifin Thaha juga dikenal sebagai sosok yang memiliki multiaktivitas seperti halnya akademisi, sastrawan, penulis buku, muballigh dan juga dosen.
Dari sekian banyak aktivitas yang ia jalankan, ada beberapa peninggalan yang masih bisa kita lihat setelah kepergiannya tujuh tahun yang silam, antara lain berupa karya buku dan juga rintisan pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie. Sebuah pesantren yang didirikan untuk menampung anak-anak muda yang memiliki keinginan tinggi untuk belajar namun terhalang oleh masalah biaya.
Dalam hal intelektualitas dan kreativitas, Zainal Arifin Thaha terbilang cukup unik. Ia bisa mendeskripsikan pengetahuannya melalui berbagai bentuk karya seperti halnya artikel-opini, esai, cerpen, puisi dan juga buku-buku kecil berisi motivasi yang ia ramu dari pembacaannya terhadap kitab suci Al-Qur’an, Hadis dan juga kitab-kitab klasik yang biasa diajarkan di pesantren-pesantren pada umumnya.
Pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie sendiri pada akhirnya ia dedikasikan untuk menjadi sebuah wadah yang menampung dan membimbing para santrinya agar memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik. Bahkan beberapa karya diantara para santrinya sudah menghiasi media massa nasional. Sebut saja Muhammadun As, Akhmad Mukhlis Amrin, Mahwi Air Tawar, Bernando J Sujibto, yang karya-karya mereka sering dipublikasikan media bergengsi semisal Koran Kompas dan sebagainya. Dari pesantren ini pula, lahir sebuah komunitas kepenulisan dengan nama Komunitas Kutub serta LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta)
Di samping menjadi pengasuh pesantren, dosen, penulis dan penceramah, Zainal Arifin Thaha juga dikenal sebagai seorang trainer yang kerap diminta untuk memberikan motivasi dan bimbingan dalam acara-acara pelatihan. Satu diantaranya adalah program psikoreligius dan religious class program yang biasa diadakan di sekolah-sekolah SMU dan perguruan tinggi menjelang ujian nasional.
Kepribadian Zainal Arifin Thaha yang ramah telah membuat siapa saja merasa nyaman berinteraksi dengannya. Bahkan tidak jarang ada masyarakat, atau sahabat-sahabatnya yang datang untuk mengadukan masalah pribadi dan meminta bantuan untuk mencarikan jalan keluarnya. Selain itu, wawasan keilmuannya yang luas berkat bacaan-bacaannya atas berbagai disiplin ilmu telah menjadikan Zainal Arifin Thaha sebagai pribadi yang terbuka kepada siapa saja dan dekat dengan siapa saja. Bahkan ia termasuk sosok yang sangat dekat dengan para kiai, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Dan kini, tak terasa sejak tahun 2007 lalu, telah 6 tahun 3 bulan 18 hari, kita kehilangan sosok guru sekaligus sahabat yang sangat kita cintai. Ya, dialah Zainal Arifin Thaha, pendiri dan sekaligus pengasuh pertama Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari.
Rasanya, memang baru kemarin kita bersama-sama dengannya. Sebuah kebersamaan, yang dibangun di atas ketulusan, pengorbanan dan dedikasi yang begitu tinggi. Dan kita, sebagai santri, atau siapapun saja yang pernah mengenal akrab kepribadiannya, menikmati betul ketulusannya itu. Sehingga kita, serta merta tak lekas percaya, tergeragap penuh tanda tanya, ketika pada hari Rabu tanggal 14 Maret 2007 yang lalu, terdengar kabar bahwa Zainal Arifin Thaha yang kita kenal, ternyata telah meninggal.
Cukup beralasan, seandainya kita berharap, orang-orang seperi Zainal Arifin Thaha dapat hidup lebih lama bersama kita. Namun kekuasaan Allah, untuk memanggil kembali hamba-hamba-Nya, baik cepat atau lambat, sama sekali tak memerlukan alasan kita.
Zainal Arifin Thaha boleh saja meninggal. Atau seperti dalam bait puisinya melemparkan bangkai badan dari bau semesta. Tetapi, sebagai sosok yang menghikmati betul kata Nabinya, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, ia telah memberi kita sebuah rumus hidup yang ia sendiri menyebutnya sebagai spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas.
Dengan semangat spiritualitas, Zainal Arifin Thaha seperti ingin berkata, “Berdzikir dan beribadahlah kalian agar dalam menjalani kehidupan, hati dan jiwamu menjati tenteram.” Dengan semangat intelektualitas beliau seperti ingin berkata, “Belajarlah yang tekun kalian agar dalam menjalani kehidupan, kalian tak didera bimbang dan salah jalan.” Serta dengan semangat profesionalitas beliau juga seperti ingin berkata, “Bersungguh-sungguhlah kalian dalam menjalankan keduanya, agar apa yang kalian upayakan memberikan hasil yang matang dan tak mengecewakan.”
Memang hanya tiga rumus hidup itulah yang seringkali Zainal Arifin Thaha kemukakan. Suatu jumlah yang sangat sedikit bagi medan hidup yang begitu luas. Tetapi, ia sendiri berujar bahwa “lebih baik bertindak walaupun sedikit daripada berangan-angan untuk berbuat banyak.” Itulah prinsip yang dipancangkan oleh sosok yang Joni Ariadinata menyebutnya sebagai presiden kuburan.
Kini, setelah tujuh tahun kepergian Zainal Arifin Thaha, sebagai santri dan sahabatnya, kita berusaha mengumpulkan kembali, serakan-serakan nasehatnya, yang barangkali dapat kita utuhkan serakan itu dalam spirit kita, untuk terus berkreatifitas, untuk berjuang dan berkorban, baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Ya, itulah pelajaran inti, yang ditanamkan di pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie ini oleh beliau. Bahwa untuk menjadi orang yang sukses kita harus berusaha memberikan jalan kesuksesan bagi orang lain. Bahwa untuk menjadi orang yang berhasil kita harus memberikan kemudahan pada orang lain. Maka tak heran, jika pada akhirnya, Zainal Arifin Thaha mengambil keputusan yang berani, untuk mempersilahkan siapa saja menjadi santrinya secara gratis, menempati sebuah tempat yang ia sewa dengan hasil jerih payahnya sendiri.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Zainal Arifin Thaha, telah mewaqafkan kesempatan hidupnya yang singkat itu, untuk benar-benar berarti dan bermanfaat bagi orang lain. Dan seperti yang juga kita ketahui, bahwa Zainal Arifin Thaha yang kaya itu, telah meninggalkan gelimang hartanya, untuk hidup bersama dan mengajarkan ilmu agama bagi para santrinya yang miskin dan gembel. Membantu kesulitan santrinya yang jarang mandi dan korengan. Mengajari puisi para santrinya yang kurus dan seringkali hanya makan satu bungkus nasi angkringan. Menyesalkah beliau? Putus asakah beliau? Mungkin saja tidak. Dan itulah barangkali, yang menyebabkan Shihoo Sawai, seorang peneliti komunitas sastra asal Jepang, menyebut Zainal Arifin Thaha sebagai penerus Umbu Landu Paranggi.
Sebagai santri atau juga sahabat Zainal Arifin Thaha, kami tidak tahu, apakah pantas beliau disebut-sebut sebagaimana kata Shihoo Sawai itu. Tetapi yang kami tahu adalah, bahwa Zainal Arifin Thaha adalah pribadi yang selalu berusaha menunjukkan kepeduliannya kepada orang lain. Selalu berusaha menyenangkan orang lain. Selalu berusaha membantu semampu yang ia bisa pada orang lain. Selebihnya, biarlah Allah sendiri yang memberikan penilaian.
Terakhir kali, ada satu pesan penting yang juga seringkali Zainal Arifin Thaha kemukakan:
“Bacalah semua buku. Jangan takut. Tuhan bersama orang-orang yang rajin membaca. Dan jangan anggap dirimu berhasil kalau belum memberikan manfaat bagi orang lain. Serta janganlah kalian meninggal sebelum melahirkan banyak karya.”
Dan bagi kita, Zainal Arifin Thaha adalah seorang pembaca buku yang rajin. Beliau juga adalah sosok yang telah memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Serta beliau juga telah melahirkan banyak karya yang ditinggalkan.
Karena itu, kita yang pernah akrab dengannya, berusaha memaklumi dan mengikhlaskan kepergiannya, sambil diam-diam berusaha meneladani sifat dan sikap hidupnya. Semoga!
Amin
Pemuda-Pemuda dan Masa Depan Indonesia
Selepas beracara dengan beberapa kawan di Hotel Quality Yogya pada pertengahan Desember 2009 lalu, saya didatangi oleh seorang pemuda yang kemudian saya ketahui kalau dia adalah wartawan sebuah majalah sekolah menengah di Sleman. Kepada saya dia bertanya, “Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memberdayakan kaum muda sekarang ini?”
Saya tertegun mendengar pertanyaan pemuda yang cukup serius itu. Tetapi menurut saya, sebagaimana hal ini juga saya katakan kepadanya, dia telah melakukan dua kesalahan besar dengan bertanya seperti itu. Kesalahannya yang pertama tentu saja adalah karena dia mengajukan pertanyaan itu pada saya. Meskipun dalam acara itu saya kebagian berbicara masalah peranan santri (yang rata-rata pemuda) dalam konstelasi modernisasi global, akan tetapi hal itu tidak menjamin bahwa saya tahu banyak soal kaitan antara pemerintah dengan pemuda. Sementara kesalahannya yang kedua adalah pertanyaan itu mencerminkan suatu sikap mental dan cara pandang tertentu bahwa untuk berdaya, ternyata pemuda harus menunggu peran pemerintah.
“Apa benar seperti itu?” saya balik bertanya dan si pemuda wartawan tadi hanya misem kayak artis.
Namun akhirnya dengan sangat terpaksa saya menjawabnya juga. Untuk memperjelas duduk masalahnya, saya mencoba menguraikan sedikit demi sedikit pertanyaan si mas wartawan tadi. Kepadanya saya katakan bahwa pertanyaan macam demikian jelas sangat mengecawakan kaum muda (terutama mahasiswa) yang selama ini begitu getol menyuarakan posisi diri mereka sebagai agen perubahan (agent of change).
Sebagai agen penggagas perubahan, tentu sangat naif apabila pemuda harus menunggu uluran tangan pemerintah untuk sekadar berdaya. Padahal, ‘musuh’ bebuyutan pemuda selama ini sepertinya sudah jelas-jelas adalah pemerintah sendiri. Jika hal itu memang benar-benar terjadi, maka sungguh-sungguh itu semua adalah degelan yang sama sekali tidak lucu. Sebab, bagaimana mungkin pemerintah bersedia memelihara ‘anak macam’ jika kelak kalau sudah besar dia malah akan selalu siap menerkam dan merobek tulang mereka sendiri?
Saya membayangkan bahwa kelak Indonesia akan memiliki pemuda-pemuda yang benar-benar tangguh untuk menggagas terjadinya suatu perubahan, baik dalam ruang lingkup lokal dan syukur-syukur nasional. Ketangguhan pemuda tidak saja harus diukur dari tingkat pendidikan akademik mereka, organisasi-organisasi yang mereka ikuti dan juga slogan-slogan mereka yang penuh heroik. Pun tidak begitu penting untuk semata-mata mengukur peran pemuda hanya dalam sikap dan keberanian mereka yang begitu ekstrem ketika melawan pemerintah.
Pemuda harus tetap ada sekalipun pemerintah tak pernah bersedia untuk menganggap mereka ada. Pemuda harus tetap tangguh meskipun pemerintah, dengan berbagai upaya, terus melakukan penggembosan terhadap kesolidan mereka. Pemuda harus tetap memiliki prinsip perjuangan yang jelas untuk selalu mengontrol pemerintah, meskipun pemerintah sendiri terus berusaha membuat diri mereka tidak pernah benar-benar jelas di mata rakyatnya.
“Saya tahu kalau soal itu, Mas,” kata si wartawan tadi menyela omongan saya. “Tapi konkritnya apa?”
“Itulah kenapa tadi di awal-awal saya katakan kalau Anda salah bertanya pada saya. Kalau mau tahu konkritnya, silahkan Anda datang ke Jakarta dan temui Menpora, Bapak Andi Mallarangeng. Tanyakan kepadanya, apa yang sudah dia lakukan untuk pemuda Indonesia selain hanya mengurus dunia olahraga.”
“Benar, Mas. Memangnya pemuda Indonesia hanya pemain sepak bola dan atlet olahraga, ya Mas?”
“Itu tugas Pak Andi untuk menjawabnya. Kalau saya yang menjawab, nanti dikira saya melangkahi wewenang beliau.”
Wawancara selesai dan saya juga sudah ditunggu oleh seorang pemuda yang tadi menjemput saya dan sekarang mau mengantar saya pulang. Di tengah jalan saya berkata pada pemuda yang membonceng saya. “Jiwa pemuda itu harus seperti sampeyan ini, Mas. Mau menjemput suatu ide perubahan dan bersedia mengantarkan hasilnya ke rumah-rumah rakyat, tanpa peduli apakah sampeyan diberi uang bensin atau tidak “
Pemuda itu hanya diam. Entah dia paham maksud kata-kata saya atau tidak.
Desember 19,2009.
Perihal Kualitas
Dalam sebuah pertemuan yang tak terduga, saya berjumpa dengan seseorang yang diam-diam sudah lama saya mengaguminya. Orang yang satu ini super sederhana dalam penampilan namun ia open (telaten) terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Tak hanya itu, ia juga memiliki sifat ngemong, penuh perhatian, suka menghibur orang lain dengan tindakan dan kata-katanya, meski yang terakhir ini kerap disalahartikan sebagai kekonyolan dan karena itu membuat orang lain berani meremehkannya.
Saya tahu kalau orang yang saya jumpai itu memegang peranan penting dalam sebuah “organisasi”. Atau setidaknya ia adalah pengurus dalam sebuah organisasi tertentu yang anggotanya justru terdiri dari manusia-manusia sukar diurus. Tetapi kondisi yang demikian sepertinya tidak mempengaruhi i’tikad baik makhluk Tuhan yang saya temui itu. Ia terus berkonsentrasi kepada tugasnya, menjalankan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk menjadi tanggung jawab beliau, serta tidak jera mengingatkan, memotivasi dan memperjuangkan kemajuan-kemajuan anggota organisasi sekuat tenaga dan kemampuannya.
“Rajin-rajinlah bertandang ke tempat saya,” ucapnya ketika itu. “Saya masih memerlukan banyak bantuan. Anda tahu sendiri kan, keadaan saya seperti ini. Dibanding yang lain, saya kalah berkualitas.”
Ia begitu serius mengatakan hal itu sehingga saya menjadi semakin kagum saja atas perkataan yang mencerminkan kerendahhatiannya itu. Saya mengerti betul apa muatan di balik kata-kata yang ia ucapkan. Ia merasa kurang berkualitas dibanding anggota organisasi lainnya karena barangkali selama ini ia sering diremehkan, diabaikan, tidak diacuhkan dan disepelekan. Ia menjadi “objek hinaan” yang secara tidak langsung dilakukan oleh anggota organisasisnya lewat tindakan-tindakan mereka seperti yang telah saya sebutkan.
Namun anehnya, ia tetap survive. Senyumnya tak berkurang sedikitpun meski hampir tiap hari ia mendapatkan perlakuan-perlakuan seperti di atas. Berkali-kali ia diabaikan, namun berkali-kali pula ia memberikan perhatian. Saya pun menemukan peluang untuk sekadar cawi-cawi ngomong dan tentu saja sekenanya.
Kepada orang itu saya katakan bahwa berkualitas-tidaknya seseorang tidak harus terus-terusan diukur dengan kepandaian akal dan nalar. Orang yang bisa ngomong ilmu politik, ekonomi, sosial, budaya dengan cukup memikat bisa saja berkualitas dalam satu sisi, namun pada sisi yang lain ia tidak lebih dari pada si dungu yang tersesat. Ilmu politik, ekonomi, sosial dan budaya pada akhirnya akan dituntut untuk menjadi ilmu yang sanggup mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik. Justru akan menjadi lacur jika ilmu-ilmu itu hanya terkesan begitu mencerahkan ketika diulas di koran namun penulisnya kebingungan mencermati langkahnya sendiri. Yang bisa ia tahu hanyalah kebanggaan-kebanggaan semu bahwa ia sudah resmi dianggap menjadi penulis dengan satu dua tulisan.
Jadi kepada orang itu saya katakan bahwa tidak usah malu disebut orang yang tidak berkualitas jika kualitas itu hanya diukur dengan variabel-variabel akal-nalar seperti yang saya sebutkan. Kualitas itu adalah salah satu jenis kebenaran. Dan kebenaran itu sendiri terlalu besar untuk dikuasai oleh hanya satu orang, satu organisasi dan lain sebagainya.
Berkualitas itu bisa jadi berupa sikap yang ditunjukkan oleh orang yang saya jumpai itu. Ia jalankan amanah yang dibebankan kepadanya dengan ramah, santun, penuh perhatian dan suka menghibur.
Saya juga tegaskan bahwa melaksanakan tugas yang diamanahkan orang lain dengan baik bisa saja menjadi tanda dari berkualitasnya seseorang. Sebab hanya orang berkualitaslah yang mampu memanggul amanah di pundak mereka, kendati di kiri-kanannya banyak yang meremehkan dan menyepelekan.
Berusaha menaati ketentuan atau aturan yang sudah nyata memiliki nilai kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menangkap hakikat yang tersirat di balik ketentuan-ketentuan itu.
Berusaha tidak menyepelekan dan meremehkan orang lain, meski mereka kelihatan lebih dungu dari diri kita sendiri, adalah sebagian dari tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu menerima dan menghargai siapa saja yang mereka jumpai dan hadapi.
Tidak sombong dengan kemampuan diri sendiri adalah sebagian dari tanda-tanda berkualitasnya seseorang. Sebab hanya manusia berkualitas yang mampu mengendalikan dirinya sendiri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Tidak terhitung berapa jumlah kalimat dan pernyataan yang saya keluarkan saat itu. Tapi yang jelas saya harus segera menghentikan pembicaraan karena saya khawatir ucapan dan kata-kata saya tidak lagi berkualitas untuk diperdengarkan. Di akhir pertemuan, saya bertanya pada diri sendiri:
“Kualitas manakah yang harus aku pilih? Nalar. Perbuatan. Atau sinergi antara keduanya?”
Pertanyaan yang dalam pendengaran Anda jauh lebih tidak berkualitas ini, mungkin hanya pantas dijawab dengan:
“Ya, embuh…!”
Wahanaku, menyapa Hamasy.
Dua Pemuda Miskin di Sebuah Republik Anjing
Tersebutlah dua orang pemuda miskin yang menempati sebuah gubuk reot di tepi bantaran kali yang hampir dipastikan selalu banjir kalau sedang musim hujan. Dua pemuda itu sudah begitu lama bersahabat. Bahkan mereka sudah lupa, tepatnya kapan mereka bertemu dan berkenalan hingga jadilah keduanya sepasang sahabat yang sangat karib, yang kekaribannya melebihi seorang saudara.
“Nasib dan kemiskinanlah yang mempersatukan kami, kawan,” kata pemuda yang satu saat ada temannya sesama pemuda miskin lainnya bertanya.
“Ya. Hidup kami sama seperti kalian. Kami tidak memiliki apa pun di negeri yang sangat kaya dengan apa pun ini. Bahkan kami tidak memiliki harapan, sebab harapan-harapan itu terlalu mahal buat kami. Satu-satunya yang kami miliki hanyalah persahabatan ini, persaudaraan ini,” pemuda yang satunya ikut menimpali.
Pada suatu hari, langit tiba-tiba menjadi mendung dan tak lama kemudian hujan turun dengan amat deras. Pemuda yang satu pergi menutup pintu gubuknya yang terbuat dari kardus-kardus yang sudah usang. Keduanya lalu meringkuk sambil membungkus tubuh mereka dengan sarung. Sarung yang sebenarnya sudah lusuh dan tipis sehingga tak mampu menahan dingin yang datang menusuk tulang.
“Kau tahu, apa yang sering aku impikan jika hujan-hujan begini?” tanya pemuda yang satunya.
“Apa?”
“Aku memimpikan dapat tidur nyenyak di dalam sebuah kamar besar dengan kasur empuk, berselimut tebal, menonton acara televisi sambil menikmati makanan ringan dan minuman kaleng.”
“Tapi itu tidak mungkin, saudaraku.”
“Aku tahu, itu memang tidak mungkin. Tapi setidaknya aku sudah memimpikannya. Bukankah kau sering berkata kepadaku bahwa pencapaian-pencapaian besar itu dimulai dari mimpi?”
Pemuda yang satu terdiam. Ia ingat bahwa dirinya memang sering mengatakan hal itu kepada sahabatnya yang mulai terlihat kedinginan itu. Mimpi adalah tangga pertama mencapai keberhasilan. Begitu kata-kata yang acapkali ia katakan. Betapa banyak hal-hal besar di dunia ini yang awalnya dimulai dari sebuah impian. Kemajuan teknologi, perubahan peradaban, kesuksesan, kekayaan bahkan kemerdekaan suatu bangsa sekalipun, semuanya berawal dari sebuah mimpi.
Namun apakah mimpi sahabatnya itu akan menjadi kenyataan, sebagaimana contoh-contoh yang sering ia kemukakan saat bercerita betapa pentingnya sebuah mimpi? Sampai di sini pemuda yang satu itu merasa bersalah. Ia lupa mengatakan bahwa selain mimpi, seseorang juga perlu berjuang, mengeluarkan pengorbanan, bahkan dengan nyawa sekalipun.
Di luar hujan semakin deras. Petir terdengar menyambar-nyambar. Seisi ruangan dalam gubuk itu pun kini telah berisi air sungai yang mulai meluap menggenangi sebagian bantaran yang berdataran rendah, termasuk gubuk yang ditempati kedua pemuda itu. Sambil merebahkan tubuhnya di atas bale-bale yang tak kalah reot, pemuda yang satu berkata:
“Kau tahu, seandainya kita terhanyut air sungai ini dan kita berdua tewas karenanya, tak mungkin ada pejabat peduli dan menaruh perhatian terhadap kita.”
“Apakah karena kita miskin?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Karena kita sudah lama tidak dijadikan focus utama pembangunan negeri ini.”
“Bicaramu seperti pengamat saja, saudaraku,” kata pemuda yang satunya sambil ikut merebahkan tubuhnya di samping sahabatnya, pemuda yang satu itu.
“Bukan, tapi seperti bicaranya para penyair.”
“Apakah penyair bisa berbicara seperti itu? Setahuku, penyair hanya bicara bunga dan bulan.”
“Jangan menghina. Maukah kau kutunjukan sebuah puisi yang aku tulis dua tahun yang silam?” tanpa menunggu jawaban, pemuda yang satu bangkit dan mendekati tas lusuh yang tergantung di dinding gubuk. Dia mengeluarkan sebuah kertas buram yang terlipat dan membawanya ke hadapan pemuda yang satunya.
“Bacalah. Biarlah suara angin, gemuruh sungai yang meluap, dan juga kilatan petir menjadi music pengiringnya,” kata pemuda yang satu sambil menyerahkan kertas yang berisikan puisi itu.
Pemuda yang satunya menerima kertas itu. Sejenak dia menatap pada sahabatnya, seperti kalau sedang meminta izin sebelum membaca. Kemudian, diantara riuh rendah suara angin dan petir, terdengarlah bait-bait puisi itu dibacakan:
Republic Anjing
Adalah republic anjing, yang presidennya sibuk berhias sambil mencipta lagu untuk dinyanyikan sebagai hiburan bagi rakyat yang sesungguhnya tak mampu lagi menikmati indahnya sebuah hiburan.
Adalah republic anjing, yang wakil presidennya mampu membuat kebijakan dan hukum-hukum disaat hukum itu sendiri mestinya menunjukkan kebijaksanaan atas kasus dirinya sendiri.
Adalah republic anjing, yang ketua partainya berani berkata siap berjuang untuk rakyat demi meraih kursi kekuasaan sementara rakyat yang ingin diperjuangkan malah dibenamkan wajahnya ke dalam lumpur kenistaan.
Adalah republic anjing, yang para hakimnya mudah dihinakan oleh sejumlah uang yang disediakan untuk membeli keputusan yang salah.
Adalah republic anjing, yang para menterinya diangkat berdasarkan harmoni koalisi politik namun tidak pada profesionalisme dan takaran keilmuan yang semestinya.
Adalah republic anjing, yang pemerintahannya lantang berbicara siklus meningkatnya Gross National Produck tanpa tahu soal apakah GNP itu berpengaruh terhadap berjuta mulut menganga dengan lambung tipis karena kelaparan.
Adalah republic anjing, yang penguasanya abai atas batas-batas negaranya sehingga baru akan ribut jika ada negara lain yang menginjakkan kaki-kaki mereka di sana.
Adalah republic anjing, yang para tukang parkir jalanannya saja berlagak melebihi seorang komandan meliter.
Adalah republic anjing, yang para wakil rakyatnya senang dan sering berpelesir dengan dalih studi banding meski pada akhirnya bangsanya sendiri terus-terusan kalah dibanding negara yang dikunjungi.
Adalah republic anjing, yang membiarkan para maling dan koruptor tetap aman asalkan hal itu tidak mengganggu jalannya koalisi parpol.
Adalah republic anjing, yang para pengusahanya dibiarkan tenang meski tak memenuhi kewajiban pajak yang menumpuk-numpuk.
Adalah republic anjing, yang rakyatnya lebih memilih selebriti dari pada orang suci untuk diikuti.
Adalah republic anjing, yang para ustadz dan ulamanya sering bertindak tidak jelas antara berdakwah, beraction atau berdagang.
Adalah republic anjing, yang pemerintahannya tidak sanggup membuka mata untuk melihat bahwa diantara rakyatnya banyak yang benar-benar ahli ilmu untuk ditugaskan demi kemajuan negara, sehingga ia senantiasa salah pilih karena yang diangkat ternyata tukang politik yang ahli bohong.
Adalah republic anjing, yang pemerintahannya mengabaikan kesuburan tanah airnya sendiri dengan lebih memilih hasil tanaman negera lain untuk mensejahterakan rakyatnya.
Adalah republic anjing, yang memandang hukum bukan pada fakta kesalahannya, melainkan pada kepiawaian mulut pengacara, sehingga maling ayam dan maling sumber daya alam bisa sangat berbeda perlakuannya.
Adalah republic anjing, yang pemerintahannya menyerahkan emas murni pada orang lain dan menyerahkan loyang pada rakyatnya sendiri.
Adalah republic anjing, yang lembaga surveinya bisa merubah takaran dan hitungan sesuai dengan siapa yang sedang memesan.
Adalah republic anjing, yang aparat keamanan rakyatnya sering menimbulkan ketakutan dan rasa tidak aman pada rakyat sendiri.
Adalah republic anjing, yang pelaku entertainmentnya seperti kehabisan ide sehingga yang disuguhkan hanya sinetron murahan, sensualitas dan kawin cerai para artis.
Adalah republic anjing, yang para penguasanya lebih senang mengusir pedagang kaki lima serta mempersilahkan cukong berkaki sepuluh untuk menggantikannya.
Adalah republic anjing, yang para wakil rakyatnya dipilih berdasarkan kemauan yang diperjuangkan, bukan pada syarat kemampuan keilmuan yang diperhitungkan, sehingga siapa saja merasa pantas menjadi wakil rakyat asal ia mau dan memiliki uang.
Adalah republic anjing, bangsa yang membuang-buang pahlawan, pejuang dan para ilmuwan dengan lebih memilih bersanding bersama pengkhianat dan pecundang
Dan adalah republic anjing, mereka yang merasa nyaman hidup dalam situasi dengan segala semacam kebusukan itu.
“Karya puisimu ini luar biasa, saudaraku,” kata pemuda yang satunya setelah selesai membaca. “Kenapa kau tidak jadi penyair saja. Menulis puisi yang banyak.”
“Aku takut.”
“Takut apa?”
“Jangankan aku. Penyair besar sekaliber Si Burung Merak saja tak pernah dihargai. Bahkan saat ia meninggal, tak ada sambutan khusus dari presiden sebagaimana yang beliau lakukan saat meninggalnya si pelantun lagu Tak Gendong itu. Bangsa ini tak cukup jeli untuk melihat siapa yang benar-benar seniman dengan yang sekadar nyeniman.”
“Jangan begitu, saudaraku. Setidaknya masih ada aku yang akan menghargai karya-karyamu. Aku bersumpah, akan selalu mendukung prosesmu. Bahkan dengan seluruh hidupku, jiwa ragaku. Teruslah menulis. Ingatkan republic anjing ini dengan karyamu. Aku akan mendermakan seluruh waktu dan hidupku untuk membantumu.”
“Kenapa kau mau berbuat begitu?”
“Ah, kau ini. Kau tahu aku ini miskin, tapi setidaknya aku memiliki sesuatu yang bisa kudermakan untukmu, sahabat sejatiku. Aku ingin, kelak Tuhan tak banyak tanya dengan apa yang telah aku berikan kepadamu.”
“Maksudmu?”
“Aku pernah mendengar, seorang sufi bernama Al-Kattani berkata, bahwa pada hari pembalasan, seluruh hamba Allah akan dimintai laporan lengkap mengenai pengeluarannya, kecuali pada apa-apa yang telah mereka berikan pada teman-temannya. Karena Allah akan merasa malu mempertanyakannya.”
“Alangkah menyentuhnya ucapan itu,” seru pemuda yang satu, “aku semakin sadar, bahwa persahabatan yang tulus selalu bisa diceritakan sebagai sesuatu yang sangat indah. Tetapi sayangnya tidak banyak orang yang mau bersahabat tulus dengan orang-orang macam kita. Persahabatan terkadang didasari oleh kepentingan, status social dan kekayaan. Maka kita tidak boleh berharap akan ada orang kaya yang mau menjadikan kita sebagai sahabat mereka. Sahabat yang tulus.”
“Ya, itulah resikonya kalau kita hidup di republic anjing.” Kedua pemuda itu tersenyum.
Di luar, hujan semakin deras dan semakin deras.
Kebumen, 11-11-11
Sakaratul Mautmu
Ketika sakaratul maut menghampirinya, ia masih sempat naik mimbar dan mewasiatkan beberapa hal kepada sahabat-sahabat setianya. Namun kondisi fisiknya sudah sedemikian lemah sehingga ia hampir terjerembab saat hendak turun dari mimbar. Beruntung Ali dan Fadhal tangkas memapah tubuhnya. Atas kejadian itu, semua yang hadir tahu betapa sesaat lagi manusia mulia itu akan pergi. Saat dibaringkan kembali, manusia mulia itu menatap satu persatu wajah sahabat-sahabatnya. Abu Bakar yang ditatap, kedua matanya berkaca-kaca. Umar yang gagah tak kuasa menahan gejolak dada. Usman yang dermawan hanya mampu menghela nafas panjang. Ali, hanya tertunduk tak berdaya. Dan Fatimah puterinya, tak mampu menatap wajah sang ayah. Hingga ketika malaikat Izrail menarik ruhnya yang suci dengan sangat lembut, Jibril di langit kedua memalingkan wajah.
“Jijikkah engkau melihat keadaanku ini, Jibril. Sehingga engkau memalingkan wajah?” tanya manusia mulia itu.
Dengan suara bergetar Jibril menjawab, “Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajalnya.”
Ya…Rasulallah…! Andai Allah mengizinkan aku untuk hidup di zaman itu dan menemani hari-hari terakhirmu, mungkin akan terkuras habis seluruh air mata ini.
Langganan:
Postingan (Atom)